Rabu, Oktober 16, 2024

Selamat, Kamu Menjadi Beban Negara!

Alexander Michael Tjahjadi
Alexander Michael Tjahjadi
Research Intern Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Ketika masa pendidikan berakhir, setiap orang akan masuk ke dalam pasar tenaga kerja. Mau tidak mau dan siap tidak siap mereka harus memperkaya diri dengan berbagai pengetahuan (knowledge) dan kemampuan (skill). Tanpa kedua hal itu, calon pekerja tidak direkrut oleh perusahaan. Masalah akan bertambah pelik lagi dengan bertambahnya calon pekerja setiap tahun.

Dari sebab itu, terdapat mereka yang menganggur. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sekitar 7 juta orang menganggur pada Agustus 2017. Jumlah ini mengalami kenaikan sebesar 10 ribu orang dari angka pengangguran tahun 2016. Angka ini menunjukkan bahwa di Indonesia hampir 5 persen angkatan pekerja menganggur.

Selain itu, jumlah ini belum ditambah dengan 9 juta orang yang setengah menganggur atau mereka yang masih menjadi pencari kerja. Masalah yang dihadapi pencari kerja juga tidak sedikit, mereka harus mengetahui di sektor mana mereka ingin bekerja dan merintis kehidupan yang layak.

Dalam konteks ini, sektor jasa masih menjadi “primadona” pekerjaan, karena sektor ini memiliki perkembangan pesat dan menjanjikan transformasi. Tentu saja generasi milenial menginginkan tempat kerja yang dinamis dan jenjang karir yang jelas. Oleh karena itu, banyak generasi muda membangun start-up. Akan tetapi, generasi muda masuk ke dalam penyedia jasa. Kita dapat melihat aplikasi daring seperti Go-Jek, Uber, maupun Grab dan membuat orang berduyun-duyun meninggalkan pekerjaan utamanya dan berganti ke sektor ini.

Dari segi penghasilan, sektor jasa memiliki rata-rata penghasilan lebih tinggi dibandingkan sektor pertanian dan manufaktur. Namun, mereka yang bekerja di sektor jasa dituntut untuk memiliki pengetahuan dan kemampuan yang tinggi. Hal ini belum ditambah semakin disruptifnya teknologi di sektor jasa.

Disruptif merupakan kondisi saat keadaan awal berubah dengan cepat. Sektor jasa yang efektif dapat kita temukan di Singapura. Negara ini mampu mentransformasi perekonomiannya menjadi efektif berdasarkan sektor jasa. Secara nominal, negara ini adalah penghasil start-up terbesar. Dalam hal ini, salah satu cara untuk mengembangkan sektor jasa yang berdaya saing adalah pendidikan.

Bukan fakta yang mengejutkan bahwa pendidikan orang Indonesia masih rendah. Pada Agustus 2017, 42 persen pekerja kita berlatar belakang pendidikan sekolah dasar (SD). Hal ini menunjukkan bahwa pekerja Indonesia memiliki kemampuan kognitif yang rendah. Hal ini bisa membuat pekerja terjebak di sektor informal, dan pada gilirannya mendapatkan penghasilan yang lebih rendah dibandingkan pekerja di sektor formal.

Celakanya lagi, pendidikan sekolah menengah kejuruan atau SMK tidak menjamin orang langsung dapat bekerja. Tingkat pengangguran terbesar ada di jenjang SMK atau setara dengan 11,4 persen pada tahun 2017, artinya 1 dari 10 pemuda yang lulus dari SMK tidak mampu mendapatkan pekerjaan. Ini menjadi kontradiksi, karena pemerintah tengah mempromosikan sekolah kejuruan, padahal fakta menunjukkan mereka yang menempuh SMK susah untuk mendapat pekerjaan.

Saya lebih cenderung sebaiknya pemerintah bukan mengejar kuantitas pendidikan, tetapi kualitas pendidikan. Bagi saya, negara Jerman berhasil menghubungkan pencari kerja di sekolah kejuruan dengan dunia industri. Pengelola pendidikan di negara ini membuat pencari kerja dapat terhubung secara langsung sehingga pekerja masuk dalam sektor formal.

Hal ini ditambah lagi dengan kemampuan pekerjanya yang di atas rata-rata, sehingga negara ini memiliki daya saing yang tinggi. Caranya adalah mengajarkan kemampuan terbaru dengan menggunakan teknologi. Teknologi yang dimaksud mencakup pemograman yang bisa berujung pada penguasaan big data.

Dalam konteks ini, Indonesia telah mencoba tahap pertama, yaitu menghubungkan sekolah kejuruan dengan industri. Namun akar permasalahannya terletak pada kemampuan. Industri saat ini berorientasi jasa dan menuntut pekerja di dalamnya menguasai teknologi dan adaptif dengan perubahan zaman. Padahal, pengajaran di kejuruan masih mencakup kemampuan dasar dan tidak menyentuh penggunaan teknologi yang tinggi.

Jadi, pemerintah memiliki pekerjaan amat besar untuk menghubungkan dunia industri dengan pendidikan. Di satu sisi, siswa belum menguasai teknologi tinggi dan di sisi lain industri menuntut kemampuan yang tinggi. Seharusnya pemerintah lebih mengutamakan penguasaan teknologi dan membentuk personal siswa. Karena itu, revolusi mental harus ditambah dengan penguasaan teknologi agar manusia yang diciptakan dapat berdaya saing tinggi.

Alexander Michael Tjahjadi
Alexander Michael Tjahjadi
Research Intern Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.