Minggu, Oktober 6, 2024

Pilkada 2015 dan Jaminan Hak Pilih Warga

Mimpi Ujian

Fadli Ramadhanil
Fadli Ramadhanil
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Jakarta
Petugas Saatpol PP melepaskan Alat Peraga Kampanye (APK) calon Bupati dan Wakil bupati di Indramayu, Jawa Barat, Minggu (6/12). Memasuki masa tenang Pilkada Panwaslu bersama KPUD Indramayu dibantu Satpol PP, TNI dan Polri melakukan penertiban APK ilegal yang tidak sesuai dengan ketentuan. ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/pd/15.
Petugas Saatpol PP melepaskan Alat Peraga Kampanye (APK) calon Bupati dan Wakil bupati di Indramayu, Jawa Barat, Minggu (6/12). Memasuki masa tenang Pilkada Panwaslu bersama KPUD Indramayu dibantu Satpol PP, TNI dan Polri melakukan penertiban APK ilegal yang tidak sesuai dengan ketentuan. ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/pd/15.

Hari pemungutan suara pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2015 semakin dekat. Jika dihitung mundur, tidak lebih dari 2 hari lagi masyarakat di 269 daerah akan memilih pemimpin barunya. 9 Desember 2015 tentu menjadi sangat penting untuk tahun ini, karena bertepatan dengan pelaksanaan pemungutan suara pilkada gelombang pertama. Paling tidak 9 Desember 2015 pasti akan dicatat sebagai tonggak sejarah baru bagi Indonesia: melaksanakan pemilihan kepala daerah secara serentak untuk pertama kalinya di 269 daerah otonom.

Di tengah persiapan pilkada yang sangat terburu-buru dan selalu berpacu dengan waktu, harus dikui memang masih banyak catatan yang penting untuk diperhatikan dalam penyelenggaraan pilkada 9 Desember2015 ini. Persiapan anggaran pilkada yang tergopoh-gopoh, proses penetapan calon kepala daerah yang berlarut-larut, dan pemutakhiran daftar pemilih yang belum menjangkau semua warga negara yang sudah mempunyai hak pilih adalah beberapa di antaranya.

Namun, apa pun keterbatasan yang dirasakan dan melanda penyelenggara pemilihan kepala daerah, tentu tidak bisa dijadikan alasan untuk mengabaikan keterpenuhan hak pilih warga negara. Bahwa ada desain penyelenggaraan Pilkada 2015 yang bermasalah karena desaian dan regulasi yang buruk dari para pembentuk undang-undang, iya. Tetapi apa pun itu, sebagai penyelenggara pemilihan, khususnya bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan jajarannya, memfasilitasi dengan baik keterpenuhan hak pilih warga pada 9 Desember 2015 nanti adalah sebuah keniscayaan.

Ada tiga hal utama yang mesti diperhatikan penyelenggara pemilihan dalam menjamin keterpenuhan hak warga negara dalam pelaksanaan pilkada nanti. Pertama, karena Indonesia menganut paham bahwa untuk seorang warga negara bisa memberikan hak pilihanya dia harus terdaftar di dalam daftar pemilih, maka KPU beserta jajarannya mesti menjamin semua warga negara tercatat dan dapat menyalurkan pilihan politiknya pada 9 Desember 2015 nanti.

Daftar pemilih tetap (DPT) memang sudah ditetapkan pada 4 Oktober 2015 lalu. Merespons penetapan DPT tersebut, muncul catatan bahwa banyak pemilih yang belum terdaftar di data yang dirilis KPU. Salah satunya adalah data pemilih disabilitas yang “hanya” berjumlah 300-an ribu orang. Data ini diyakini belum mencakup seluruh data pemilih disabilitas jika dibandingkan dengan jumlah penduduk di 269 daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2015. Bisa saja memang para pemilih disabilitas masuk ke daftar pemilih yang tidak dikelompokkan ke pemilih disabilitas.

Namun ini tentu akan berkonsekuensi kepada ketersediaan logistik pemilu terkait akses bagi pemilih disabilitas nantinya. Maka dari itu, perlu kerapian dan keramahan KPU dalam mendaftar seluruh warga negara dalam daftar pemilih tambahan I atau pemilihan tambahan II. Jadi, tidak ada warga negara yang sudah memenuhi syarat sebagai pemilih tidak bisa memberikan hak pilih karena tidak terdaftar di dalam daftar pemilih.

Kedua, persoalan ketersediaan dan disribusi logistik yang baik dan tepat waktu. Logistik pemilu adalah jantung dari pelaksanaan pemilu ataupun pilkada. Logisitik pemilu menjadi sarana utama dalam penyaluruan hak pilih warga negara tersebut. Masih adanya calon kepala daerah yang berpotensi dibatalkan pencalonannya di tengah surat suara yang sudah dicetak, bisa menjadi tantangan baru bagi penyelenggara untuk menjelaskan kepada pemilih. Bahwa tidak mungkin penyelenggara pemilihan mencetak ulang surat suara kembali, karena keterbatasan dana yang tersedia. Karenanya, hal semacam itu mesti dijelaskan kepada pemilih agar tidak memberikan suara kepada calon kepala daerah yang sudah dibatalkan pencalonannya.

Selain itu, tantangan cuaca hujan pada Desember tentu akan menjadi halangan tersendiri pada proses distribusi logistik pilkada. Karenanya, KPU mesti sudah berhitung dan berbuat optimal bagaimana agar logistik penyelenggaraan pilkada datang tepat waktu dan bisa digunakan tepat pada 9 Desember 2015.

Ketiga, setelah pemilih terdaftar dan memberikan suaranya dalam pemilihan kepala daerah, tantangan berikutnya adalah bagaimana suara yang telah diberikan oleh pemilih tidak dicurangi. Artinya, potensi pengkhianatan tehadap suara pemilih ini berpotensi terjadi pada proses penghitungan dan rekapitulasi suara.

Proses rekapitulasi yang jauh dari pantauan masyarakat sangat potensial memunculkan praktik penambahan dan pengurangan suara secara tidak sah. Khusus untuk hal ini, peran maksimal diminta dimainkan oleh pengawas pemilu. Pengawas pemilu tidak boleh kalah cepat, apalagi sampai “dibeli”, oleh pelaku praktik kecurangan suara. Oleh sebab itu, menjamin keterpenuhan hak pilih warga juga akan berkorelasi positif dalam menjaga integritas pilkada secara keseluruhan.

Fadli Ramadhanil
Fadli Ramadhanil
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.