Kita memasuki periode saat kekhilafahan Dinasti Abbasiyah hanya menjadi simbol belaka. Ibu Kota Baghdad dan jalannya pemerintahan pada masa Khalifah al-Mustakfi telah dikuasai oleh bani Buwaihiyah. Dalam bahasa Buya Hamka, “inilah kekuasaan paling akhir dari Daulat Abbasiyah.”
Buya Hamka benar. Sebelumnya kita sudah bahas bagaimana para jenderal militer Turki menjadikan khalifah hanya sebagai boneka saja, setelah itu gantian khilafah dikuasai bani Buwaihi, kemudian nanti Abbasiyah dikuasai Bani Saljuk, baru kemudian dihancurkan oleh Mongol.
Kita memasuki periode gonjang-ganjing kekuasaan Abbasiyah menjelang kehancurannya. Kekuasaan silih berganti, namun tetap banyak kisah menarik dan pelajaran yang bisa kita petik dari periode ini. Kita simak, yuk!
Al-Mustakfi adalah Khalifah ke-22 Dinasti Abbasiyah. Nama lengkapnya adalah Abul Qasim Abdullah bin al-Muktafi bin al-Mu’tadhid. Bapak dan kakeknya masing-masing Khalifah Abbasiyah ke-17 dan ke-16. Saat menjadi Khalifah, dia berusia sekitar 41 tahun. Gelarnya adalah al-Mustakfi Billah.
Al-Mustakfi menjadi khalifah setelah al-Muttaqi dicopot paksa dari jabatannya oleh Tuzun yang menempati posisi Amir al-Umara. Bahkan Tuzun ini juga yang mencongkel kedua mata Khalifah al-Muttaqi (Baca: Khalifah al-Muttaqi: Sosok yang Taat Ibadah tapi-Tidak Cakap Memimpin Negara). Maka, Tuzun pulalah yang memilih dan mengangkat al-Mustakfi menjadi khalifah menggantikan al-Muttaqi pada 26 Agustus 944 Masehi.
Tuzun memilh al-Mustakfi setelah mendengar usulan dari Abul Abbas at-Tamimi ar-Razi, seperti dicatat oleh Ibn al-Atsir dalam kitabnya, al-Kamil fit Tarikh. Abul Abbas mendengar saran dari seorang wanita yang mengingatkan akan adanya anak mendiang Khalifah al-Muktafi, yang memuji kecerdasan, kesantunan, dan kealimannya. Al-Mustakfi dipercaya akan membawa kepada kesejahteraan dan kejayaan. Tuzun mempercayai info ini dan kemudian memilih al-Mustakfi.
Sekali lagi, tidak ada keterlibatan rakyat baik langsung maupun melalui perwakilan ahlul halli wal aqdi dalam memilih dan mengangkat seorang khalifah. Rakyat hanya dalam posisi menerima siapa pun yang diangkat sebagai khalifah dan dipaksa memberikan ba’iatnya. Kalau menolak mendukung, copotlah kepala mereka dari tubuhnya.
Dalam periode sebelumnya kalau khalifah yang terpilih seorang yang alim, saleh, dan baik, maka sejahteralah negara. Namun, kali ini, sistem sudah sedemikian bobrok, kondisi negara sudah karut-marut, maka secerdas apa pun, dan sesaleh serta sebaik apa pun, khalifah sudah terjeblos dalam sistem yang kacau-balau.
Ibn Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah melukiskan sosok al-Mustakfi dengan kalimat: “Dia pria yang tampan, tubuhnya bagus dan rambutnya putih, hidungnya kemerahan.” Sayangnya, Al-Mustakfi mewarisi kekuasaan yang sudah karut-marut. Dia hanya bisa bergantung penuh kepada Tuzun, Amir al-Umara, yang mengangkatnya dan kemudian menjalankan roda pemerintahan sehari-hari.
