Jumat, April 26, 2024

Khalifah al-Muthi’ Lillah: Menguatnya Syi’ah di Kekhilafahan Sunni

Nadirsyah Hosen
Nadirsyah Hosenhttp://nadirhosen.net/
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School, Australia; salah satunya mengampu kajian sistem pemilu dan konstitusi Australia.

Nama lengkapnya Abul Qasim al-Fadhl bin al-Muqtadir bin al-Mu’tadhid. Dia menjadi Khalifah ke-23 dari Dinasti Abbasiyah. Dia menggantikan sepupunya, Khalifah al-Mustakfi, yang diturunkan paksa oleh Mu’iz d-Dawlah, yang mencongkel matanya, dan memenjarakannya. Bagaimana kemudian nasib Khalifah yang baru ini, yang punya gelar mentereng: al-Muthi’ Lillah (yang taat kepada Allah)? Simak, yuk, lanjutan ngaji sejarah politik Islam.

Diceritakan sebelumnya betapa Dinasti Abbasiyah pada periode ini telah berada dalam genggaman Bani Buwaihi. Mu’iz ad-Dawlah dari Bani Buwaihi berkuasa penuh sebagai Amir al-Umara, sedangkan Khalifah diposisikan sebagai simbol belaka. Mu’iz ad-Dawlah pula yang mengatur bahwa belanja harian buat Khalifah hanya sebesar 100 dinar. Sungguh kasihan sekali kondisi Khalifah Abbasiyah.

Ibn Katsir dalam kitabnya, al-Bidayah wan Nihayah, bercerita proses al-Muthi’ menjadi khalifah, bagaimana al-Muthi’ ini disembunyikan dari Khalifah al-Mustakfi, yang berusaha mencarinya namun gagal. Kemudian al-Muthi’ bertemu secara rahasia dengan Mu’iz ad-Dawlah, dan tercapailah kesepakatan di antara al-Muthi’ dan Mu’iz ad-Dawlah.

Kemudian al-Muthi’ menerima bai’at sebagai Khalifah. Namun demikian, menurut Ibn Katsir, posisi al-Muthi’ sebagai Khalifah ini sangat lemah hingga tidak tersisa satu pun kekuasaan baginya.

Ibn Khaldun mengomentari dengan tajam situasi semacam ini dalam kitabnya yang sangat terkenal, al-Muqaddimah: “Dengan kebiasaan hidup yang penuh kemewahan, maka para penguasa meyakini bahwa tugas utama mereka hanyalah duduk manis di singgasana, memberikan pengesahan dan tanda-tangan, menyampaikan pidato, duduk manis bersama para selir cantik yang mengitarinya. Sedangkan pencarian solusi, membangun relasi, instruksi dan larangan, mengontrol keuangan dan militer diserahkan kepada Amir.”

Dalam konteks al-Muthi’, menurut Ibn Katsir, kondisi ini diperparah dengan kesewenang-wenangan Bani Buwaihi yang menguasai jalannya pemerintahan. Hal ini dikarenakan Bani Buwaihi memandang bahwa Dinasti Abbasiyah telah merampas hak Bani Alawiyyin (keturunan Imam Ali).

Bani Buwaihi ini pengikut Syi’ah. Dan pertentangan antara Abbasiyah dan Alawiyyin (yang sebetulnya mereka sama-sama keluarga Nabi Muhammad SAW) ini berlangsung sejak mereka mengambil alih kekuasaan dari Bani Umayyah. Abul Abbas as-Saffah, Khalifah pertama Abbasiyah, dianggap ingkar janji dan malah memarjinalkan posisi Alawiyyin setelah dia berkuasa.

Akan tetapi Bani Buwaihi sendiri tidak mau merampas kekhilafahan dari tangan Abbasiyah. Salah satu sebabnya adalah rakyat masih percaya dengan hadits “al-aimmah min quraisy”. Bahwa pemimpin itu harus dari suku Quraisy. Khulafa ar-Rasyidin, Umayyah, dan Abbasiyah semua nasabnya berasal dari suku Quraisy. Sedangkan Bani Buwaihi tidak demikian. Mereka bernasab kepada keturunan Persia.

Nanti belakangan, setelah suku Quraisy semakin pudar pengaruhnya, barulah para ulama seperti Ibn Khaldun mulai melakukan penafsiran ulang terhadap hadits di atas: bahwa yang dimaksud itu adalah pemimpin yang memiliki pengaruh dan karakter seperti suku Quraisy; tidak harus dari suku Quraisy sendiri. Begitulah pemikiran politik itu, bisa sangat dinamis, kan?

Nasib tragis juga dialami penduduk Baghdad pada masa Khalifah al-Muthi’.  Imam Suyuthi dalam kitabnya, Tarikh al-Khulafa, melaporkan bahwa pada tahun pemerintahan al-Muthi’ terjadi kelaparan yang amat sangat di Baghdad, sehingga sebagian penduduk memakan bangkai dan kotoran ternak. Sering didapati mayat penduduk tergeletak di jalan raya akibat kelaparan, sehingga anjing pun memakan mayat tersebut.

