Jumat, April 19, 2024

Mahar Politik dan Matinya Demokrasi

Roy Martin Simamora
Roy Martin Simamora
Peminat gender studies. Alumnus Hua-Shih College of Education, National Dong Hwa University, Taiwan.

Beberapa waktu lalu salah seorang politisi meluapkan kegeramannya di hadapan media karena telah diminta uang oleh partainya sebagai syarat pencalonannya di pilkada. Syarat tersebut lazim disebut sebagai mahar politik. Sontak saja pengakuan itu menjadi buah bibir masyarakat.

Mahar politik untuk menduduki sebuah jabatan dalam panggung politik bukan lagi hal yang tabu, ia telah lama menghiasi panggung politik kita dari tahun ke tahun. Dari tahun ke tahun pula kita terus berada dalam lingkaran setan ini. Tak ayal, kita pun menerimanya sebagai semacam sebuah tradisi perhelatan demokrasi.

Senada dengan pengakuan itu, Kementerian Dalam Negeri pun membeberkan kebenaran bahwa calon bupati atau wali kota butuh dana Rp 20 hingga Rp 100 miliar untuk memenangi pilkada (Kompas, 12/01/18/). Jadi, jelas sekali, politisi mampu merogoh miliaran rupiah untuk mengamankan jalannya menuju satu kursi, meski dengan cara-cara licik dan mengkhianati demokrasi.  Tentu kita (tidak) tahu dari mana pula asal uang sebanyak itu diambil. Tetapi, kita barangkali tahu ke mana uang-uang itu akan mengalir; dari kantong-kantong kecil hingga mengalir ke kantong-kantong yang lebih besar.

Menurut Thomas Christiano dalam Money in Politics, ada empat mekanisme dasar di mana pengeluaran uang dapat mempengaruhi sistem politik: uang untuk suara, uang sebagai gatekeeper, uang sebagai sarana untuk mempengaruhi pendapat publik dan legislatif, dan uang sebagai kekuatan politik independen. Keempat mekanisme dasar ini sesuai secara kasar dengan empat aspek dasar proses demokrasi.

Yang pertama berkaitan dengan proses hukum dan pembuatan kebijakan. Yang kedua dalam penetapan agenda pembuatan keputusan ini. Yang ketiga adalah pembentukan opini dan preferensi, dan yang keempat terhadap hambatan sosial dan ekonomi yang independen; terhadap pembuatan kebijakan yang berhasil.

Christiano menjelaskan bahwa masalah normatif yang mendasar muncul dari masing-masing mekanisme ini: korupsi, inefisiensi, distorsi proses deliberatif, dan ketidaksetaraan politik. Dia kemudian membahas beberapa pertanyaan tentang pentingnya kesetaraan politik dalam menilai mekanisme ini dan konflik antara persamaan politik dan kebebasan berekspresi.

Tak ada yang gratis dalam politik, semua mesti pakai pesangon. Mahar politik yang sangat mahal itu bukan serta-merta langsung memuluskan jalan sang politisi. Mahar politik yang diberikan kepada partai politik masih diperuntukkan untuk pembiayaan akomodasi selama kampanye, pembuatan spanduk, pembuatan selebaran kartu, hingga membayar para saksi di berbagai tempat pemungutan suara (TPS). Belum lagi membagi uang secara cuma-cuma kepada masyarakat, membagi sembako dan menyewa gedung. Bayangkan, berapa banyak uang yang harus dirogoh oleh para politisi hanya untuk “merebut” simpati rakyat?

Meski konstitusi dan institusi demokratis tetap ada, kita masih memilih mereka. Para politisi yang terpilih nanti akan tetap mempertahankan “keramahan” demokrasi, sementara menghancurkan substansinya. Sesudah terpilih, apa yang mereka lakukan? Apakah menyejahterakan rakyat? Tidak. Mereka hanya menyejahterakan diri sendiri dan kepentingannya? Berapa kali kita harus ditipu para politisi murahan semacam ini?

