Jumat, April 19, 2024

Pemakzulan Presiden

Endang Tirtana
Endang Tirtana
Peneliti Senior MAARIF Institute dan Komisaris Independen PT. Kereta Api Indonesia

Di tengah upaya Presiden Jokowi dan publik fokus pada persoalan mengatasi pandemi corona, tiba-tiba publik heboh dengan munculnya wacana pemakzulan presiden. Pro kontra itu bermula dari dua webinar dalam rentang waktu berdekatan mengangkat tema serupa; menyoal pemakzulan presiden dari sudut konstitusi atau ketatanegaraan.

Webinar pertama diagendakan oleh kelompok mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) yang tergabung dalam Constitutional Law Society (CLS). Rencana diskusi tersebut urung terlaksana, setelah panitia dan narasumber mengaku mendapat ancaman teror. Terjadi pula adu argumentasi hingga pelaporan ke polisi oleh sesama akademisi di Kota Pelajar itu lantaran tudingan makar.

Terlepas dari tarikan isu yang katanya high politics ini, serangan terhadap diskusi di lingkungan akademik itu dianggap mengancam kebebasan berpendapat. Polisi diminta untuk mengusut siapa pelaku teror tersebut. Sementara itu Istana mengklaim teror semacam itu lebih mungkin dilakukan pihak-pihak di luar kekuasaan, alih-alih abuse of power oleh pemerintah.

Kesan yang berkembang di kalangan masyarakat sipil memang seolah-olah pemerintahan Jokowi makin otoriter hingga menurunkan kualitas demokrasi. Sebaiknya memang upaya teror itu harus diusut tuntas, karena bisa jadi ada pihak-pihak yang ingin memperkeruh suasana dan mengadu domba antara masyarakat dengan pemerintah.

Sementara itu webinar kedua sukses terselenggara, yang digagas oleh Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA) dan Kolegium Jurist Institute (KJI). Diskusi ini menghadirkan deretan pembicara ternama, seperti Din Syamsuddin (Ketua Dewan Pertimbangan MUI), Denny Indrayana (mantan Wamenkumham), hingga Refly Harun (pengamat hukum tata negara).

Din Syamsuddin yang juga merupakan dosen UIN Syarif Hidayatullah mengutip tokoh pemikir politik Islam Al-Mawardi terkait syarat pemakzulan. Pertama, karena tidak adanya keadilan. Kedua, jika tidak memiliki pengetahuan atau visi kepemimpinan yang kuat. Dan ketiga, karena kehilangan kewibawaan dan kemampuan memimpin terutama dalam masa krisis.

Di sisi lain, Denny Indrayana menilai persoalan pandemi sulit dijadikan alat untuk memakzulkan Jokowi secara konstitusional. Jika tidak setuju dengan kebijakan yang diambil pemerintah, maka mekanisme yang lebih tepat adalah melalui pemilu. Secara politis, koalisi pendukung pemerintah di parlemen juga sangat kuat, padahal tahap awal pemakzulan ada di tangan DPR.

Sedangkan Refly Harun menyorot soal perbedaan antara wacana dengan gerakan dalam hal isu pemakzulan. Sebagai wacana dan gerakan yang konstitusional, Refly menilai sah-sah saja. Tetapi jika sudah mengarah pada gerakan inkonstitusional dan ekstrakonstitusional, maka bisa disebut makar. Refly juga mengingatkan agar tidak ada upaya menjatuhkan presiden di tengah masa jabatan.

Diskusi ini mendapat beragam respons, termasuk dari Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah karena penyelenggara membawa nama besar Muhammadiyah. Menurut Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas, selain tidak ada konsultasi sebelumnya, ormas Islam itu juga jadi terseret-seret ke ranah politik sehingga dikhawatirkan bisa mengganggu perjuangan ke depan.

Respons yang sangat bijak disampaikan oleh mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, atau akrab dipanggil Buya Maarif. Menurut Buya, dalam situasi sangat berat yang sedang dipikul oleh bangsa dan negara saat ini sebaiknya semua pihak bahu-membahu untuk mencari jalan keluar dan menenangkan publik serta memberi masukan agar pemerintah bisa bekerja lebih sinergis.

Buya menilai amatlah tidak bijak jika sekelompok orang berbicara tentang pemakzulan presiden dikaitkan dengan kebebasan berpendapat dan prinsip konstitusionalitas. Dikhawatirkan cara-cara semacam ini akan menambah beban rakyat yang sedang menderita dan juga menimbulkan gesekan dan polarisasi dalam masyarakat.

Pandangan Buya sangat tepat dan jernih, jika mengingat munculnya polarisasi yang sangat kuat pada Pemilu 2019 lalu, hingga menorehkan luka politik yang tampaknya belum sembuh sampai hari ini. Meskipun Prabowo telah bergabung dalam kabinet Jokowi, ternyata tidak memberi pengaruh signifikan terhadap polarisasi yang berkembang di tengah masyarakat.

Polarisasi itu tercermin dalam percakapan atau perbincangan di media sosial, di mana sentimen agama dan etnis terus mendominasi dan mempengaruhi cara pandang masyarakat. Ini menjadi pembelajaran penting kepada semua pihak agar berhenti menggunakan sentimen semacam itu untuk meraih perhatian dan dukungan publik.

Pada situasi krisis akibat pandemi ini, kita masih patut bersyukur bahwa ekonomi kita masih belum runtuh dan kehidupan sosial kemasyarakan masih berjalan dengan baik. Memang perlu ada upaya-upaya bersama untuk memperkuat pengawasan dan juga memberikan masukan kepada pemerintah terkait penanganan wabah COVID-19.

Adanya kekecewaan publik tentu harus diterima terbuka oleh pemerintah supaya ada perbaikan dalam hal kebijakan. Para pembantu presiden dipaksa untuk bekerja optimal dan gerak cepat dalam menjalankan instruksi untuk penanganan COVID-19. Alih-alih pemakzulan, alangkah baiknya Presiden mengganti menteri yang mendapat catatan khusus karena tidak sungguh-sungguh bekerja.

Reshuffle lazim dilakukan dan merupakan hak prerogatif Presiden. Di tengah upaya melandaikan kurva penyebaran virus corona dan membuka kembali perekonomian, Presiden perlu didukung oleh tim yang kompeten dalam bekerja, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan publik kepada pemerintah.

Endang Tirtana
Endang Tirtana
Peneliti Senior MAARIF Institute dan Komisaris Independen PT. Kereta Api Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.