Tuzun menghadapi serbuan dari pasukan Ahmad bin Buwaihi. Namun, Tuzun berhasil menjaga Baghdad dan mengalahkan Ahmad. Tuzun wafat pada Agustus 945. Kemudian digantikan oleh sekretarisnya, Abu Ja’far bin Syirzad, yang menurut Imam Suyuthi, sangat ambisius. Dia mengumpulkan pasukan sendiri. Sekali lagi, khalifah bergantung penuh pada Amir al-Umara yang kini dijabat Abu Ja’far, termasuk menghalau pasukan Ahmad bin Buawaihi.
Namun, musuh terus berupaya menyerang. Kali ini mereka memblokade Ibu Kota Baghdad. Suplai terhadap makanan pokok menjadi terhambat. Rakyat menderita. Tidak ada makanan yang bisa mereka peroleh. Rakyat bertahan hidup dengan memakan apa saja, dari mulai rumput, sisa sampah, sampai anjing dan kucing liar. Harga roti dikabarkan enam kali lebih mahal. Bahkan sejumlah perempuan terpaksa menjadi kanibal memakan daging dan tubuh mayat. Kondisi darurat!
Ini sebuah fakta yang menyedihkan yang terjadi di masa khilafah. Jadi, ya biasa-biasa saja, dalam rentang waktu yang panjang ada kalanya kekkhilafahan mendatangkan kemakmuran seperti di masa Harun ar-Rasyid, tapi ada juga periode ketika kemelaratan dan kemiskinan melanda kekhilafahan.
Jadi, jangan lagi dikesankan hidup di masa khilafah zaman old itu semuanya makmur dan senang serta seolah negara tidak punya masalah. Masih ngeyel mau bilang khilafah adalah satu-satunya solusi bagi umat Islam? Mau makan kucing, anjing, dan mayat? Amit-amit, deh.
Abu Bakr Muhammad bin Yahya as-Suli dalam kitabnya, Akhbar ar-Radhi wa al-Muttaqi menceritakan karut-marut kondisi Baghdad telah membuat banyak penduduk Baghdad sejak akhir masa Khalifah al-Muttaqi dan berlanjut pada masa al-Mustakfi bermigrasi ke kota-kota lain, seperti Hulwan, Khurasan, dan Wasit, juga ke Syiria dan Mesir.
Kondisi ini memaksa Abu Ja’far Syirzad memutuskan untuk meminta bantuan kepada Bani Hamdan, seperti pernah dilakukan sebelumnya oleh Khalifah al-Muttaqi. Koalisi Baghdad dengan Bani Hamdan melawan Buwaihi selama kurang lebih tiga bulan. Namun, akhirnya Buwaihi yang menang. Bani Hamdan dan Abu Ja’far kabur ke Ahwaz.
Ahmad bin Buwaihi memasuki Ibu Kota Baghdad dengan jumawa. Pasukannya pun sempat menjarah ibu kota dan membakar rumah penduduk. Khalifah al-Mustakfi terpaksa membuat perjanjian. Khalifah tetap berkuasa, di mana legasi historis Abbasiyah tetap dipertahankan, tetapi kekuasaan secara de facto dijalankan oleh Dinasti Buwaihiyah.
Ahmad bin Buwaihi diberi gelar Mu’iz ad-Dawlah. Saudara tuanya yang bernama Ali diberi gelar Imad ad-Dawlah (tiang negara) dan adiknya yang bungsu Hasan diberi gelar Rukn ad-Dawlah (pilar negara). Gelar mereka dicantumkan pada mata uang negara. Khalifah al-Mustakfi Billah pun menambahi gelar dirinya sendiri dengan Imam al-Haq, yang menurut Imam Suyuthi dalam kitabnya, Tarikh al-Khulafa, juga dicantumkan dalam mata uang negara.
Salah satu unsur megalomania para penguasa adalah dengan memberi berbagai gelar kepada dirinya sendiri dan koalisinya. Dengan cara ini mereka merasa rakyat akan semakin tunduk, dan mereka sendiri akan semakin percaya diri.
Ini berbeda dengan Gus Dur yang dengan guyon memberi “gelar” bahwa Presiden pertama RI itu gila wanita. Presiden kedua gila harta, sedangkan Presiden ketiga benar-benar gila. Ketika Gus Dur jadi Presiden terpaksa dia menambahi sendiri joke-nya dengan mengatakan Presiden RI keempat itu bikin orang lain jadi gila.
