Allamah Taqi Ja’fari menjelaskan bahwa manusia baru dikatakan sempurna ketika memiliki empat relasi yang sempurna yaitu antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia yang lain dan manusia dengan alam. Pendekatan integralistik adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia yang tak bisa dielakkan, dimana kita hidup dalam sebuah relasi yang saling mempengaruhi satu sama lain, seperti ucapan Thich Nhat Hanh dengan engaged Budhism-nya bahwa kehidupan ini saling terkait satu sama lain, kerusakan pada alam tak bisa dipisahkan dari peran pola kehidupan manusia.
Sebagaimana prediksi dari Andrea Levy and Jean-Guy Vaillancourt bahwa bentuk kekerasan kedepannya lebih mengarah kepada isu lingkungan. Dalam mengatasi ini salah satu solusi yang ditawarkan oleh Mc Gregor adalah Eco-Peace: yang dipahami sebagai bentuk damai kepada alam (bumi) dimana manusia menjaga keberlangsungan hidup Bumi dan Alam berarti telah menjaga kehidupan manusia dan seluruh mahluk hidup di dalamnya.
Ketika para astronot AS berada di bulan, Neil Amstrong berkata bahwa bumi adalah planet terindah dengan warna birunya yang menawan, dan kehidupan manusia seolah-olah dalam kondisi tak memiliki sekat dan batas antar Negara, semuanya berada dalam satu kesatuan yaitu sebagai mahluk yang tinggal di bumi.
Mansbach mengistilahkan ini dengan Collective Fate yaitu sebuah takdir manusia untuk hidup di satu-satunya planet yang bisa dihuni yaitu bumi dan semua mahluk hidup harus hidup bersama dan menjaganya agar satu-satunya tempat tinggal yang ada ini tidak rusak. Sebab akan berdampak buruk bagi seluruh mahluk hidup yang tinggal dibumi tanpa terkecuali.
Melihat kondisi ini maka lahirlah kemudian konsep Collective Goods yaitu sebuah harta kekayaan yaitu bumi dan ekosistemnya seperti udara (oksigen) yang berguna bagi kehidupan mahluk hidup di bumi terutama sekali adalah manusia. Namun sayangnya karena bentuk harta kekayaan ini seolah-olah tidak ada yang memilikinya (padahal kenyataannya ini adalah milik bersama) maka yang terjadi adalah keadaan manusia yang cenderung untuk tidak menjaga dan merawat lingkungan dengan baik.
Thomas Robert Malthus, seorang ekonom kenamaan Inggris menjelaskan bahwa angka pertumbuhan manusia yang mengikuti deret geometric sedangkan pertumbuhan angka SDA untuk pemenuhan kehidupan manusia yang mengikuti deret aritmatika menyebabkan timpangnya jumlah manusia dengan SDA pemenuh kehidupannya sehingga bisa berakibat pada bencana kelaparan karena tidak mampunya pertanian menopang kehidupan manusia, dan untuk menjawab tantangan ini maka kelompok Liberalisme melakukan industrialisasi besar-besaran dan perdagangan yang semakin gencar dan terbuka sehingga mampu memenuhi kebutuhan manusia.
Pada abad 21, dimana industrialisasi semakin gencar dan liberalisasi perdagangan semakin meluas untuk menopang kebutuhan konsumsi manusia serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dan salah satu dampak utama dari pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi adalah kebutuhan yang besar akan energi terutama sekali minyak bumi (oil), dalam perkembangan selanjutnya energi minyak selain menjadi komoditas ekonomi tapi juga menjadi sebuah asset kekuatan nasional.
