Semakin mendekati 17 April 2019, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga semakin gencar mengungkap narasi kecurangan di Pemilu nanti. Mulai dari tuduhan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) berpihak, sampai tuduhan keterlibatan aparat penegak hukum menggerakkan dukungan ke petahana. Narasi-narasi tersebut diungkapkan di pelbagai kesempatan dan lintas platform yang akhirnya menjadi isu publik.
Tentu saja narasi-narasi tersebut tidak benar. KPU dan Bawaslu adalah lembaga independen yang terbentuk melalui pengawasan DPR dan rakyat. Orang-orang yang terpilih menjadi anggotanya melalui seleksi kecakapan dan latar belakang secara ketat. Sehingga, hampir tidak mungkin lembaga tersebut bekerja untuk salah satu pasangan calon di Pilpres, apalagi untuk petahana.
Fakta di lapangan pun membuktikan mereka independen. KPU dan Bawaslu tegas menegakkan peraturan Pemilu yang terdapat dalam UU Pemilu No 7 tahun 2017 dan Peraturan KPU (PKPU). Semua laporan mereka proses tanpa pandang bulu. Baik terkait dugaan pelanggaran kepada pihak 01 ataupun 02.
Kalau BPN menyebut ada keberpihakan lantaran hasil penyidikan Bawaslu atas dugaan pelanggaran yang dilakukan pendukung 01 tidak sesuai harapan mereka, justru saya menyangka mereka yang ingin mengintervensi kinerja Bawaslu. Mereka yang memiliki hasrat untuk memanfaatkan KPU dan Bawaslu.
Selain itu, menurut saya, narasi telah terjadi kecurangan sengaja mereka hembuskan untuk memengaruhi opini publik bahwa ketika Prabowo-Sandiaga kalah bukanlah karena suaranya memang lebih sedikit, tapi karena Jokowi-Ma’ruf berlaku curang. Sebagai justifikasi di kemudian hari untuk melakukan delegitimasi terhadap hasil Pemilu.
Ibaratnya, BPN Prabowo-Sandiaga sudah merasa menaiki pesawat yang gagal mesin, sehingga mereka membutuhkan landasan yang bisa meminimalisir benturan. Cara yang terbaik tentu saja dengan menjadikan lawan sebagai kambing hitam atas kekalahan mereka. Tentu saja ini cara yang jahat dan jauh dari sikap kesatria.
Cara tersebut juga berpotensi untuk menciptakan kerusuhan setelah pemilu. Karena bisa memancing emosi dari pendukung Prabowo-Sandiaga yang terlanjur mempercayai narasi tersebut. Hal itu sangat kontraproduktif bagi terciptanya konsolidasi demokrasi di negeri ini. Apalagi, semestinya agenda besar setelah pemilu adalah rekonsiliasi nasional guna mengembalikan kohesi sosial masyarakat yang mungkin sempat terbelah selama Pemilu.
Oleh karena itulah saya juga menyayangkan pernyataan Amien Rais yang berencana menggerakkan people power seandainya terjadi kecurangan di Pemilu mendatang. Bukan melalui jalur hukum yang tersedia, yakni Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagai seorang tokoh reformasi, saya pikir dia telah kehilangan kebijaksanaannya dan tujuan utama reformasi.
Tujuan utama reformasi adalah menciptakan negara Indonesia yang demokratis. Salah satunya dengan menguatkan lembaga-lembaga hukum sebagai pelindung kepentingan rakyat.
Sementara, pernyataan Amien sama saja dengan berupaya mendelegitimasi MK sebagai lembaga hukum yang selama ini telah mampu menjaga kekuatan demokrasi. Misalnya, berkat keputusan MK lah hak penghayat kepercayaan di negeri ini untuk diakui terpenuhi, pun pemilihan umum serentak juga akhirnya dapat terlaksana.
Lagipula, istilah people power tidak layak untuk digunakan dalam sebuah negara yang pemimpinnya dipilih secara demokratis dan melaksanakan kepemimpinan sesuai koridor demokrasi.
People power adalah istilah yang merujuk pada gerakan masyarakat untuk melawan penyimpangan politik, tirani, dan anti-demokrasi dalam pemerintahan sebuah negara. Pak Jokowi tentu saja bukan tirani, menguatkan lembaga pemberantasan korupsi, dan sangat pro demokrasi.
Maka, saya tidak percaya Amien dapat membuat people power. Karena, faktor-faktor untuk melakukan hal itu tidak terpenuhi. Kecuali sengaja dipaksakan dengan instrumen fitnah dan hoaks yang tentu saja tidak bisa dibenarkan dari sudut pandang apapun. Karena sama saja mengorbankan rakyat dan negara untuk kepentingan kekuasaan yang sesaat.
Tidak Akan Menggerus Suara Jokowi-Ma’ruf
Narasi kecurangan yang dihembuskan BPN Prabowo-Sandiaga pun tidak akan memengaruhi pilihan masyarakat kepada Jokowi-Ma’ruf. Di era informasi yang serba terbuka seperti saat ini, masyarakat bisa mengawasi sendiri Pemilu. Mereka bisa menilai kerja-kerja KPU, Bawaslu dan aparat penegak hukum selama Pemilu secara langsung.
Saat ini, selain pendukung Prabowo-Sandiaga, tidak ada publik yang meragukan independensi lembaga-lembaga tersebut selama Pemilu. Sebaliknya, mereka justru mendukung kerja KPU, Bawaslu dan aparat pemerintah untuk menjaga pemilu yang adil, jujur, langsung, bersih dan aman.
Survei lembaga Indikator Politik periode Maret 2019 membuktikannya. Terkait pertanyaan seputar KPU curang, hanya 15 persen dari responden yang percaya, sementara 67 persen menyatakan tidak percaya. Bahkan, dalam survei elektabilitas, Jokowi-Ma’ruf tetap unggul dari Prabowo-Sandiaga dengan angka 55,4 persen berbanding 37,4 persen yang membuktikan narasi kecurangan tidak menggerus suara petahana.
Sebaliknya, dengan selisih sedemikan rupa, saya sebagai Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf percaya kemenangan sudah di depan mata. Karena, semakin BPN Prabowo-Sandiaga menyebar narasi-narasi berbau fitnah, kebohongan dan menciptakan rasa takut pada masyarakat, kepercayaan masyarakat kepada mereka justru akan semakin menurun. Artinya semakin sulit untuk mengejar elektabilitas Jokowi-Ma’ruf.