Jumat, April 19, 2024

Tragedi Guru Budi

Roy Martin Simamora
Roy Martin Simamora
Peminat gender studies. Alumnus Hua-Shih College of Education, National Dong Hwa University, Taiwan.

Guru dianiaya siswa hingga tewas. Tagline itu seketika menghiasi lini media massa sejak akhir pekan lalu. Sungguh disayangkan, seorang siswa (HI) berani memukul seorang guru yang notabene adalah pengganti orangtuanya di sekolah.

Penganiayaan terhadap guru bernama Ahmad Budi Cahyono di SMA di Kabupaten Sampang, Madura, itu bermula tatkala seorang siswa mengganggu temannya sedang melukis pada saat pelajaran seni rupa. Si guru memperingatkan, tetapi siswa tadi tidak mengindahkan perkataan guru. Si guru lantas mencoret wajahnya dengan cat.

Tidak terima dengan perlakuan guru Budi, si siswa gelap mata dan memukul si guru di hadapan siswa yang lain. Sulit dipercaya sosok yang mendidik dan menanamkan nilai-nilai keluhuran, kebaikan, dan kebajikan harus meregang nyawa secara sia-sia di tangan siswanya sendiri. Satu kata: miris!

Paling menyedihkan lagi, sang guru seni itu harus pergi untuk selamanya dan meninggalkan seorang istri yang tengah mengandung anak pertama. Kepergian seorang guru menyisakan luka dan pilu yang menyayat hati. Siapa yang salah? Pemerintah, sekolah, guru, atau siswanya? Lantas, apa yang salah dengan pendidikan kita?

Jika membincangkan siapa yang salah dan apa yang salah dalam pendidikan kita, saya kira itu tidak akan menyelesaikan perkara dan buang-buang waktu. Sebaiknya, semua pihak yang bersentuhan langsung dengan pendidikan harus intropeksi diri dan berkontemplasi.

Tulisan ini tidak akan cukup mewakili rasa keprihatinan saya terhadap praktik pendidikan kita. Tetapi, sebagai orang yang peduli terhadap pendidikan, saya kira ada satu tugas penting yang semestinya diperhatikan secara serius oleh siapa pun yang bersentuhan langsung dengan praktik pendidikan. Apa itu? Mendidik generasi bangsa.

Semenjak digaungkannya wacana penguatan pendidikan karakter, sekali lagi menandakan bahwa bangsa kita memang dalam keadaan sakit parah, khusus dalam bidang pendidikan. Ide pendidikan penguatan karakter pernah dipakai menjadi acuan pendidikan bagi sekolah dan perguruan tinggi, lalu mencuat kembali di pemerintahan sekarang. Tetapi perlu diingat, menjadikan generasi bangsa semakin berkarakter tentu belum cukup.

Perlu keseriusan kita bersama-sama menanamkan pendidikan karakter kepada generasi berikutnya, dalam hal ini para siswa di sekolah. Akan tetapi, tugas menyadarkan generasi bangsa (siswa) jangan hendaknya selalu dilimpahkan sepenuhnya kepada guru-guru di sekolah. Tugas menanamkan pendidikan karakter tidak melulu tugas guru-guru saja!

Ihwal pendidikan penguatan karakter, kita sepertinya perlu belajar dari pengalaman Tiongkok. Pengalaman negara ini dalam melakukan pembaruan pendidikan yang dimulai pada awal tahun 1980-an bisa menjadi salah satu bahan pelajaran. Pembaruan pendidikan ini telah menjadi penggerak utama kebangkitan Tiongkok menjadi salah satu negara yang mengutamakan pendidikan.

Tema utama reformasi pendidikan di Tiongkok adalah pendidikan karakter dan tujuan utamanya “untuk menjadikan setiap warga Tiongkok menjadi orang yang berkarakter kuat dan menumbuh kembangkan warga masyarakat yang lebih konstruktif”. Bagaimana dengan bangsa kita?

Melihat kenyataan bangsa ini, saya jadi teringat dengan workshop pelatihan guru-guru sekolah dasar di sebuah sekolah setahun silam. Pada kesempatan itu, guru-guru diajak oleh instruktur agar mampu meningkatkan kualitas pembelajaran berbasis active learning pada kurikulum 2013, namun panggang jauh dari api. Guru-guru SD itu tidak paham dengan materi yang terdapat pada kurikulum 2013. Padahal substansi dari kurikulum 2013 itu seharusnya dipahami bersama oleh guru-guru.

