Jumat, April 26, 2024

Oligarki dan Krisis lingkungan

Dimas Dwi Putra
Dimas Dwi Putra
Mahasiswa ilmu politik semester akhir. Sekretaris PMII Komisariat FISIP UIN Jakarta Cabang Ciputat. Sedang magang di Geotimes.

Sejatinya Bumi merupakan planet yang dipenuhi oleh berbagai macam energi dan mineral. Kekayaan alam ini yang menjadikan Bumi layak huni—dan manusia kerap memanfaatkannya sebagai sumber kehidupan.

Pada babak pertama kehidupan manusia di bumi, kebutuhan akan energi dari total seluruh populasi manusia tidak sampai melampaui jumlah ketersediaan sumber daya alam. Lebih dari itu, terdapat sinergitas yang baik antara manusia dan alam. Tumbuh suburnya alam pada era ini membuktikan bahwa dahulu manusia hanya mengambil sesuatu dari alam sesuai kebutuhannya.

Mafia Lingkungan

Peradaban manusia yang semakin luas dan megah pada akhirnya melahirkan tuntutan atas kebutuhan energi yang wajib dipenuhi—mau tidak mau. Dari pelosok desa ujung negeri sampai tengah kota metropolitan: semuanya membutuhkan energi.

Masalahnya, komposisi sumber energi di Indonesia masih mengedepankan bahan bakar fosil yang kelak akan habis. Menurut laporan dari Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi 2020, penggunaan energi fosil untuk melayani kebutuhan energi dalam negeri masih mencapai angka 90,85%. Angka ini tentu masih jauh dari cita mengingat agenda pemerintah yang menargetkan pembatasan penggunaan energi fosil sebesar 77% pada tahun 2025—angka itupun masih belum cukup untuk dapat menanggulangi persoalan krisis lingkungan.

Tuntutan ini menjadi sesuatu yang kerap dikapitalisasi oleh para elit politik—yang sekaligus pengembang dalam industri pertambangan. Misal, Indonesia dapat menjadi salah satu negara eksportir batu bara terbesar di dunia disebabkan banyaknya oligark yang menjadi pemain utama dalam industri ini. Para elit dan pengembang hanya memperdulikan keuntungan yang luar biasa besar tanpa memperdulikan dampak rusaknya lingkungan—batu bara merupakan sumber energi yang paling banyak menimbulkan polusi akibat tingginya kandungan karbon.

Belum lagi dampak dari pembukaan lahan hutan yang ditujukan untuk industri perkebunan kelapa sawit. Data dari Kementerian Pertanian 2019 menunjukan, pemain dalam sektor perkebunan kelapa sawit ini masih didominasi oleh pihak swasta dengan lahan seluas 7,7 juta ha atau 54% dari total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Luas ini sama dengan 100 kali lipat luas Jakarta yang hanya 66.150 ha. Dihitung dari jumlah total luas keseluruhan perkebunan kelapa sawit yang mencapai 14,3 juta ha di Indonesia, bisa dibayangkan dampak rusaknya lingkungan yang disebabkan oleh industri ini.

Selain mencemarkan air dan membunuh sebagian penghuni alami hutan, pengalihan lahan hutan—menjadi perkebunan kelapa sawit—ini seringkali menggunakan cara-cara yang tidak ramah lingkungan, seperti tebang habis (land clearing) dan aktivitas pembakaran lahan. Tentu kita tidak dapat melupakan bencana kabut asap yang melanda kawasan Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan dengan total korban penderita ISPA yang mencapai 919.516 orang pada September 2019 (Kompas, 2019).

Negara perlu menindak tegas para pelaku perusak lingkungan. Sebab, nakalnya aktivitas perusahaan tambang maupun kelapa sawit hanya akan menjadi bom waktu bagi kita untuk segera bersiap-siap melompat ke dalam jurang malapetaka.

Undang-undang Minerba: Jalan Pintas Menuju Krisis

Di tengah krisis ini—entah disadari atau tidak, DPR malah baru saja mengesahkan UU Minerba. Sebuah produk undang-undang yang sangat kontoversial karena menjadikan “mekanisme kemudahan ekploitasi sumber daya alam” sebagai mata pancingan para investor.

