Jumat, April 19, 2024

Nasib Oposisi Pasca Jokowi-Prabowo Cipika-Cipiki

Iding Rosyidin
Iding Rosyidin
Wakil Dekan Bidang Akademik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Siapa sangka Stasiun Mass Rapid Transportation (MRT) bukan hanya berfungsi sebagai pelayanan transportasi seperti hari-hari biasanya, tetapi juga menghadirkan fungsi yang tak terbayangkan sebelumnya atau setidaknya sulit dibayangkan akan terjadi: fungsi politik.

Pagi itu, persisnya di Stasiun MRT Lebak Bulus, dua orang tokoh yang selama ini kerap “dipertentangkan” karena terlibat dalam kontestasi politik di Pemilu Presiden 2019, akhirnya bertemu. Mereka bersalaman, berangkulan, dan bercipika-cipiki layaknya dua sahabat yang lama tidak bertemu. Sejatinya, Joko Widodo dan Prabowo Subianto adalah dua orang sahabat, meski berada di posisi yang berseberangan.

Dari perspektif komunikasi politik, sebuah peristiwa selalu memiliki makna. Dan makna itu berkaitan dengan konteks yang menjadi latar peristiwa itu terjadi. Seperti diketahui, pasca Pilpres 2019, Prabowo yang kalah berdasarkan hasil perhitungan manual KPU tampak kecewa atas hasil tersebut. Berbagai dinamika yang terjadi kemudian membuat kerenggangan hubungan antara Prabowo dan Jokowi semakin menganga. Lebih-lebih di barisan para pendukungnya. Harapan untuk terjadinya pertemuan antara Jokowi dan Prabowo pun seolah menipis.

Maka, ketika Jokowi-Prabowo bertemu, suasana adem pun setidaknya terlihat. Berbagai komentar positif dari sejumlah kalangan bermunculan. Sebagian besar berpendapat bahwa pertemuan tersebut akan membawa pada rekonsiliasi kedua kubu yang pada gilirannya akan mendamaikan semua pihak yang bertikai selama ini. Inilah salah satu makna penting dari pertemuan kedua tokoh di stasiun MRT itu.

Bagi Prabowo sendiri, meski sebenarnya cukup terlambat melakukan pertemuan dengan Jokowi, hal itu setidaknya memiliki makna penting. Ia mungkin akan dinilai sebagai orang yang berani mengambil risiko (taking the risk) dengan pertemuan itu. Pasalnya, banyak kalangan di sekitarnya tidak menghendaki Prabowo bertemu dengan Jokowi, bahkan ada yang menganggapnya pengkhianat jika melakukannya. Tetapi ia bergeming dan tetap bertemu Jokowi. Tentu hal ini merupakan hal positif yang tidak dapat diabaikan oleh siapa pun.

Oposisi Tetap, Tetapi Mesti Elegan  

Jokowi dan Prabowo telah bertemu. Suasana politik pun kian adem. Namun, bukan berarti bahwa Prabowo kemudian harus “tunduk” pada pemerintah atau tidak akan melakukan kritik.

Hemat saya, Prabowo dan, bila mungkin, semua partai politik anggota Koalisi Adil Makmur, tetap memosisikan dirinya sebagai oposisi. Mereka mesti berdiri di luar kekuasaan. Secara hubungan sosial, mereka tetap bersahabat dengan simbol cipika-cipiki, tetapi secara politik keduanya tetap berada di posisi yang berbeda. Itulah sebenarnya hakikat demokrasi.

Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan di sini mengapa Prabowo dan partai poltik koalisinya sebaiknya mengambil sikap sebagai oposisi. Pertama, justru dengan berada di luar kekuasaan, kalangan oposisi dapat memainkan peran sebagai penyeimbang bagi partai yang berkuasa (the ruling party). Dalam demokrasi dikenal prinsip check and balances di mana kekuasaan mesti diimbangi oleh yang berada di luar kekuasaan agar tetap terkontrol. Di sinilah keberadaan Gerindra dan partai politik koalisi pendukung Prabowo-Sandi diperlukan untuk mengontrol kekuasaan.

