Kamis, Maret 28, 2024

Darurat Demokrasi, Anti-Intelektualisme, dan Moralitas Budak

Rinto Pangaribuan
Rinto Pangaribuan
Pegiat di Ut Omens Unum Sint Institute - Jakarta

[ilustrasi]
“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang. Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan. Dituduh subversif dan mengganggu keamanan. Maka hanya ada satu kata: lawan!”

Penggalan puisi Wiji Thukul itu sampai sekarang tetap menggetarkan. Sebuah sajak pemberontakan pada pengekang kebebasan. Lewat kata-kata, Thukul melawan setiap bentuk pelecehan pada kemerdekaan. Dia sadar betul setiap orang berhak untuk mengutarakan pemikiran. Semangat itulah yang tetap membuat syairnya relevan sampai sekarang.

Namun, apa jadinya kalau sajak “Peringatan” ini malah diserukan oleh mereka yang anti-kebebasan berpendapat? Persis inilah yang terjadi kala sekelompok orang berorasi menolak seminar tentang sejarah 65 siang itu di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Jln. Diponegoro, Jakarta (Sabtu, 16/9/2017).

Entah apa yang dipikirkan sang orator. Berani nian dia meneriakkan kata “Lawan!” untuk memberangus kebebasan berserikat dan berkumpul. Tega sekali dia menyitir syair yang justru dialamatkan untuk orang seperti dia. Itu pengkhianatan pada keagungan puisi itu!

Penyakit lama kita memang belum terobati: anti-intelektual. Kita adalah bangsa yang malas berdiskusi secara terbuka. Perbedaan pendapat masih sering kita selesaikan lewat jalur kekerasan. Entah memanfaatkan aparat negara sebagai tameng. Atau menggunakan kekerasan ideologis dengan agama sebagai tukang pukul. Mungkin juga dengan memakai kekuatan massa sebagai tirani mayoritas.

Pendeknya, kita berat kepala kalau harus berdebat dengan data. Kita gagap bertingkah sebagai intelektual. Kita lebih suka memilih jalan pintas kala berhadapan dengan posisi yang berseberangan. Polisikan atau tutup paksa, hanya itu solusi yang bisa kita produksi.

Sebut saja aksi demonstrasi menolak diskusi tentang sejarah 65 ini. Apa salahnya jika para penolak itu masuk dalam dialog? Ikut berdebat secara akademis. Kedua kubu yang berbeda pendapat saling membuka fakta. Selesaikan segala perbedaan dengan bukti sejarah. Tentu cara ini akan lebih berguna buat semua orang.

Lebih elegan dan modern daripada cara-cara primitif dengan kekerasan. Apalagi harus mengutip puisi Thukul keluar dari jalur konteksnya. Itu menggelikan, bukan? Atau jangan-jangan, mereka memang tidak mampu berdebat akademis. Sehingga, kebodohannya terpaksa ditutupi dengan teriakan dan ancaman?

Perkara dipolisikannya Dandhy Dwi Laksono belum lagi dingin, sudah muncul fenomena yang memperkuat stigma kedunguan kita. Kita terbata-bata dengan pembuktian data. Itu menunjukkan satu hal: kita masih senang merawat kebohongan. Kita belum selesai dengan diri sendiri. Kita tidak siap berubah.

Pendeknya, kita adalah bangsa yang tidak mau beranjak dewasa. Karena hanya mereka yang matang sajalah yang mampu menerima kenyataan diri. Entah tentang sejarah masa lalu, kenyataan kini, dan harapan masa depan.

Anti-Intelektualisme dan Moralitas Budak

Anti-intelektualisme pada dasarnya adalah sebuah istilah yang buram. Itu sebabnya term ini kurang mendapat perhatian serius dari kalangan sosiolog. Definisi dari kata ini disebut-sebut tidak memiliki fokus yang kuat, sehingga pembicaraan tentangnya pun kerap melebar. Bahkan, kata ini acapkali dicampurbaurkan dengan pengertian non-intelektualisme.

Sejarawan AS Richard Hofstadter (1916-1970) adalah yang pertama menaruh minat untuk term ini. Dalam esai Anti-Intellectualism in American Life (1963), istilah ini diurainya panjang lebar. Ringkasnya, anti-intelektualisme bukanlah ciptaan orang-orang yang secara ketegoris (mutlak) bersikap menolak dunia gagasan. Justru sebaliknya, sama seperti musuh paling efektif bagi manusia terpelajar, mungkin adalah manusia yang setengah terdidik (bukan manusia yang tak terdidik).