Untuk membeli dua potong roti, misalnya, penduduk harus menukarnya dengan perabotan rumah tangga mereka. Anak-anak kecil dibakar untuk disantap oleh orang miskin.

Brengseknya, Mu’iz ad-Dawlah justru memanfaatkan kondisi semacam ini untuk memperkaya dirinya. Penduduk yang mau membeli tepung gandum harus membayar kepadanya 20 ribu dirham. Dan Khalifah al-Muthi’ tidak bisa berbuat apa-apa.

Setelah Mu’iz ad-Dawlah mengeskploitasi ekonomi dan pasar untuk kepentingannya, barulah dia kemudian menempatkan polisi dan pengawas pasar. Imam Suyuthi dengan getir menulis “falaa kaana Allah ‘aafaahu” (Semoga Allah tidak memberi ampunan kepadanya).

Salah satu catatan baik dari kondisi karut marut ini adalah kembalinya Hajar Aswad dari tangan pemberontak Qaramithah. Sekitar 22 tahun Hajar Aswad mereka curi dan sembunyikan (baca: Al-Muqtadir: Remaja 13 Tahun yang Menjadi Khalifah dan Hilangnya Hajar Aswad)

Namun, kondisi Hajar Aswad dikabarkan memprihatinkan. Sudah tidak lagi utuh. Yang semula terdiri dari satu batu besar, akhirnya hanya terpecah menjadi 7 potong. Kemudian diikat dengan perak dan dikembalikan ke Ka’bah. Menurut Ibn Katsir, yang mencuri itu namanya Abu Thahir Sulaiman bin Abi Sa’id al-Husin al-Janabi. Perlu kita bacakan doa apa, nih, untuk dia?

Pengaruh Syi’ah tertera jelas dalam kebijakan Mu’iz ad-Dawlah ketika pada Hari Asyura dia mewajibkan setiap penduduk menutup semua toko dan tidak memasak makanan. Dia perintahkan pula kaum perempuan keluar rumah dengan rambut kusut sebagai tanda berduka atas wafatnya Sayidina Husein di Karbala. Inilah pertama kalinya Hari Asyura, peringatan wafatnya Sayidina Husein, diratapi di Baghdad.

Tidak hanya sampai di sana, pada 12 Dzulhijah tahun yang sama juga diselenggarakan peringatan Ghadir Kum yang dilakukan dengan menabuh gendang. Peristiwa Ghadir Kum adalah kejadian yang, menurut saudara kita kelompok Syi’ah, Nabi Muhammad telah mengangkat Sayidina Ali sebagai pemimpin umat Islam. Ini salah satu topik perdebatan antara Sunni dan Syi’ah selama berabad-abad. Nah, peristiwa Ghadir Kum ini yang dirayakan oleh Mu’iz ad-Dawlah di Baghdad pada masa Dinasti Abbasiyah yang Sunni.

Orang-orang Syi’ah jelas mendapat angin dari kondisi tersebut. Maka, mereka menuliskan kutukan di pintu-pintu masjid terhadap Mu’awiyah (pendiri Dinasti Umayah, yang pernah berperang melawan Sayidina Ali dalam Perang Shiffin).

Kalau hanya berhenti pada mengutuk Mu’awiyah, Dinasti Abbasiyah pun gemar melakukannya. Namun, orang-orang Syi’ah melangkah lebih jauh dengan juga menuliskan kutukan kepada orang yang mereka anggap merampas hak Siti Fatimah az-Zahra (putri Nabi) di tanah Fadak. Jelas kutukan ini ditujukan kepada Khalifah Abu Bakar as-Siddiq yang memang punya kebijakan tersendiri dalam hal tanah Fadak.

Orang-orang Syi’ah juga mengutuk mereka yang melarang Sayidina Hasan dikuburkan bersama kakeknya (Rasulullah SAW). Pernyataan ini jelas ditujukan kepada Marwan bin Hakam. Terakhir mereka mengutuk orang yang mengasingkan seorang sahabat Nabi bernama Abu Dzar dari Madinah. Kali ini yang kena sasaran mereka adalah Khalifah Utsman bin Affan.

Malam harinya tulisan yang berisi kutukan di pintu masjid itu dihapus oleh kaum Sunni yang merasa kecewa karena kutukan itu juga menyasar kepada para sahabat Nabi. Mu’iz ad-Dawlah yang dilaporkan adanya penghapusan kutukan itu menjadi marah dan memerintahkan untuk menuliskannya ulang. Ini indikasi kuat bahwa dia setuju dengan apa yang tertera di pintu masjid. Namun, dia menerima nasihat untuk tidak memanaskan suasana ketegangan antara Sunni dan Syi’ah.

Sebagai gantinya, dituliskan di pintu Masjid kalimat yang lebih netral: “Semoga Allah melaknat setiap orang yang melakukan kezaliman terhadap keluarga Rasulullah.”

