Kamis, Mei 2, 2024

Pamela: Moralitas dan Perkawinan

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Pamela, karya Samuel Richardson, menyajikan ciri-ciri penting sebuah novel serta beberapa titik balik dalam sejarah novel Inggris. Diterbitkan pada 1740, Pamela bisa dikatakan penuh sensasi, dicetak dalam beberapa edisi, dan ditulis agar bisa dipentaskan layaknya pendekatan banyak novel yang ditawarkan atau dijual ke Hollywood guna diadaptasi ke layar lebar.

Samuel Richardson, yang sudah memiliki percetakan dan alat tulis sejak 1720, menerbitkan novel tersebut atas namanya sendiri. Para penulis atau pengarang di seluruh London menyadari bahwa mereka dapat memperoleh uang sebagai novelis. Richardson tidak hanya menulis Pamela dengan Clarissa yang meraup sukses besar dan beberapa karya lainnya, ia juga terus merevisi dan menyempurnakan Pamela hingga ia wafat pada 1761 di usia tujuh puluh tiga tahun. Versi terakhir Pamela berdasarkan edisi 1810 yang diterbitkan oleh putri-putrinya, termasuk semua perbaikan dan koreksi yang dibuat Richardson semasa hidupnya.

Sebuah novel selalu mengungkapkan jejak dari konsep aslinya, dan Pamela adalah contoh yang sangat bagus untuk ini. Richardson mulai menulis sebuah buku pegangan (handbook) tentang draf Pamela sejak 1739, urutan draf novel ini, surat-surat dari seorang gadis pelayan kepada ayahnya.

Semuanya tentang alur yang kita baca hari ini, tentang seorang asisten rumah tangga berusia lima belas tahun dengan seorang majikan yang sudah meninggal bernama Pamela. Dia kemudian dikejar dan disiksa oleh putra majikannya ini, yang merupakan anggota bangsawan yang kaya dan berkuasa. Gadis ini dengan sekuat tenaga mempertahankan kehormatannya bahkan sampai titik terakhir—setelah dia menculiknya, memenjarakannya, dan mencoba menyogoknya. Putra majikannya ini menyerangnya di tempat tidurnya. Laki-laki ini ini dibantu oleh seorang asisten rumah tangga yang dia bayar untuk memegang tangan gadis ini.

Pamela marah besar dan Tuan B merasa menyesal. Sisa dari cerita dalam novel ini adalah mengenai upaya-upaya perbaikan yang dijalankannya. Dia akhirnya menikahi Pamela, dan kemudian berhasil mendamaikan adiknya dan tetangganya untuk menikah. Menciptakan dan melukis sesuatu sebagai model jelas ada di benak Richardson, dan pada akhirnya dia tidak menghasilkan karya sastra model tetapi karakter model yang terlibat dalam perilaku model. Richardson menulis untuk uang sekaligus untuk mendidik. Dengan demikian ini berperan membantu mengangkat level novel ke status terhormat di Sastra Inggris, terlepas dari unsur-unsur cabul dari subjek yang dipilihnya (Clarissa bahkan lebih panjang mengeksplorasi penculikan dan pemerkosaan secara lebih rinci).

Sulit menyukai Pamela yang keras karena dia selalu mengikuti aturan dan tidak pernah berbuat salah, tapi pembaca didorong untuk akhirnya terbiasa dengannya atau menerimanya. Ujung-ujungnya, pembaca akan berkompromi bahwa Pamela berhak mendapatkan pria, uang, dan kekayaan, atau setidaknya sanjungan dari semua orang yang dia temui.

Pamela suka membaca. Semakin banyak dia membaca, semakin akrab para pembaca dengan seluk beluk kemampuan penalaran Pamela. Terlepas dari sifat Pamela yang suka memuji diri, harus diakui bahwa penalarannya betul-betul menunjukan kecerdikannya. Pembaca nyaris tidak bisa mengalahkan kecakapannya ini. Selain itu, dilema yang dihadapi Pamela juga tak kalah penting—upaya dan perlakukan Tuan B atas kebaikan Pamela bersifat sepenuh hati, tak henti-hentinya dan itu digambarkan dengan jelas. Setelah jeda pembaca mungkin merasa bosan, yakni ketika dia mengubah dirinya sendiri dan wacana tentang Pamela direduksi sebagai bentuk rasa terima kasih atas kebaikan dan sikap merendahkannya.

Kemunculan saudara perempuan Tuan B di berbagai babak dianggap mencerminkan salah satu amukan paling keras yang pernah menghiasi sastra klasik. Pembaca bisa menemukan bahwa prilaku manja dan sopan santun ala kelas atas merupakan pelajaran yang ingin disampaikan Richardson lewat karyanya ini yang terhitung subversif. Keputusasaan atas situasi Pamela yang sangat terperinci mengundang pembaca yang menyukai ketegangan (suspense), menarik pembaca untuk bergerak ke depan meskipun tidak menyukai nada atau karakter dalam novel.

Tak kalah menariknya, membaca Pamela ini juga bakal memperkaya pengalaman tentang bagaimana mengatasi rasa tidak suka. Resiko terbesar yang dihadapi oleh Richardson—menempatkan novel dalam suara Pamela—menjadi sumber kesuksesannya karena akhirnya kita merasa dekat dengannya dengan cara yang sebetulnya tidak diperkenankan oleh penceritaan orang ketiga.

