Jumat, Maret 29, 2024

NekNomination, Perkembangan Teknologi, dan Masalah Pendidikan

Muyassaroh Hafidzoh
Muyassaroh Hafidzoh
Guru MTs Al-Quran, Bantul, DIY, dan aktif dalam berbagai kegiatan kampung.
Sekelompok anak muda sedang menenggak minuman beralkohol dalam rangka mengikuti permainan NekNomination di Facebook. [Foto: intrigue.ie]

Salah satu tantangan paling serius dunia pendidikan hari ini adalah tren dunia digital yang bernama NekNomination, yakni sebuah online game di mana pemainnya harus mengunggah video mereka yang sedang meminum minuman beralkohol (termasuk mixed beberapa jenis minuman beralkohol) dalam jumlah banyak.

Sampai saat ini, dilaporkan sudah ada sejumlah korban jiwa akibat permainan tersebut. NekNomination agaknya dapat kita pakai sebagai label yang merujuk pada segala bentuk tren digital yang berbahaya, bahkan berpotensi mematikan, termasuk kegiatan selfie yang melibatkan aktivitas ekstrem, seperti bermain-main di sekitar rel kereta api.

Nasib pendidikan anak sangat mengerikan di tengah tren NekNomination ini. Baik sekolah dan orangtua harus ekstra waspada terhadap perkembangan pendidikan anak, karena era digital selain memberikan manfaat yang besar, juga menghadirkan berbagai macam bahaya yang mengancam anak.

Fitur-fitur yang ditawarkan teknologi digital tanpa sadar telah mengganggu pertumbuhan fisik dan mental mereka. Anak-anak yang terpapar perangkat digital sejak dini dapat mengalami perkembangan otak dan emosi yang tidak sempurna. Akibatnya, mereka memiliki memori jangka panjang yang buruk, emosi tidak stabil, sulit berkonsentrasi, dan bahkan tidak mampu berpikir (Yee-Jin Shin: 2014).   

Kalau pertumbuhan fisik dan mental tidak stabil, maka anak bisa melakukan hal-hal yang merusak diri mereka sendiri. Untuk itu, pihak sekolah dan orangtua harus mengetahui dengan seksama dampak negatif yang dapat muncul akibat kecanduan dunia digital.

Pertama, anak mengalami krisis karakter. Sekolah dan orangtua adalah pendidikan paling utama bagi seorang anak, sehingga anak bisa terbentuk karakternya. Kalau anak justru “berguru” pada teknologi digital yang sifatnya instan, maka anak dapat kehilangan karakter atau jati dirinya.

Kedua, anak terjebak dalam kemalasan. Semakin anak mudah mengakses teknologi digital, apalagi kalau memegang teknologi sendiri, anak bisa terjebak dalam kemalasan. Tiap harinya waktu bisa dihabiskan di hadapan gadget (ponsel pintar, laptop, dan lain sebagainya).

Ini sangat berbahaya. Tubuh anak juga menjadi tidak sehat akibat kurang bergerak. Anak pun asyik dalam “dunia maya” yang tidak nyata. Hidupnya bisa bergantung pada dunia tersebut dan kehilangan antusiasme untuk menjalani kehidupan sesungguhnya.

Ketiga, anak bisa berbuat curang. Dengan membawa gadget ketika ujian, anak bisa berbuat curang. Apa pun bisa dilakukan menuju jalan pintas. Di masa depan, anak dapat tumbuh menjadi pelaku kriminal karena terbiasa berpola pikir serba instan.

Keempat, anak tidak fokus. Kalau sudah memegang gadget, anak bisa hilang fokusnya dalam belajar. Anak mudah terjebak dalam permainan dan melalaikan tugas utama dalam belajar.

Kelima, anak kehilangan keterampilan dalam menulis. Ketika terbiasa mencari apa saja dengan mudah di internet, anak kehilangan daya kreativitasnya, termasuk dalam menulis.

Melindungi dan Mendidik Anak

Harus ada upaya serius dari orangtua dan sekolah dalam melindungi anak dari laju negatif teknologi digital. Untuk itu, orangtua dan sekolah harus sadar (aware) dan melek (literate) terhadap revolusi digital yang sudah terjadi sejak 1980-an.

Revolusi digital memang mengguncang dunia, karena informasi yang dulu sangat terbatas, sekarang menjadi tumpah, bahkan berlebih-lebihan dan menjadi sampah. Mendidik anak di era digital, setidaknya, kita perlu “berguru” pada negara lain yang mengalaminya lebih dulu.

Yee-Jin Shin (2014), psikiater dan praktisi pendidikan asal Korea Selatan, menjelaskan bahwa negara-negara maju sangat ketat dalam mendidik anak-anak mereka, khususnya menghadapi era digital. Lihat saja orang-orang genius di Silicon Valley menjauhkan gadget dari keseharian anak-anak mereka.

Prancis melarang penggunaan ponsel di sekolah. Jerman dan Finlandia mengawasi penggunaan ponsel pada anak-anak dengan ketat. Korea, yang dikenal memiliki perkembangan teknogi digital terpesat di dunia, mulai mengkhawatirkan dampaknya terhadap anak-anak, generasi penerus masa depan mereka.

Dari pengalaman negara-negara tersebut, bangsa Indonesia harus segera bergerak. Pertama, menghidupkan lagi permainan tradisional. Salah satu local genius yang dapat membentengi anak dari candu digital adalah permainan tradisional yang sekarang ini mulai hilang. Untuk itu, negara harus mengidupkan lagi, karena itu adalah kekayaan bangsa ini.

Jangan sampai anak terjebak dalam permainan online yang mematikan, sementara permainan tradisional selain menyenangkan juga mengasah nalar kritis anak. Ini juga yang banyak dilupakan oleh orangtua dan pendidik. Untuk itu, gerakan kembali kepada local genius harus dihidupkan, kelak anak-anak itu akan mengemas local genius bangsa ini menjadi inspirasi masyarakat dunia.

Kedua, orangtua di rumah harus benar-benar mengawasi anaknya dalam penggunaan teknologi digital. Orangtua harus sadar bahwa anak yang memegang gadget belum sepenuhnya bisa mengoperasionalkan fitur-fitur yang ada dengan kesadaran penuh. Orangtua harus menyempatkan diri untuk mengedukasi anak dalam memanfaatkan teknologi.

Ketiga, menghidupkan kembali kelompok belajar bagi anak-anak. Dengan kelompok belajar, anak-anak mendapatkan komunitas belajar yang saling berbagi dan berinteraksi dalam memecahkan persoalan pelajaran atau sekadar berbagai pengalaman antara satu dengan yang lain.

Ini harus dilakukan dengan kerja sama sekolah, orangtua, dan masyarakat. Sinergi ketiga pihak tersebut akan menjadikan anak menemukan kembali ruang interaksi yang mendidik dan menyegarkan, sehingga anak tidak terjebak dalam kesepian yang berujung kepada permainan digital yang negatif.

Selain ketiga hal itu, orangtua dan sekolah juga harus mengajarkan dan mengoptimalkan fungsi teknologi untuk kemajuan pendidikan anak-anak. Jadi, bukan berarti kita menjauhi teknologi, akan tetapi kita bisa tetap memanfaatkannya untuk kemajuan pendidikan anak dengan membuat perisai pelindung anak dari bahaya dan dampak negatifnya.

Muyassaroh Hafidzoh
Muyassaroh Hafidzoh
Guru MTs Al-Quran, Bantul, DIY, dan aktif dalam berbagai kegiatan kampung.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.