Terdapat beberapa pasal pada UU Minerba yang sangat meresahkan. Di antaranya pasal 45 yang menyebutkan bahwa jika terdapat mineral lain yang tergali dalam satu masa eksplorasi, maka perusahaan tambang tidak akan kena royalti. Artinya, perusahaan diperbolehkan untuk menggali isi bumi secara berlebihan.

UU Minerba juga tidak memberikan ruang partisipasi masyarakat. Hal ini sangat berpotensi menambah catatan konflik antara pemilik modal dan masyarakat adat yang menolak daerahnya dijadikan daerah tambang. Pada tahun 2014-2017, terdapat 1.833 konflik agraria. Dalam kurun waktu 4 tahun tersebut, terdapat ribuan korban kekerasan dan kriminalisasi agraria di wilayah-wilayah konflik—baik di pedesaan maupun perkotaan tanpa penyelesaian sekaligus pemulihan hak hingga tuntas (Konsorium Pembaruan Agraria, 2018).

Lebih dari itu, terdapat pasal mengenai sanksi tindak pidana korupsi pada sektor pertambangan yang dihapus pada UU Minerba. Penghapusan pasal ini sangat berpotensi menjadi pelindung bagi para elit politik yang turut bermain dalam industri pertambangan.

Seperti Luhut Binsar Pandjaitan—Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, yang juga pebisnis handal lewat PT Toba Sejahtera kepunyaan Pak Menko itu sendiri. PT Toba Sejahtera ini merupakan grup perusahaan yang bergerak di segala sektor: bidang energi—listrik, tambang, dan migas; sampai perkebunan dan properti.

Berkat kedudukannya sebagai elit politik, jangkauan bisnis Menko Maritim tersebut menjadi semakin tidak terbendung. Pada Mei 2018, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) memaparkan total kekayaan yang dilaporkan Luhut Binsar Pandjaitan sebesar 665 miliar (Kompas, 2020).

Selain Luhut Binsar Pandjaitan, terdapat beberapa nama elit politik yang juga menyambi sebagai pebisnis pertambangan. Mulai dari Aburizal Bakrie—mantan Ketua Umum Golkar, dengan Bumi Resources-nya sampai Prabowo—Menteri Pertahanan RI dan Ketua Umum Gerindra, dengan grup bisnis Nusantara-nya.

Perselingkuhan antara oligark dan para pengusaha sejatinya merupakan lanskap politik Indonesia. Maka jangan heran jika terdapat kalkulasi modal dalam jumlah besar yang bergerak pada setiap pagelaran pemilu. Pembakaran uang dalam bentuk investasi politik ini berguna demi kelancaran bisnis dan eksplorasi sumber daya lebih jauh kedepannya.

Selain terciptanya konflik kelas, rusaknya lingkungan merupakan ancaman wabah yang tidak kalah menakutkan. Lingkungan yang tercemar menyebabkan kematian bagi jutaan partikel kehidupan: air yang tidak dapat lagi diminum, tanah yang rusak sehingga tidak dapat ditumbuhi aneka perkebunan, serta polusi udara yang sangat mematikan bagi manusia.

Negara harus segera membongkar ulang tata kelola penggunaan sumber daya alam selagi menangkapi para mafia lingkungan yang jelas-jelas telah mengangkangi konstitusi. Tata kelola sumber daya alam tidak boleh bersandar pada persoalan bisnis belaka, sebab tidak akan ada kemajuan ekonomi di atas lahan yang rusak.

Sumber daya energi dalam kacamata bisnis komoditi memang menjanjikan, namun dampaknya juga luar biasa merusak. Merusak alam, budaya, dan manusia.

Dimas Dwi Putra
Dimas Dwi Putra
Mahasiswa ilmu politik semester akhir. Sekretaris PMII Komisariat FISIP UIN Jakarta Cabang Ciputat. Sedang magang di Geotimes.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.