Lima tahun setelah itu, Mu’iz ad-Dawlah wafat. Beliau digantikan oleh anaknya yang bernama Bakhtiar. Setahun kemudian pemberontak Qaramithah membuat ulah kembali. Kali ini mereka menguasai Damaskus. Tidak ada seorang pun yang bisa melaksanakan perjalanan naik haji pada tahun 357 Hijriah, baik dari jalur Syiria maupun Mesir. Bahkan dikabarkan mereka akan segera menguasai kota Kairo.

Pernah saya ceritakan bahwa, selain Khilafah Abbasiyah, juga ada dua penguasa lain di dunia Islam yang mengaku sebagai khalifah, yaitu Dinasti Umayyah II di Cordoba, Spanyol, dan Dinasti Fatimiyyah di Afrika Utara (Baca: Khalifah Ar-Radhi Billah: Awal Kehancuran Dinasti Abbasiyah).

Penduduk Mesir meminta bantuan al-Mu’iz penguasa Dinasti Fatimiyyah di Ifriqiyah (Afrika Utara) yang kemudian memerintahkan pasukannya menjaga Mesir di bawah pimpinan Jauhar. Mereka mampu menguasai Mesir dan membangun kota Kairo. Setelah itu, istana dibangun, dan dicabutlah doa-doa untuk Bani Abbasiyah dari mimbar Jum’at, serta jamaah dilarang menggunakan pakaian hitam. Pakaian hitam adalah ciri Dinasti Abbasiyah.

Sejak itu para khatib memakai pakaian putih dan diperintahkan untuk membaca doa dalam khutbah Jum’at. Ini doa mereka:

اللهم صل على محمد المصطفى، وعلى علي المرتضى، وعلى فاطمة البتول، وعلى
الحسن والحسين سبطي الرسول، وصل على الأئمة آباء أمير المؤمنين المعز
بالله،

“Ya Allah sampaikan shalawat dan salam kepada Nabi pilihan, Muhammad, dan kepada Ali, hamba yang diridhai, dan kepada Fatimah, sang ahli ibadah, dan kepada Hasan dan Husein, dua cucu Rasul, dan kepada para Imam bapaknya, Amirul Mukminin al-Mu’iz Billah.”

Nuansa Syi’ah sangat kental dalam doa tersebut. Sedangkan penyebutan nama al-Mu’iz itu merujuk kepada penguasa Dinasti Fatimiyah. Sejak saat itu, pusat kekuasaan Dinasti Fatimiyyah pindah ke Mesir. Mereka beraliran Syi’ah Ismailiyyah.

Pada saat itu lafaz azan di masjid Mesir pun ditambah dengan kalimat “hayya ’ala khayril ‘amal” (mari menuju kepada amal yang paling utama). Azan versi ini memang biasa diperdengarkan dalam tradisi Syi’ah. Pembangunan Masjid Jami’ al-Azhar juga dimulai pada masa Dinasti Fatimiyyah. Kelak masjid ini menjadi cikal bakal berdirinya Universitas al-Azhar yang legendaris itu.

Kembali ke Baghdad. Bagaimana nasib Khalifah al-Muthi’ di tangan Bakhtiar, yang menggantikan ayahnya, Mu’iz ad-Dawlah, sebagai Amir al-Umara?

Bakhtiar menyita harta Khalifah al-Muthi’. Sang Khalifah hanya bisa merespons, “Saya sudah tidak punya apa-apa lagi, kecuali khutbah. Kalau Anda mau, saya akan mundur sebagai Khalifah.” Namun, Bakhtiar mengacuhkan omongan itu. Harta tetap disita dan al-Muthi’ terpaksa menjual kain-kainnya untuk bisa bertahan hidup. Mengenaskan!

Pada tahun 363 H atau 974 M, al-Muthi’ diserang penyakit sehingga lumpuh dan tidak bisa bicara. Akhirnya, dia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Khalifah, dan digantikan oleh anaknya, yang bernama at-Thai’ Lillah. Ini artinya al-Muthi’ menjadi khalifah boneka selama 29 tahun. Pengunduran dirinya disahkan oleh Hakim Agung Ibn Syaiban.

Sejak saat itu, al-Muthi’ sebagai mantan khalifah disebut dengan Syekh al-Fadhl. Syekh itu panggilan untuk orang tua, dan al-Fadhl itu dari nama aslinya.

Bagaimana nasib kekhilafahan Abbasiyah di tangan khalifah yang baru, at-Thai’ Lillah? Apakah kondisi menjadi membaik atau malah memburuk?

Sayangnya, kita harus tunda dulu kisahnya sampai saya membolak-balik lembaran kitab klasik sejarah Islam untuk bisa meneruskan ngaji sejarah politik Islam ini. Lanjut minggu depan? Insya Allah.

Kolom terkait:

Khalifah Al-Mustakfi yang Kehilangan Matanya dan Kekuasaannya Dikendalikan Bani Buwaihi

Khalifah al-Muttaqi: Sosok yang Taat Ibadah tapi Tidak Cakap Memimpin Negara

Nadirsyah Hosen
Nadirsyah Hosenhttp://nadirhosen.net/
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School, Australia; salah satunya mengampu kajian sistem pemilu dan konstitusi Australia.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.