Kaum anti-intelektualis terkemuka biasanya adalah orang-orang yang sangat mendalam keterlibatannya dengan gagasan-gagasan. Seringkali, secara obsesif, menekuni gagasan tertentu yang sudah lama diserang atau ditolak.

Tentu, ini berbeda dengan kaum non-intelektual. Kelompok ini bersikap sangsi terhadap intelektual, sehingga mereka bisa berayun ke arah X dalam persoalan budaya tertentu. Namun, melompat ke posisi Y dalam isu kultural yang lain. Ketidakpercayaan mereka pada golongan cerdik pandai sudah mendarah daging. Ini membuat sikap mereka selalu cair dan fleksibel.

Kelompok anti-intelektual adalah intelektual pinggiran. Mereka sangat serius dan punya tujuan tinggi dalam memperjuangkan sikap mereka supaya diperhatikan dunia. Ciri utamanya adalah mereka cenderung bermusuhan dengan intelektual sezamannya. Tapi, kebencian itu sering sama besar dengan kesetiaan mereka terhadap kaum intelektual yang sudah lama almarhum. Maka, tak jarang sikap anti-intelektual ini menjamur pertama kali lewat kelompok agama.

Kemudian, merayap ke dunia politik. Syahdan, berkembang biak dalam dunia pendidikan. Perlu dicatat, anti-intelektual, dalam pengamatan Hofstadter, diiringi konteks perkembangan Kristen Evangelikal di AS. Kekristenan kala itu sedang berhadapan dengan teori evolusi Darwin. Sejarah mencatat, teori itu disebut-sebut sebagai pukulan paling telak yang menggugat afirmitas doktrin agama.

Penemuan itu mengakibatkan krisis ortodoksi dalam gereja. Alih-alih melawan secara saintifik, kekristenan saat itu malah memilih jalan pintas dengan cara menegaskan kemutlakan doktrin sambil merelatifkan teori evolusi. Daniel Rigney dalam esai Three Kinds of Anti- Intellectualism: Rethinking Hofstadter (1991) menyebut gereja ketika itu sebagai: the anti-rational absolutism of fundamentalists.

Hofstadter menerangkan beberapa watak utama anti-intelektual. Di antaranya adalah pelecehan, ketidaksetujuan, kecurigaan terus menerus terhadap alam pemikiran tertentu. Tidak hanya sampai di situ, purba sangka itu berlanjut pada orang yang dianggap mewakili alam pemikiran itu. Ada nuansa ad hominem terselip di sana. Satu kata untuk melukiskan kaum anti-intelektual adalah reaktif. Biasanya digunakan untuk menyebut sesuatu yang tidak disukai oleh pembicara.

Sifat reaktif ini, dalam filsafat Nietzsche (1844-1900), disebut sebagai mental moralitas budak. Filsuf yang terkenal dengan aforisme “Tuhan sudah mati” ini membagi moral dalam dua bentuk: moralitas tuan dan budak. Moral tuan muncul dari tindakan afirmasi diri, bersifat aktif, dan mengagungkan nilai “baik”.

Code of conduct-nya lahir dari identitas dirinya sebagai tuan. Status ningrat membuat moralitas tuan tidak pernah terpengaruh oleh sistem moral apa pun di luar dirinya. Apa yang “baik” tidak merujuk pada sifat dan kualitas tertentu. Tapi selalu mengarah pada jati dirinya sebagai kaum aristokrat yang bernatur baik.

Lain hal dengan moralitas budak. Penilaian moralnya datang dari pembalikan nilai moral tuan. Sifatnya pasif dan selalu berorientasi pada nilai “jahat”. Bagi moral budak, apa yang “jahat” adalah radical denial of other (penolakan secara radikal terhadap orang di luar mereka). Menurut Romo Setyo Wibowo, penolakan atas the other menjadi inti terciptanya moralitas kaum budak.

Moral budak muncul karena mereaksi sesuatu. Moral ini hanya bisa menduplikasi dengan memutarbalikkan apa yang ia reaksi. Moral ini eksis sejauh dia memautkan dirinya pada sesuatu yang lain. Dia tidak pernah bisa independen dalam menentukan penilaian moralnya. Bahkan, tak jarang sikap reaktif ini harus dilumuri dengan ressentiment (bahasa Prancis: dendam) pada yang lain.

