Jumat, April 19, 2024

Makanan di Penjara Bukan Persoalan Sepele

Pradewi Tri Chatami
Pradewi Tri Chatami
A witch. A cat. Marxist Manja Group. Whatever makes you happy on a Saturday Night.

Saya kira, semua orang yang pernah mengadakan riset lapangan di penjara tahu masalah di penjara seperti timpangnya jumlah petugas dan tahanan. Ketimpangan ini tentu berpengaruh pada bagaimana pengelolaan penjara. Tiap Lapas punya kiatnya sendiri, sebagian aturan dibuat longgar, sebagian lain menggunakan kekerasan yang tak jarang sifatnya fisikal demi pendisiplinan.

Lapas yang saya teliti empat tahun lalu adalah Lapas baru, kecil, di kota kecil yang lokasinya terpencil pula: di puncak bukit yang akses kendaraannya hanya kendaraan pribadi atau ojek. Hanya ada 28 orang termasuk Kalapas untuk mengelola 300-an tahanan, baik napi maupun titipan kejaksaan. Isinya orang-orang sepele: napi dengan kasus receh dan narkoba. Rata-rata selain pribumi, mereka adalah buangan, entah karena bermasalah betulan, entah karena demikian insignifikan—ketika Lapas asal mereka penuh, mereka dengan mudah dipindahkan begitu saja.

Sebelum riset lapangan, saya menyaksikan ketegangan tempat baru dan kekurangan petugas sudah menciptakan masalah: tawuran antara napi pindahan dan yang merasa pribumi, salah satu napi mati gantung diri, dan tentu saja ada napi yang kabur.

Penjara jelas bikin frustrasi. Saya tidak pernah membayangkan bahwa hal paling mendasar seperti makan, meskipun makanan di Lapas yang saya teliti masuk kategori dapat dimakan, tapi rasa hambar dan rutinitas pemberiannya adalah penjara tersendiri. Napi miskin mengandalkan beli mie instan agar makanan mereka “ada rasanya.” Sedang yang lain bisa beli makanan di kantin, kebetulan ada napi yang jago masak dan diizinkan bikin semacam warung nasi. Napi yang diperbantukan di dapur biasa mengolah sisa bahan dan jualan rujak di siang hari, nasi goreng di malam hari.

Seluruh juru masak di dapur Lapas ini adalah sesama napi yang diperbantukan. Mereka bangun lebih pagi dari yang lain untuk menyiapkan sarapan dan kembali ke sel setelah urusan makan malam selesai. Apakah karena seluruh juru masaknya napi dan mereka terpencil, mereka memasak masakan yang relatif lebih bisa dimakan? Saya tidak mengejar pertanyaan itu, sayang sekali, karena fokus pertanyaan penelitian saya tidak di sana.

Urusan makanan dan keterpenjaraan ini lebih luas lagi dibahas oleh misalnya, riset Thomas Ugelvik di penjara Norwegia, The Hidden Food: Mealtime Resistance and Identity Work in a Norwegian Prison. Resistensi napi terhadap makanan penjara adalah semacam weapons of the weak, perlawanan-perlawanan kecil menolak perasaan tidak berdaya di hadapan kuasa yang demikian besar.

Saya tidak tahu pasti apakah benar makanan yang menjadi penyebab kerusuhan di Mako Brimob. Tapi mereka yang menganggap bahwa para tahanan tidak mungkin mengamuk karena makanan barangkali tidak pernah mencicipi makanan penjara yang kebanyakan mirip pakan bebek (napi Lapas Banceuy, Rutan Kebon Waru, Lapas Sukamiskin, Lapas Cipinang, Lapas Sumedang, Lapas Garut semua bilang makanan penjara seburuk itu).

Apakah ini karena di dapur mereka yang memasak petugas Lapas dan oleh karena itu peduli setan pada kualitas makanan buat napi, karena mereka punya banyak hal lain yang perlu dipikirkan? Para napi tidak bisa memberi saya simpulan. Saya yang hanya mencicipi sayur asem hambar hanya bisa mengira-ngira betapa pusingnya sehari harus makan tiga kali dengan makanan yang hambar.

Lepas dari masalah makanan dan kerusuhan dan cara kita menangani napi teroris dan masalah terorisme secara keseluruhan, pendapat saya mengenai pengelolaan penjara dan masalah ketimpangan jumlah petugas dan narapidana tetap sama sejak empat tahun lalu: pemenjaraan terhadap kasus nonkriminal jelas berpengaruh besar.

Jika, misalnya, ganja tidak dikategorikan sebagai narkoba, dan para penggunanya tidak perlu dipenjara, mungkin jumlah tahanan akan berkurang secara signifikan. Toh, di penjara mereka selalu bilang bahwa mereka bukan kriminal. Dan pemenjaraan terhadap pengguna narkoba malah membuat narkoba tersebar di antara jaringan antar penjara.

Pradewi Tri Chatami
Pradewi Tri Chatami
A witch. A cat. Marxist Manja Group. Whatever makes you happy on a Saturday Night.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.