Hart & Spero menjelaskan bahwa komoditas minyak akhirnya menjadi asset kekuatan nasional karena kekuatan komoditas ini dalam mempengaruhi berjalan dan tumbuhnya perekonomian. Bahkan kebergantungan yang sangat tinggi terhadap sumber energi minyak membuat negara-negara yang menguasainya memiliki potensi besar untuk menjadikannya sebagai alat politik, dan ini terbukti dari embargo minyak yang dilakukan oleh Negara-negara OPEC khususnya dari Negara-negara Arab kepada Negara-negara yang mendukung langkah agresi Israel dalam konflik Arab-Israel di Timur Tengah telah berhasil meruntuhkan perekonomian negara-negara Barat sehingga membuat AS langsung memfasilitasi penghentian agreasi Israel dan memulai untuk proses perdamaian Arab-Israel di timur tengah.
Kekuatan minyak ini seiring dengan pendapat seorang ahli ekonomi politik internasional Susan Strange bahwa ambisi kekuatan yang akan menentukan bagaimana tujuan-tujuan sebuah negara akan dilakukan, dimana tujuan-tujuan itu antara lain adalah 1. mengontrol Negara dari berbagai tindak kekerasan (Militer), 2. Mengontrol produksi ekonomi, 3. Mengontrol system financial dan kredit, 4. Mengontrol dan memiliki pengaruh yang besar pada ilmu pengetahuan dan Komunikasi (Susan Strange, 1987) dan pemikiran ini mirip dengan seorang neo-Marxist yaitu Immanuel Wallerstein bahwa seorang pemimpin harus bisa memaksakan kepentingannya di bidang ekonomi, politik, militer, diplomasi dan bahkan budaya maupun pendidikan (William Wallerstein, 1984).
Dan dari sinilah banyak kekuatan hegemoni dunia mulai menyadari pentingnya penguasaan terhadap sumber energi ekonomi terutama minyak dalam menopang berjalannya industri sebagai strategi pembangunan ekonomi dan kekuatan nasionalnya, dalam penjelasan berikutnya penulis akan memaparkan seberapa jauh konflik di Timur Tengah yang disebabkan oleh perebutan kepemilikan atas minyak, yang membuat kita bertanya-tanya apakah kekayaan sumber daya alam minyak ini adalah kutukan atau keberuntungan.
Energi: Sebuah Permasalahan Dunia
Richard Mansbach di dalam bukunya “Introduction to Global Politics” memaparkan bahwa salah satu permasalahan dunia saat ini adalah energi. Pengamat perdamaian UGM Rani Kumoro menjelaskan bahwa kekerasan dan konflik yang timbul dari perebutan sumber daya alam diawali dari perdebatan apakah sumber daya alam itu langka atau melimpah. Dan kemudian menimbulkan pertanyaan, siapakah yang berhak menguasai rahmat Tuhan ini. Dalam studi modernisme/positivisme melahirkan 3 paradigma orthodox terkait menjawab permasalahan ini, yaitu Realisme, Liberalisme dan Strukturalisme.
Pandangan realis selalu beranggapan bahwa konflik minyak yang terjadi sekarang dikarenakan ambisi hegemoni Negara. Namun dari sudut pandang Liberalis konflik terjadi karena permintaan dan kebutuhan pasar dalam pemenuhan pembangunan ekonomi (yang mengarah kepada keserakahan) yang kemudian tidak peduli terhadap aspek lingkungan dan kemanusiaan. Sedangkan Strukturalis melihatnya sebagai konflik dominasi antara penguasa dan yang dikuasai, baik itu berupa pertentangan kelas (kapitalis versus buruh) atau pertentangan Negara-negara dunia (utara versus selatan).
Sudut pandang pemikiran orthodox dalam studi hubungan internasional di atas kemudian melahirkan sebuah konsekuensi kebijakan dalam menyikapi kelangkaan sumber energi terutama minyak, yaitu siapa yang memiliki paling banyak sumber energy minyak akan membuat posisi sang pemilik tersebut berada dalam posisi menguasai, bukan dikuasai, sehingga dimulailah pertarungan antara aktor-aktor hubungan internasional dalam perebutan minyak tersebut dalam bermacam bentuk, mulai dari konflik ekonomi, diplomasi bahkan militer.