Jika guru-guru tidak paham, apa yang menyebabkan hal itu bisa terjadi? Asumsi saya ada dua: pertama, pemerintah kurang memberikan perhatian khusus terhadap pembentukan dan penanaman pendidikan karakter bangsa ini. Maksudnya, pemerintah masih setengah hati mensosialisasikan pendidikan karakter itu sendiri.

Kedua, kurangnya pemahaman guru mengenai esensi pendidikan karakter karena tidak dihayati dengan baik, akhirnya pengajaran dan penanaman di dalam kelas hanya sebatas teori belaka. Tidak menyentuh dan tertanam ke dalam diri para siswa.

Sejurus dengan itu, setiap guru yang hadir dalam workshop memberi testimoni. Saya nukil beberapa testimoni: “Sebetulnya kurikulum kita, sebagai contoh kurikulum 2013 yang salah satunya memuat karakter. Kenyataan di lapangan, anak-anak zaman sekarang justru makin rusak moral dan akhlaknya daripada anak-anak zaman dulu. Saya sebagai guru menyarankan agar pemerintah meninjau kembali sistem pendidikan kita yang mengharapkan siswa agar berkarakter,” kata Pak Sigalingging

Lalu dia menyebut contoh yang ia alami. “Siswa bandel, dicubit sedikit saja, si guru sudah dicap tukang pukul. Guru akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa. Serba salah, karena takut berhadapan dengan penegak hukum dan sanksi hukum. Masa kalau perlindungan anak ada, perlindungan guru tidak ada?” tukas Pak Sigalingging dengan nada meninggi.

Pak Sihaloho menimpali: “Guru tidak dapat menentukan sikapnya. Sistem pendidikan yang notabene melahirkan anak-anak yang berkarakter justru berbenturan dengan hukum dan hak asasi manusia yang sering didengungkan itu. Pemerintah mengharapkan agar guru begini, guru begitu tetapi guru tidak pernah dilindungi haknya. Salah besar kalau guru memukul karena benci atau emosi. Bagaimanapun kami ini pendidik, tidak setega itu kami kepada anak didik kami. Kami lebih menderita dengan sistem yang sedang berjalan ini. Tolonglah kepada pemerintah, bagaimana dengan nasib kami?”

Di sisi yang lain, Ibu Purba juga memiliki kegelisahan soal pendidikan karakter yang seringkali digaungkan oleh pemerintah. “Pemerintah berharap agar para guru mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah, tetapi kenyataan di lapangan karakter yang dimiliki para peserta didik jauh merosot. Kalau zaman saya dulu, saya sangat menghormati guru. Takut kalau ketemu guru. Kalau sekarang, anak-anak tidak takut dengan guru malah anggap sepele dengan guru. Lalu, bagaimana menanamkan pendidikan karakter itu sendiri jika tidak dimulai dari keluarga mereka masing-masing? Mengapa guru-guru yang selalu dibebankan?”

Testimoni yang disampaikan guru-guru tadi setidaknya mewakili suara para guru di sekolah yang lain. Menohok sekaligus penting direnungkan bersama-sama. Jika berkaca dengan kenyataan seorang guru meninggal dunia karena dianiaya siswanya sendiri, penguatan karakter memang masih sekedar utopia belaka. Penanaman karakter kepada generasi bangsa sepertinya belum sepenuhnya berhasil ditanamkan pada anak-anak di keluarga, sekolah, dan lingkungan.

Terlepas dari itu, penguatan pendidikan karakter memang harus diselenggarakan dengan sebaik-baiknya oleh pelaku pendidikan. Sejatinya, pengembangan pendidikan karakter sangat strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa mendatang. Pengembangan pendidikan karakter harus dilakukan melalui perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, dan metode belajar serta pembelajaran yang efektif.

Sesuai dengan sifat suatu nilai, pendidikan karakter bangsa adalah usaha bersama keluarga, sekolah, lingkungan masyarakat, dan tentu pemerintah. Oleh karenanya, itu harus dilakukan secara bersama oleh semua pihak. Dan, pendidikan karakter menjadi bagian yang tak terpisahkan dari jati diri bangsa.

Roy Martin Simamora
Roy Martin Simamora
Peminat gender studies. Alumnus Hua-Shih College of Education, National Dong Hwa University, Taiwan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.