Sesudah memperkaya diri, masa jabatan berakhir, mereka kembali lagi mencalonkan diri. Begitu siklus politik berputar sampai rakyat benar-benar tidak sadar bahwa mereka telah di bawah kendali politisi penuh tipu muslihat ini. Bagaimana cara politisi mengendalikan rakyat? Tentu saja dengan uang yang mereka punya—atau uang yang telah ditimbun dari kekayaan negara.

Beginilah kebanyakan negara demokrasi mati hari ini: perlahan, dalam langkah-langkah yang tidak terlihat. Tinggal menunggu waktu!

Seberapa rentan demokrasi Indonesia terhadap takdir semacam itu? Para demagogis ekstremis—dalam hal ini politisi karbitan—muncul dari waktu ke waktu di semua masyarakat, bahkan di negara-negara demokrasi yang sehat. Tes penting dari kerentanan semacam ini bukanlah apakah tokoh-tokoh semacam itu muncul tapi apakah pemimpin politik, dan terutama partai politik, tidak berupaya mencegah mereka memperoleh kekuasaan dengan cara yang tidak baik?

Ketika partai-partai yang didirikan secara oportunis mengundang “ekstremis” ke dalam barisan mereka, mereka sangat membahayakan demokrasi. Tetapi, partai politik tidak peduli asalkan mahar politik yang diberikan kadernya fantastis, semua jalan pasti dimuluskan untuk mengamankan satu kursi di kontestasi politik.

Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku bertajuk How Democracies Die mengatakan bahwa begitu calon otoriter membuatnya berkuasa, demokrasi menghadapi ujian kritis kedua: akankah pemimpin otokratis menumbangkan institusi demokratis atau dibatasi oleh mereka?

Lembaga saja tidak cukup untuk mengendalikan politisi terpilih. Konstitusi harus dipertahankan oleh partai politik dan warga negara yang terorganisir, juga oleh norma demokrasi, atau peraturan yang tidak tertulis tentang toleransi dan pengekangan. Tanpa norma yang kuat, checks and balances konstitusional tidak berfungsi sebagai benteng demokrasi yang kita bayangkan.

Sebaliknya, institusi menjadi senjata politik, dipegang teguh oleh orang-orang yang mengendalikan mereka, terhadap orang-orang yang tidak paham demokrasi. Inilah bagaimana para politisi terpilih menumbangkan demokrasi—mengemas dan “membuat persenjataan” pengadilan dan lembaga netral lainnya, membeli media dan sektor swasta, perusahaan (atau menggertak mereka dalam diam), dan menulis ulang aturan politik untuk secara permanen untuk merugikan saingan mereka. Paradoks tragis dari jalur pemilihan menuju otoritarianisme adalah bahwa musuh demokrasi menggunakan institusi demokrasi—secara bertahap, halus, dan bahkan secara legal membunuhnya. Menyedihkan!

Churchill pernah mengatakan, “Democracy is the worst form of government, save for all the rest.” Kita tidak pernah membayangkan keadaan demokrasi Indonesia hari ini, ketika politik uang dan kebohongan telah menjadi sarapan dan kejahatan—dan ketika sebagian besar warga negara menjadi begitu sinis dan menghina sistem, perasaan itu tidak dapat dipercaya dan diabaikan, mereka telah memilih untuk duduk di luar pemilihan setelah pemilihan—bahkan ketika nasib negara dalam bahaya. Meski dalam bahaya, rakyat tetap menjadi penonton yang baik.

Negara, dalam hal ini lembaga-lembaga yang telah diserahkan kepada para politisi karbitan tadi, dijalankan dengan kesewenang-wenangan. Politisi karbitan yang tidak punya integritas telah mengkhianati demokrasi dari awal ia terpilih hingga duduk di singgasana kekuasaan.