Sudut pandang post-positivisme kemudian mencoba keluar dari pandangan orthodox seperti diatas dan menjelaskan bahwa kekerasan dan peperangan yang disebabkan oleh perebutan sumber energi terutama minyak karena adanya praktek komodifikasi, yaitu menjadikan sumber daya alam yang seharusnya bisa diperuntukkan untuk pemenuhan kebutuhan ummat manusia kemudian dijadikan komoditas yang dimiliki oleh segelintir orang/Negara untuk pemenuhan hasrat berkuasanya.
Kemudian, Oliver Richmond menjelaskan perlunya pendekatan yang lebih integralistik dan berdasarkan landasan epistemologi, ontology dan metodologi yang jelas dan rasional. Di sini, untuk mengatasi environmental scarcity yang diakibatkan oleh demand-induce supply-induce structural-induce, tidak bisa diselesaikan jika hanya menggunakan pendekatan partikular/behavioral/positivis seperti Realisme (Negara) atau Liberalisme (pasar). Tapi juga melibatkan semua aktor, baik lokal, nasional, regional dan global, serta menggunakan semua aspek pengetahuan seperti moral, hukum, aturan sosial (norma), dan sebagainya yang terkait dengan konflik minyak.
Pada penjelasan berikutnya penulis akan memaparkan peranan AS dalam menciptakan konflik bahkan invasi dalam ambisi kepemilikian minyaknya di kawasan timur-tengah. Selain itu juga akan menjelaskan perilaku beberapa Negara di kawasan Timur-Tengah dalam menyikapi permasalahan minyak yang selalu menjadi prioritas paling utama di kawasan ini.
Konflik Minyak di Timur-Tengah
AS yang merupakan Negara terkaya dan memiliki industri yang besar dalam menggerakan roda perekonomiannya, telah menyebabkan Negara ini menjadi pengkonsumsi minyak terbesar di dunia, dalam satu tahun setidaknya AS menghabiskan 20 juta barrel minyak untuk memenuhi kebutuhan di negaranya, AS yang merupakan Negara konsumen terbesar sekaligus merupakan Negara produsen terbesar di dunia bersama dengan sekutu-sekutunya di Eropa Barat dengan oligopoli perusahaan minyaknya yang dikenal dengan seven sisters (seperti: BP, Shell, Chevron, dan Exxon Mobil).
Namun dominasi AS dan sekutunya, kemudian mengalami penurunan setelah mulai bangkitnya Negara-negara Timur Tengah dengan kekuatan perusahaan minyaknya telah berhasil dengan baik menjadi pemilik dari sumber-sumber minyak yang ada dan bahkan berhasil membentuk kartel Negara-negara pengekspor minyak di dunia yang sekarang dikenal dengan OPEC, bahkan diketahui bahwa OPEC sempat membuat gebrakan dengan melakukan embargo minyak kepada Negara-negara yang mendukung Israel.
Sebagai Negara hegemon yang tetap ingin menjaga posisi berkuasanya, AS kemudian menjadikan kawasan Timur-tengah yang kaya atas sumber energi minyak sebagai prioritas eksploitasi utamanya, pelajaran yang AS ambil dari embargo minyak oleh Negara-negara Arab kemudian menjadikan AS berambisi besar untuk menguasai sumber-sumber minyak yang besar di Timur Tengah untuk menjaga agar stock minyak selalu mampu untuk memenuhi kebutuhan konsumsi minyak AS yang besar untuk perekonomiannya.
Ada dua langkah yang diambil oleh AS, pertama adalah dengan menjadikan Negara-negara dikawasan Timur Tengah sebagai sekutu dekat nya, dengan syarat tentu Negara-negara Timur Tengah tersebut harus menjaga Supply minyak untuk AS tetap terjamin dan serta tidak menganggu eksistensi Negara dukungan utamanya dikawasan ini yaitu Israel, dan Negara-negara di Timur Tengah yang menjadi sekutu dekat AS adalah Negara-negara teluk seperti Arab Saudi, Bahrain, Oman, Kuwait, Uni Emirat Arab dan Qatar.