Darurat Demokrasi

Apa yang terjadi di LBH Jakarta memang dapat dikategorikan sebagai darurat demokrasi. Penolakan diskusi pada hari Sabtu (16/9/2017) dan penyerangan kantor LBH Jakarta keesokan harinya (17/9/2017) adalah buktinya. Itu mengindikasikan perangkat akal sehat kita belum terinstal sempurna. Kita lebih suka rebusan bubur hoaks dibanding mengunyah fakta keras kenyataan sejarah. Padahal, rasionalitas dan keberanian untuk duduk di atas meja diskursus adalah syarat mutlak demokrasi. Tampaknya bangsa kita belum seutuhnya bernyali menjalani itu.

Darurat demokrasi muncul dari perpaduan semangat anti-intelektualisme dan moralitas budak. Mirip dengan konteks AS, anti-intelektualisme Indonesia lahir dibarengi kebangkitan ekstremis Islam. Mereka adalah sekelompok orang yang mengabsolutkan tafsir Islam menurut mereka sendiri.

Kelompok ini bukanlah orang-orang bodoh. Mereka bukan orang yang benci pada dunia gagasan. Aksi 212 membuktikan bahwa mayoritas dari mereka adalah masyarakat kelas menengah Jakarta. Mereka adalah anak kuliahan, bahkan ada yang lulusan kampus luar negeri. Penolakan mereka terhadap komunisme, misalnya, bukanlah penolakan tanpa dasar. Walau terkesan tuna sejarah, acuan mereka pada sejarah Orde Baru menjadi indikator anti-intelektualisme.

Mereka menolak segala temuan baru sambil terus loyal merujuk pada data sejarah yang usang. Setidaknya, itu menunjukkan bahwa mereka sebenarnya membaca dan tahu informasi. Sekali lagi, mereka bukanlah kaum penolak gagasan. Mereka punya argumen, cuma sayangnya merujuk pada pengetahuan yang kadaluarsa. Tambah lagi diolah dengan proses refleksi yang dangkal.

Dipadukan dengan mentalitas moral budak yang reaksioner menambah pelik situasi. Sikap untuk menyangkal bahwa yang lain di luar dirinya salah membuat pintu dialog dipasung. Mereka seolah tidak jenuh untuk selalu curiga. PKI akan selalu salah karena bukan bagian dari mereka. Komunisme akan selalu jadi paham laknat walau mereka sama sekali tidak mengerti seluk beluk paham itu.

Akhirnya, pertarungan bukan lagi ditataran wacana. Medan tempur kini berpindah sebatas untuk ngotot dalam pembenaran diri dan menyalahkan yang lain. Hal seperti ini yang membuat kekerasan menjadi pilihan akhir. Dengan siraman dogma mati jihad membela agama, maka pertempuran ini berubah menjadi suci. Agama ujungnya memberi lisensi pada moralitas budak ini.

Anti-intelektualisme dicampur irisan tebal moral budak hanya menghasilkan adonan kebodohan. Dari kasus bentrok massa dengan polisi di LBH, coba kita bertanya, “Apa yang kita dapat?” Tidak ada. Justru aktor intelektual yang jadi dalang dari kericuhan ini yang senyum sumringah. Koordinator massa bayaran tertawa puas karena dompet kian penuh bermodalkan provokasi massa.

Mereka benar-benar bisa memanfaatkan mutu intelektual kita yang tanggung untuk kepentingan politiknya. Mereka bisa melihat celah agama sebagai motor penggerak massa yang bisa dikontrol agar destruktif. Ah, kasihan kita dijadikan kuda tunggangan!

Situasi darurat demokrasi memang benar. Iya, kebebasan kita dalam berserikat dan berkumpul memang sudah dilacurkan. Hoaks telah kita telan bulat-bulat tanpa pikir panjang. Akarnya ada pada sikap anti-intelektualisme kita. Sebuah paras intelektual tanggung setengah-setengah. Kondisi ini berkombinasi dengan moral budak (yang mayoritas) reaksioner membuat masa depan demokrasi kita gelap gulita.

Mau sampai kapan kita terus begini?

Kolom terkait:

Mengapa Saya Ikut Simposium Tragedi 1965

Ingatan Kolektif 1965

1965 dan Demokrasi Kita

Hantu Bernama PKI

Rinto Pangaribuan
Rinto Pangaribuan
Pegiat di Ut Omens Unum Sint Institute - Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.