Berada di dalam kekuasaan, sekalipun bisa berdalih tetap kritis, tetap tidak dapat mengontrol kekuasaan. Aneh malah kalau partai politik yang berada dalam koalisi pendukung pemerintah tetapi melakukan fungsi oposisi. Secara etika organisasi, kecenderungan seperti itu tidak dapat dibenarkan. Misalnya saat PAN berada di pemerintahan, namun dalam sejumlah hal melakukan kritik pada pemerintah bahkan di forum yang terbuka seperti media massa.

Kedua, kekuasaan, sebagaimana ditandaskan oleh Lord Acton (1834-1902), cenderung korup dan kekuassaan yang absolut pastilah korup (power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely). Sulit dibantah, di negara-negara dengan sistem autoritarianisme yang kuat, fenomena korupsi kekuasaan benar-benar berlangsung secara leluasa. Hal ini jelas karena tidak ada kekuatan yang mengontrolnya.

Ketiga, terkait dengan citra politik. Jika Prabowo atau Gerindra dan partai politik koalisinya memilih pindah haluan dengan bergabung ke dalam pemerintahan, meski dengan alasan mendinginkan situasi dan sejenisnya, itu justru akan mengikis citra politik mereka. Publik akan menilai bahwa ternyata yang dicari Gerinda dan kawan-kawannya selama ini tak lebih dari sekadar kekuasaan. Persepsi publik seperti ini tentu akan membahayakan mereka.

Mengambil peran oposisi, dengan demikian, merupakan pilihan terbaik bagi Gerindra dan partai-partai politik koalisinya. Hanya saja, dalam menjalankan fungsi oposisi tersebut, sebaiknya dilakukan secara lebih elegan. Misalnya dalam hal melakukan kritik terhadap pemerintah, tidak semua hal harus dikritik yang pada gilirannya lebih terkesan asal-asalan atau dalam ungkapan zaman sekarang, nyinyir.

Apa yang dilakukan Gerindra selama ini, seperti yang dilakukan oleh salah seorang elitenya, kerap kali terjebak pada asal kritik. Seolah-olah menjadi oposisi itu harus selalu berbeda dengan pemerintah. Padahal tidak mesti demikian. Jika memang ada kebijakan pemerintah yang cenderung prorakyat sehingga mendapatkan apresiasi dari publik, tidak perlulah pihak oposisi mencari-cari kekurangannya yang tidak substansial.

Alih-alih demikian, pihak oposisi sebaiknya mengkritik kebijakan yang benar-benar mendapatkan penentangan dari sebagian besar publik. Michelle Obama di Amerika Serikat mungkin bisa dijadikan contoh dalam hal ini. Pada saat Partai Demokrat berperan sebagai oposisi, Obama kerap mengkritik kebijakan luar negeri George W. Bush Jr untuk menduduki Afghanistan dan Irak karena dianggap terlalu memboroskan uang negara. Dan kritikan itu ternyata mendapatkan banyak dukungan dari sebagian besar publik Amerika.

Jika nanti Prabowo atau Gerindra benar-benar menjadi oposisi, mereka harus selektif dalam melakukan kritik terhadap pemerintah. Pilihlah hal-hal yang substantif dan lebih menyangkut kehidupan orang banyak. Hal-hal kecil atau tidak terlalu penting tidak perlu dijadikan bahan kritikan karena salah-salah malah mendapatkan antipati dari publik. Mengubah lirik lagu untuk menyindir pemerintah, misalnya, mungkin bisa dijadikan contoh dalam kasus ini.

Dengan demikian, memainkan peran oposisi dalam politik Indonesia akan berjalan baik ketika mereka mampu menjalankannya secara tepat. Jika Prabowo atau Gerindra dan partai-partai politik koalisinya mampu melakukannya, oposisi akan tampak lebih elegan, dan berguna bukan hanya bagi pelaku oposisi itu sendiri, melainkan bagi rakyat dan bangsa Indonesia secara keseluruhan, dan tentu saja bagi tegaknya nilai-nilai demokrasi di negeri ini. Jika itu yang terjadi, nasib oposisi pasca cipika-cipiki pun tetap cerah.

Iding Rosyidin
Iding Rosyidin
Wakil Dekan Bidang Akademik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.