Mari kita alihkan perhatian kita ke Paus Fransiskus, yang bebarapa waktu lalu melakukan perjalanan penting melintasi Asia. Setelah mengunjungi dua negara, sempat mengunjungi Timor-Leste, sebuah negara kecil namun sangat istimewa di Asia Tenggara. Kunjungan ini menandai momen bersejarah, karena 97% penduduk Timor-Leste menganut agama Katolik, menjadikannya negara dengan populasi Katolik terbesar kedua di dunia setelah Vatikan.
Ini adalah kunjungan pertama seorang paus ke Timor-Leste sejak negara ini memperoleh kemerdekaannya pada tahun 2002. Peristiwa penting ini, bagaimanapun, tidak luput dari kontroversi. Sebuah pernyataan Paus Fransiskus baru-baru ini tentang memilih hewan peliharaan daripada memiliki keluarga telah memicu perdebatan sengit. Kita akan mendalami masalah ini lebih lanjut nanti dalam laporan ini.
Timor-Leste, sebuah negara kepulauan yang indah di Asia Tenggara, menyambut Paus Fransiskus hari ini. Ini adalah persinggahan kedua terakhir dalam tur Asia selama 12 hari. Mengapa pulau kecil ini menjadi tujuan penting dalam perjalanannya? Jawabannya terletak pada keyakinan penduduknya. Dengan 1,3 juta penduduk dan 97% di antaranya adalah Katolik, Timor-Leste memegang posisi unik sebagai negara dengan populasi Katolik terbesar kedua di dunia, tepat setelah Vatikan. Inilah alasan utama mengapa paus memilih untuk mengunjungi negara yang luar biasa ini.
Kunjungan Paus Fransiskus ke Timor-Leste mencapai puncaknya dengan sebuah misa terbuka yang diperkirakan akan dihadiri oleh setengah dari populasi pulau tersebut. Ini adalah peristiwa monumental yang sangat dinantikan, dan pemerintah telah menginvestasikan 12 juta dolar untuk memastikan kelancarannya. Meskipun jumlah ini mungkin tampak kecil, namun bagi perekonomian pulau yang masih berkembang, ini adalah investasi yang signifikan. Paus Fransiskus adalah paus kedua yang menginjakkan kaki di Timor-Leste, mengikuti jejak Paus Yohanes Paulus II. Namun, ini adalah kunjungan pertama seorang paus sejak negara ini meraih kemerdekaannya pada tahun 2002, menjadikannya momen yang sangat penting.
Sayangnya, kunjungan bersejarah ini juga dibayangi oleh sejarah kelam skandal pelecehan seksual yang menimpa Timor-Leste. Pada tahun 2022, Vatikan menjatuhkan sanksi kepada Uskup Timor, Carlos Filipe Ximenes Belo, karena terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap anak laki-laki di pulau tersebut pada tahun 1990-an. Lebih parah lagi, ia juga memberikan uang kepada korban-korbannya agar mereka tetap diam. Selain itu, ada kasus Pastor Richard Daschbach, yang dijatuhi hukuman penjara 12 tahun pada tahun 2021 karena melakukan pelecehan seksual terhadap anak perempuan di pulau tersebut.
Paus Fransiskus telah angkat bicara mengenai masalah pelecehan ini, namun ia tidak secara langsung mengecam kedua pelaku tersebut. Dalam pernyataannya, ia menekankan pentingnya melindungi anak-anak dan remaja dari segala bentuk pelecehan. Ia berkata, “Kita tidak boleh melupakan anak-anak dan remaja yang martabatnya dilanggar. Fenomena ini terjadi di seluruh dunia. Sebagai tanggapan, kita semua dipanggil untuk melakukan segala kemungkinan untuk mencegah segala bentuk pelecehan dan menjamin pertumbuhan yang damai bagi semua anak muda.” Pernyataan ini, meskipun tidak secara eksplisit menyebut nama pelaku, tetap menyampaikan pesan kuat tentang perlunya melindungi anak-anak dan memastikan mereka tumbuh dalam lingkungan yang aman dan penuh kasih sayang.
Hal ini membawa kita pada tur Paus Fransiskus yang saat ini sedang berlangsung, yang merupakan tur terpanjang sepanjang masa kepausannya. Perjalanan ini dimulai dengan kedatangannya di Indonesia, sebuah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, sebelum melanjutkan ke Papua Nugini, dan kemudian ke Timor-Leste yang mayoritas penduduknya beragama Katolik. Pemberhentian terakhirnya adalah Singapura. Menariknya, tiga dari negara yang dikunjungi bukanlah negara dengan mayoritas Katolik. Pertanyaannya, mengapa Paus yang sudah berusia 88 tahun dan tengah berjuang dengan masalah kesehatan memilih untuk mengunjungi negara-negara ini?
Jawabannya terletak pada meningkatnya pengaruh Gereja Katolik di kawasan Asia-Pasifik. Paus Fransiskus melihat kawasan ini sebagai wilayah yang penting bagi perluasan dan penguatan gereja. Selama perjalanan ini, Paus tidak hanya mengunjungi umat Katolik, tetapi juga mempererat hubungan antaragama. Di Indonesia, misalnya, ia mengadakan pertemuan dan seruan bersama untuk perdamaian dengan Imam Besar Masjid Istiqlal, sebuah langkah simbolis yang menunjukkan komitmen Paus terhadap dialog antaragama dan kerukunan. Paus menyerukan persatuan dan mengingatkan umat dari berbagai latar belakang agama tentang bahaya ekstremisme dan kekerasan, yang dapat memecah belah masyarakat.
Namun, salah satu pernyataan Paus Fransiskus dalam tur ini telah memicu perdebatan dan kontroversi. Dalam pidatonya, ia menyampaikan kekhawatiran mengenai rendahnya tingkat kelahiran, terutama di negara-negara Barat, yang ia nilai sebagai bentuk pembatasan terhadap “kekayaan terbesar” sebuah negara, yaitu kelahiran anak-anak. Paus menyoroti bahwa banyak keluarga di negara-negara lain, seperti yang ia saksikan di Asia, memiliki tiga, empat, atau bahkan lima anak, yang ia pandang sebagai contoh teladan bagi negara-negara lain. Ia juga mengkritik tren di mana beberapa keluarga lebih memilih memiliki hewan peliharaan seperti kucing atau anjing kecil daripada memiliki anak.
Ini bukan pertama kalinya Paus Fransiskus mengutarakan pandangannya yang tegas mengenai pilihan keluarga untuk memiliki hewan peliharaan daripada anak. Paus telah lama berbicara lantang mengenai penurunan tingkat kelahiran di negara-negara Barat dan menganggap fenomena ini sebagai bentuk egoisme. Pada tahun 2022, ia menyebut keputusan memilih hewan peliharaan daripada anak sebagai tindakan egois dan pada tahun 2014, ia menggambarkannya sebagai tanda degradasi budaya yang sedang terjadi. Dalam konteks perjalanannya kali ini, kritik Paus menjadi sorotan utama media.
Meskipun Paus Fransiskus sering dipandang sebagai pemimpin gereja yang progresif dan berusaha menjangkau generasi muda dengan pesan-pesan keberanian dan keterbukaan, pandangannya yang konservatif terhadap isu keluarga dan perencanaan keluarga terkadang berbenturan dengan aspirasi audiens muda yang ia coba dekati. Sementara tur besar ini bertujuan untuk memperkuat kehadiran Gereja Katolik di Asia-Pasifik, sikapnya yang tegas terhadap isu perencanaan keluarga dan nilai tradisional mungkin membuat sebagian orang merasa terasing dari pesan yang ingin ia sampaikan.