Jumat, April 26, 2024

Olimpiade, Media, dan Komersialisasi Olahraga

Nadia Egalita
Nadia Egalita
Alumnus Program Magister Communication and Media Studies Monash University. Kini tinggal dan bekerja di Melbourne, Australia.
iklan-cocacola
Salah satu produk minuman yang menjadi sponsor Olimpiade Rio 2016 di Olympic Park, Rio de Janeiro, Brasil, Minggu (31/7). ANTARA FOTO/REUTERS/Kevin Coombs/

Media massa dan olahraga adalah dua institusi sosial yang memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Event olahraga paling bergengsi seperti Olimpiade 2016 yang saat ini tengah digelar di Rio De Janeiro, Brasil, tidak akan pernah mendunia dan membetot perhatian ratusan juta atau bahkan miliaran penduduk dunia dari berbagai belahan dunia jika tidak diberitakan media massa.

Berbeda dengan awal penyelenggaraan Olimpiade yang lebih bernuansa sakral dan benar-benar steril dari sponsor komersial, sejak tahun 1972 pelaksanaan olimpiade mulai didukung dan memanfaatkan peran media televisi dan memancing dukungan iklan dari berbagai perusahaan komersial besar. Ketika olimpiade mulai disiarkan media dan penjualan hak siar ditawarkan secara komersial ke berbagai stasiun televisi, sejak itu pula gema penyelenggaraan olimpiade mulai merambah ke seluruh pelosok dunia.

Seperti diketahui, sepanjang Agustus ini, Olimpiade 2016 Rio De Janeiro yang dibuka resmi beberapa waktu lalu benar-benar memperlihatkan bagaimana hubungan antara media, globalisas,i dan komersialisasi olahraga. Seluruh media di berbagai negara menempatkan berita tentang penyelenggaraan Olimpiade Rio De Janeiro 2016 di halaman pertama, bahkan seringkali menjadi head line.

Sejak Juan Antonio Samaranch terpilih sebagai Presiden IOC pada tahun 1980, dia berkeinginan untuk menjadikan IOC sebagai organisasi yang mandiri secara finansial dengan cara mencari sponsor yang bersedia mendukung dan sekaligus menawarkan hak siar penyelenggaraan olimpiade. Berkat keterlibatan sponsor, pemasukan iklan, dan penyiaran yang dilakukan media, dari tahun ke tahun penyelenggaraan olimpiade akhirnya selalu berhasil meraup keuntungan besar.

Olimpiade Los Angeles 1984, misalnya, disebut-sebut merupakan olimpiade yang paling menguntungkan dalam sejarah penyelenggaraan olimpiade karena mampu menghasilkan keuntungan US$ 225 juta. Surplus sebesar itu sukses diraup oleh panitia berkat menjual hak sponsor hanya kepada perusahaan-perusahaan terpilih.

Sejak ditayangkan televisi, dan terlebih dapat pula dengan mudah ditonton melalui internet, penyelenggaraan olimpiade akhirnya mampu menarik perhatian penonton yang makin banyak. Jika dalam penyelenggaraan Olimpiade Los Angeles 1984, jumlah penonton hanya 900 juta, dan pada Olimpiade Barcelona 1992 membengkak menjadi 3,5 miliar, maka pada penyelenggaraan Olimpiade London 2012 dan Olimpiade Rio De Janeiro 2016 ditengarai jumlah penonton terus naik, seiring makin meluasnya penggunaan internet dan gadget di masyarakat.

Di era masyarakat informasi, akses masyarakat untuk menyaksikan berbagai pertandingan olahraga menjadi jauh lebih mudah, dan implikasinya penyelenggaraan berbagai pertandingan olahraga pun menjadi makin populer berkat peran media.

Di satu sisi, peran media memang menjadikan olahraga populer dan mengundang perhatian banyak pihak. Tetapi, di balik kesuksesan penyelenggaraan olimpiade, ternyata ada sebagian masyarakat yang mencemaskan pengaruh komersialisasi yang dikhawatirkan akan menyebabkan penyelenggaraan olahraga tidak lagi sportif dan fair.