Negara-negara yang dikenal sangat dekat (bisa dikatakan subordinate dari AS) ini dalam kebijakan luar negerinya sangat pro kepentingan AS bahkan dalam isu Israel pun Negara-negara ini bersikap pasif, karena Negara-negara yang pada awalnya memiliki potensi untuk melawan hegemoni AS kemudian terjebak kepada kebijakan AS yang membuat Negara-negara ini sangat bergantung kemudian kepada AS sebagai pembeli utama minyak mereka selain sebagai penjamin bahwa AS akan terus menjaga eksistensi Negara-negara teluk ini yang notabene adalah para Raja bentukan Inggris dan AS sendiri dan tentu terus memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan Negara ini akan teknologi dan persenjataan yang AS dan sekutunya berikan.
Sedangkan bagi Negara-negara yang melawan hegemoni minyak AS dan sekutunya (terutama Inggris dan Perancis), seperti Iran, Irak (pada awalnya) atau bahkan Suriah, harus menerima berbagai konsekuensi berat oleh AS dan sekutunya, seperti embargo ekonomi terhadap Iran dari tahun 1979 sampai sekarang bahkan melakukan tahap invasi militer, salah satunya adalah Irak. Padahal dalih penyerangan karena kepemilikan Nuklir tidak pernah terbukti, yang ada malah ketika AS berkuasa di Irak, AS justru disibukkan untuk membangun industri eksplorasi minyaknya di Irak dengan salah satu perusahaan terkenalnya yaitu Halliburton, dan perilaku AS dan sekutunya ini masih terus berlanjut sampai sekarang. Bahkan serangan AS dan NATO di Libya dan Suriah dengan dalih kemanusiaan pun tak bisa dipungkiri hanya justifikasi untuk ambisi AS dan sekutunya untuk menguasai sumber-sumber ataupun jalur-jalur minyak strategis dikawasan itu.
Selain AS dan sekutunya, pencipta konflik minyak juga berasal dari internal Timur Tengah itu sendiri yaitu Irak di era kepemimpinan Saddam Hussein, dalam memenuhi ambisi kekayaannya Negara Irak dibawah Saddam Hussein setidaknya memulai peperangan dengan 2 negara tetangganya yaitu Iran (1981-1988) dan Kuwait (1990-1991).
Charles Kegley & Eugene Wittkopf (World Politic, Trend and Transformation; 1999), President Bush senior, tidak pernah mengakui ambisi minyak Negara (kelompoknya) didalam invasi militer ke Irak, namun kepala Negara AS ini menjelaskan bahwa Timur Tengah adalah kawasan penting bagi AS, terutama dalam kebijakan energi dan keamanan nasional AS, kelancaran supply minyak adalah kepentingan utama AS, karenanya pada pembahasan terakhir penulis akan memaparkan kesimpulan dan solusi (saran) terkait isu energi minyak.
Kesimpulan dan Solusi
Mengutip pendekatan David P. Barash, maka kekerasan atau konflik yang timbul dari perebutan kepemilikan sumber energi terutama minyak selain karena kelangkaan sumber itu sendiri juga didorong motif kekerasan utama yaitu motif Ekonomi. Michael Howard menjelaskan bahwa pengambil kebijakan dianggap sebagai aktor yang rasional dalam arti nilai ekonomi dimana tiap pengambil kebijakan mencoba memaksimalkan nilai yang diperoleh dalam kebijakannya sehingga pendekatan ini menggap pengambil kebijakan akan memutuskan perang atau menolak perang tergantung kepada pilihan mana yang bisa memberikan nilai (baca:keuntungan) tertinggi.