Richardson, seperti Defoe, lahir dari keluarga pengrajin. Dia menaruh rasa hormat yang tinggi atas kerja keras, semangat yang tekun, harga diri yang didasarkan pada agama, dan pemikiran yang independen. Seperti Defoe, dia tidak berpendidikan klasik, dan memiliki pandangan orang luar terhadap bangsawan.

Pada kuartal terakhir novel, ketika Tuan B menjelaskan mengapa dia tidak pernah ingin menikah, Richardson menunjukkan pemahaman yang baik tentang psikologi perkembangan, hubungan perkawinan, dan kesadaran kelas.  Hematnya, pernikahan yang baik ditandai oleh istri yang penurut, suami bertanggung jawab, adanya tugas bersama, dan rasa hormat satu sama lain. Lewat Pamela ini, Richardson mengkritik goncangnya biduk rumah tangga disebabkan suami istri yang tidak mendukung satu sama lain, dan memilih jiwa yang lebih bebas dan terpisah. Ia mengistilahkan potret suami-istri ini sebagai ‘a yawning husband and vapourish wife’—pernikahan yang tampak indah namun tak bahagia (h. 464).

Richardson juga percaya pada peningkatan diri secara ekonomi dengan berbuat baik (doing good) dan melakukan dengan baik (doing well). Seperti Defoe, dia menyukai psikologi yang tumbuh dari kebutuhan bahwa sikap nonkonformis yang suka menelusuri jiwa dan esensi kehidupan ini adalah bukti anugerah Tuhan—pemikiran dan tindakan yang benar akan dibayar dengan kemakmuran serta ketenangan hati nurani.

Itu bukan satu-satunya cara bagi seorang pengarang untuk mengembangkan pemahaman psikologis, tetapi cara ini mengantarkan pemahaman yang benar terhadap rangkaian sebab dan akibat—bagaimana tindakan dan psikologi bekerja sama sepanjang waktu untuk menciptakan nasib karakter dan membangun alur. Bukan karena karakter itu kecil, tetapi pilihan adalah takdir.

Baik Pamela maupun Roxana konsisten merenungkan akibat dari pilihan yang salah dan benar, di dunia dan di akhirat. Mereka tidak mempertimbangkan takdir. Alih-alih mengilustrasikan, katakanlah cara kerja cacat tragis (tragic flaw), yang dicontohkan adalah bagaimana mengisi perjalanan hari dan minggu. Tidak ada cacat tragis—setiap pilihan yang muncul menawarkan kesempatan baru untuk keselamatan atau kutukan. Agama kelas menengah dan protagonis yang dibuat sendiri sangat kontras dengan pola sastra aristokrat, terutama epik yang mendahuluinya, di mana sang pahlawan adalah penipu keadaan, dan satu-satunya pilihannya memenuhi takdirnya.

Novel berkembang, seperti yang digambarkan Pamela dengan sangat jelas. Richardson menulis ulang novel ini berkali-kali karena alurnya membuka tema-tema penting dan menarik. Pemikirannya, bersamaan dengan kritikan dari teman dan penggemarnya, mengingatkannya pada potongan cerita yang bisa dibuat lebih masuk akal, lebih halus, lebih lucu, atau lebih jelas. Hal ini lazim saja dalam penulisan novel saat itu. Relatif berbeda sekarang di mana pengarang, editor dan penerbit mencoba memastikan bahwa novel sudah dikerjakan atau ditulis sebelum diterbitkan. Boleh jadi ini tidak diniatkan oleh pengarang, misalnya ketika untuk membahas pendidikan yang layak untuk para gentlemen.

Sebenarnya pada dua pertiga dari isi novel Tuan B adalah sosok kaku yang tidak simpatik. Namun akhirnya dia harus membenarkan keputusannya untuk menikahi Pamela. Dengan berbuat demikian, dia menyerupai Pamela—ingin berbicara panjang lebar tentang tindakan dan motivasinya. Seolah-olah dia mengungkapkan dirinya, tetapi sebenarnya dia sedang mengembangkan sisi-sisi baru dari karakter.

Pamela, terlepas dari tradisi penculikan dan pemerkosaan dalam sastra Eropa, jelas tidak masuk akal. Apa hal yang paling tidak rasional berubah saat alur berkembang? Apakah sikap Pamela untuk menyelamatkan dirinya masuk akal? Apakah sikap Tuan B yang enggan menyerah tak henti-hentinya masuk akal? Apakah masuk akal Tuan B ingin menikah dengan Pamela? Apakah masuk akal bahwa Tuan B mencintai Pamela?

Setiap pergantian alur tidak masuk akal, tetapi proses penceritaan yang rinci tentang bagaimana setiap peristiwa terjadi sejatinya membahas persoalan kemustahilan tersebut. Pembaca ingin mengetahui apa yang telah terjadi sehingga bisa menerimanya. Richardson sebetulnya berargumen, meyakinkan, bahkan membuat pembaca terpesona, namun bukti dari status klasik Pamela menunjukkan bahwa si pengarang berhasil menangguhkan keraguan atau ketidakpercayaan dari pembaca.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.