Dalam berbagai penyelenggaraan olimpiade, sering terjadi ada sejumlah demonstran yang menentang keterlibatan sponsor karena dikhawatirkan akan menyebabkan olimpiade terkontaminasi gerakan kapitalisme. Sponsor multi-juta dolar dari berbagai perusahaan multinasional dinilai tidak membawa dampak positif bagi perkembangan perekonomian global. Bahkan sebaliknya malah menyebabkan penyelenggaraan olahraga menjadi momen bagi kekuatan kapitalis untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.

Orientasi media yang cenderung lebih mengutamakan berita yang populer menyebabkan dalam peliputan event-event olahraga pun akhirnya memilih cabang olahraga yang populer untuk diekspose lebih intensif, seperti sepakbola, basket, renang, dan sejenisnya. Sementara itu, jenis cabang olahraga yang kurang populer, seperti panahan misalnya, umumnya hanya memperoleh porsi pemberitaan yang sedikit.

Di berbagai media, cabang olahraga yang populer umumnya selalu memperoleh porsi pemberitaan yang lebih intensif dan kapling berita yang lebih banyak. Dari olimpiade satu ke olimpiade berikutnya, cabang olahraga sepakbola misalnya, selalu menjadi fokus pemberitaan dan memperoleh tempat prestisius.

Pertandingan final sepakbola biasanya selalu ditempatkan di akhir acara dan menjadi klimaks penyelenggaraan acara olimpiade. Berbagai media kerap menempatkan pertandingan sepakbola menjadi headline, dan bahkan mengalahkan pemberitaan lain, baik itu olahraga, olimpiade maupun pemberitaan kasus-kasus politik sekalipun.

Keterlibatan media dalam ekspose dunia olahraga seringkali juga melahirkan fenomena selebriti dalam kehidupan para atlet. Seorang atlet yang punya bakat luar biasa, tapi bukan selebriti dan tidak layak jual, bukan tidak mungkin akan tidak diliput media. Sementara itu, untuk atlet yang mungkin tidak terlalu menonjol, tetapi karena punya kelebihan dalam hal penampilan fisik, tampan seperti David Beckham, atau berperilaku kontroversional, biasanya justru memperoleh porsi pemberitaan lebih besar.

Gosip seputar kehidupan pribadi atlet yang selingkuh, bermain seks dengan pelacur, seperti Chistian Ronaldo, sering ugal-ugalan, dan lain sebagainya justru yang sering diekspose media. Prestasi atlet di bidang olahraga sering kalah oleh pemberitaan media tentang kehidupan pribadi atlet yang kontroversional.

Mengapa perusahaaan cenderung memilih atlet olahraga dan selebriti, seperti Beckham dan Ronaldo sebagai bintang iklan produk mereka, biasanya karena sejumlah alasan berikut. Pertama, konsumen umumnya mudah terperdaya oleh iklan, terutama iklan yang menampilkan ikon-ikon budaya atau selebriti (Kim Sheehan, 2005).

Kedua, iklan yang menampilkan atlet dan selebriti terkenal bisa menimbulkan hasrat dan impian tersendiri di kalangan konsumen (Jackson & Andrews, 2005). Bagi perusahaan-perusahaan yang kapitalistik, yang penting seringkali bukan prestasi atlet di bidang olahraga, tetapi bagaimana posisi atlet itu sebagai ikon dan tokoh idola publik.

Untuk mempopulerkan cabang olahraga ke masyarakat, harus diakui peran media memang sangat penting, dan kehadiran iklan dalam event-event olahraga memang tidak terhindarkan untuk menjadikan olahraga menjadi event yang mampu menarik perhatian masyarakat. Tetapi, ketika pengaruh media dan iklan menyebabkan olahraga tereduksi menjadi sekadar tontonan layaknya film-film Hollywood, sesungguhnya olahraga telah kehilangan rohnya sebagai media untuk mencari siapa yang terkuat, tercepat, dan tertinggi secara sportif dan adil.

Nadia Egalita
Nadia Egalita
Alumnus Program Magister Communication and Media Studies Monash University. Kini tinggal dan bekerja di Melbourne, Australia.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.