Melanjutkan paper yang ditulis oleh Pugh, Cooper & Turner, Duffield dan Lebillon, maka kekerasan karena perebutan kekayaan alam (energi minyak) disebabkan oleh bentuk tatanan dunia pasca perang dingin, dimana kepentingan MNC dan perdagangan internasional oleh sebuah Negara untuk peningkatan kekuatan ekonomi menjadi isu utama. AS dan sekutunya serta MNC minyak yang dimilikinya menjadi aktor utama dibalik kekerasan yang terjadi di Timur Tengah, sedangkan demokrasi dan kemanusiaan hanyalah dalih dari invasi militer AS dan sekutunya ke kawasan ini. Sebab terbukti AS tetap menjaga hubungan yang baik dengan mayoritas negara teluk yang tidak demokratis dan diskriminatif tersebut selama menjaga kepentingan minyak di Timur Tengah.
Solusi damai terkait blood oil di Timur Tengah sangatlah sulit, karena aktor kekerasan adalah Negara-negara adidaya yang tidak hanya berkuasa secara hard power (kapasitas dan kapabilitas militer-ekonomi) namun juga soft power (media massa dan pengetahuan) dan juga perilaku konsumen (buyer) minyak yang memiliki kebergantungan sangat tinggi terhadap komoditas minyak.
Karenanya solusi yang ditawarkan haruslah komprehensif, Charles Webel menjelaskan dengan baik terkait konsep strong peace, bahwa perdamaian bisa tercipta apabila ada komitmen perdamaian yang tinggi baik pada aktor Negara maupun non-negara, hal ini seiring dengan pendekatan post-positivist yang ditekankan oleh Oliver Richmond, yang kemudian dijelaskan tahapannya dengan baik oleh pemikir post-modern seperti McGregor, Dalam tawaran perdamaiannya McGregor membagi perdamaian itu ke dalam lima bentuk:
1. Inner Peace: yaitu penekanan bahwa perdamaian ada dan berasal dari diri tiap manusia
2. Negative Peace: penekanan akan tidak adanya perang dan kekerasan langsung
3. Positive Peace: lebih menekankan pada aspek struktur perdamaian, seperti tegaknya keadilan, kebebasan, hak asasi manusia, kesetaraan dan inklusi.
4. Relational Peace: Perdamaian yang timbul dari adanya relasi solusi perdamaian positive dan negative
5. Eco-Peace: perdamaian yang diartikan adalah perdamaian kepada alam (bumi) dimana manusia menjaga keberlangsungan hidup Bumi dan Alam berarti telah menjaga kehidupan manusia dan seluruh mahluk hidup di dalamnya, dan ini adalah bentuk perdamaian yang nyata.
Adapun aspek teknis, solusi yang saya tawarkan adalah mengikuti langkah Piagam Kimberley, Pugh, Cooper dan Turner menjelaskan bahwa keberhasilan perdamaian yang diciptakan oleh piagam Kimberley bukan saja karena keterlibatan multi-aktor (yaitu Negara, MNC dan INGO/IGO) tapi juga pendekatan mekanis nya yang bukan saja melihat aspek structural kebijakanNegara, tapi juga membentuk perilaku pelaku ekonomi yaitu produsen dan pasar.
Hal yang dilakukan pertama kali adalah membangun kesadaran pada pasar untuk tidak membeli intan dari negara-negara yang menggunakan kekerasan dalam proses produksinya, dan ini juga harus bisa diterapkan pada kasus minyak, jumlah korban kekerasan dari Blood Oil di Timur Tengah sudah banyak sekali namun pasar dan masyarakat internasional seolah-olah bungkam, karenanya harus dibangun kesadaran untuk tidak membeli minyak dari hasil kekerasan/perang oleh siapapun itu bahkan aksi militer sekaliber AS dengan segala justifikasinya, dan karenanya membeli minyak dari Negara-negara yang tidak melakukan kekerasan didalam proses pra-produksi produksi dan pasca produksinya.
Komitmen kuat masyarakat internasional dan pasar diharapkan akan mengubah perilaku dari MNC dan Negara penyokongnya minyak agar lebih damai dalam proses produksinya secara langsung, dan solusi ini harus diikuti komitmen kuat oleh semua aktor hubungan internasional yang terlibat dalam menjalankannya.