Atau joke yang beredar di kalangan netizen bahwa Presiden pertama itu Pemimpin Besar Revolusi, Presiden kedua Jenderal besar. Yang ketiga, Guru Besar. Yang keempat, ulama besar. Yang kelima dan keenam, badannya besar. Sedangkan yang sekarang? Entah apanya yang besar. Buat yang tidak suka dengannya, akan bilang besar ngibulnya. Buat yang suka, akan bilang besar prestasinya.
Intinya adalah, joke semacam ini hal biasa di dalam demokrasi. Kalau di masa khilafah zaman old, siap-siap kepala Anda copot yah bikin joke semacam ini.
Kembali ke Baghdad. Mu’iz ad-Dawlah menjadi Amir al-Umara yang menguasai Baghdad. Harus saya sebutkan pula bahwa Buwaihi ini memeluk mazhab Syi’ah. Ini artinya kekhilafahan Abbasiyah yang Sunni, pada periode ini dijalankan oleh Amir al-Umara yang Syi’ah. Menarik, bukan?
Pengaruh Mu’iz ad-Dawlah semakin besar. Bahkan setoran ke istana dibatasi hanya lima ribu dirham per hari. Khalifah secara finasial bergantung pada belas kasihan Mu’iz ad-Dawlah. Beredar kabar yang sampai ke telinga Mu’iz ad-Dawlah bahwa Khalifah al-Mustakfi berusaha menyingkirkannya. Mu’iz ad-Dawlah memutuskan bertindak lebih cepat.
Al-Mustakfi ditangkap dan diseret ke rumah Mu’iz ad-Dawlah. Istana dijarah hingga tak tersisa barang berharga sedikit pun. Setibanya al-Mustakfi di rumah Mu’iz ad-Dawlah, peristiwa tragis yang menimpa dua khalifah, yaitu al-Qahir dan al-Muttaqi, terulang kembali. Kedua mata al-Mustakfi dicongkel matanya. Lalu, jabatan khalifah dicopot dari tangannya oleh Mu’iz ad-Dawlah.
Maka, inilah nasib lima Khalifah Abbasiyah terakhir yang sudah kita bahas:
- Khalifah ke-18 al-Muqtadir (dipenggal kepalanya)
- Khalifah ke-19 Al-Qahir (dicongkel kedua matanya dan menjadi pengemis)
- Khalifah ke-20 ar-Radhi (wafat karena sakit)
- Khalifah ke-21 al-Muttaqi (dicongkel kedua matanya)
- Khalifah ke-22 al-Mustakfi (dicongkel kedua matanya)
Mengapa ketiga khalifah di atas (al-Qahir, al-Muttaqi dan al-Mustakfi) diturunkan dari jabatannya dengan dicongkel kedua matanya? Salah satu syarat menjadi khalifah menurut para ulama seperti Imam al-Mawardi dan al-Ghazali itu adalah sehat panca indera. Kita tahu khalifah diangkat lewat proses ba’iat.
Sepanjang sejarah khalifah tidak punya rentang masa jabatan, alias berkuasa seumur hidup, cara menurunkannya adalah dengan memaksa mengundurkan diri atau membunuh khalifah itu.
Nah, dalam periode yang kita bahas ini muncul metode baru menurunkan khalifah, yaitu dengan mencongkel kedua matanya sehingga mereka tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai seorang khalifah. Setidaknya itu yang terjadi dengan ketiga khalifah di atas. Tragis, sungguh tragis.
Buya Hamka pun dengan getir menulis dalam bukunya, Sejarah Umat Islam, “tanda khalifah masih ada, namanya masih disebut di dalam khutbah Jum’at, tapi kekuasaannya tidak ada lagi.”
Bagaimana kisah selanjutnya? Siapa yang akan menggantikan al-Mustakfi? Apakah Bani Buwaihi masih terus menancapkan kuku kekuasaanya mengatur jalannya roda kekhilafahan? Insya Allah akan tersaji dalam lanjutan ngaji sejarah politik Islam berikutnya.
Kolom terkait:
Al-Muktafi: Dicintai Rakyat, tapi Terkena Pengaruh Jahat Sengkuni