Jadi, bagaimana demokrasi mati? Demokrasi akan mati saat kepercayaan itu sendiri runtuh. Kepercayaan siapa? Kepercayaan rakyat—itu pun jika rakyat merasakan hal yang demikian. Lalu, kebenaran buruk bangsa kita adalah ini: jauh sebelum ekonomi mulai layu, kepercayaan semakin berkurang—dalam beberapa dekade terakhir, tidak hanya setelah krisis keuangan, krisis moral perlahan mulai pudar. Moral tidak lagi menjadi barang mahal sekarang ini, moral bisa dibeli dengan dibalut wajah kebersahajaan para politisi karbitan kita.

Sedangkan para penjaga gerbang hukum bangsa yang luhur telah kita percayakan agar menjaga moral pun ikut merisaknya. Ini seperti tidak ada rakyat lagi dalam sejarah modern, bangsa kita mulai kehilangan kepercayaan pada diri mereka sendiri, dan institusi mereka, perlahan tapi pasti. Lantas, siapa dan lembaga negara apa yang bisa dipercaya sekarang ini?

Akan tetapi, tidak ada pilihan lain, tidak ada ideologi terbaik selain demokrasi. Apakah kita ingin demokrasi digantikan dengan ideologi-ideologi yang lain? Apakah kita ingin demokrasi mati begitu saja? Tentu tidak. Bangsa kita telah bersepakat bahwa demokrasi adalah yang terbaik bagi pelbagai etnis, ras, dan agama, meskipun demokrasi memiliki bolong-bolong yang cukup banyak.

Kita tentu tidak mau dipimpin penguasa diktator dengan ideologi tirani yang beringas, bukan? Tetapi, nyatanya memang terjadi demikian, sadar atau tidak sadar “kekuasaan tirani” malah bersembunyi di balik baju demokrasi dan menusuk secara perlahan; bersembunyi di balik jubah lembaga-lembaga negara seraya menyaksikan rakyat melarat. Pelakunya tidak lain dan tidak bukan adalah para politisi kita yang katanya adalah penyambung lidah rakyat. Apakah Anda masih memilih politisi macam ini?

Kendati demikian, itulah demokrasi kita hari ini: tidak berdaya, tidak bernyawa. Mengapa demokrasi tidak berdaya dan tidak bernyawa? Tidak berdaya karena politisi telah mempermainkan keluhuran demokrasi dengan tindakan tidak terpuji, melanggengkan segala cara demi mengamankan kekuasaan, degradasi moral politisi serta penegak hukum yang kian rusak menghegemoni lini kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tidak bernyawa karena nilai-nilai yang diaktualisasikan dalam demokrasi telah hilang; pesta demokrasi dipenuhi momok mengerikan dan kebobrokan, seperti: politik uang, kampanye hitam, politik kebencian dan politik identitas. Perhelatan pesta demokrasi yang seharusnya ajang kompetisi yang sehat, jujur, adil, berintegritas, mampu menghasilkan pemimpin bijaksana, beradab dan mampu merangkul rakyatnya.

Lantas, apa dampak yang ditimbulkan dari kerusakan sistemik ini? Dampaknya membuat rakyat mulai tidak mempercayai dirinya sendiri, tidak mempercayai penguasa mereka, bahkan langkah terkecil pun mungkin terlupakan, penuh dengan kiamat, dan kelumpuhan segera terjadi pada demokrasi kita. Jika demokrasi mati, bagaimana kita akan menjaga demokrasi kita dan mewariskannya kepada generasi selanjutnya?

Kolom terkait:

Darurat Demokrasi, Anti-Intelektualisme, dan Moralitas Budak

Negeri Sekarat Demokrasi

Menjaga Kebebasan yang Proporsional

Politik yang Mengayomi

Yang Sunyi dari Gaduh Politik

Roy Martin Simamora
Roy Martin Simamora
Peminat gender studies. Alumnus Hua-Shih College of Education, National Dong Hwa University, Taiwan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.