Jumat, April 26, 2024

Meskipun HMI Tapi NU: NUHMI

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Perkenalan saya dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) terjadi setelah menginjak masa kuliah di UIN Jakarta. Dulu namanya IAIN Jakarta atau lebih sering dikenal dengan IAIN Ciputat.

Ketika mendengar tiga organisasi mahasiswa ekstra ini (HMI, PMII, dan IMM), saya belum tertarik sama sekali untuk segera bergabung. Tahun-tahun awal di IAIN Ciputat lebih banyak saya habiskan untuk mengenal hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban akademis sebagai mahasiswa IAIN.

Terus terang, ketika masih di kampung, saya hanya terpukau dan menggebu untuk segera mengenal pemikiran tokoh-tokoh seperti Harun Nasution, Nurcholish Madjid, dan Quraish Shihab. Selain ketiganya memang tercantum dalam daftar guru besar IAIN Ciputat saat itu, saya sudah melahap buku-buku mereka saat masih nyantri di kampung.

Tahun kedua di IAIN Ciputat, saya mengenal lebih dalam ketiga organisasi di atas. Masa pengenalan terhadap IAIN Ciputat pada masa itu juga sudah cukup di tahun pertama. Pengetahuan lebih jauh dengan HMI terutama karena sebagian besar teman-teman dan senior-senior saya menjadi anggota aktif organisasi tersebut. Hanya sebagian kecil dari mereka yang menjadi anggota PMII dan IMM.

Pada zaman saya kuliah dulu tahun 1990an, saya harus berterus terang, PMII itu cenderung underdog. Organisasi ini hanya punya semangat ideologi aktivisme saja, sementara HMI punya modal sosial yang lebih banyak. Kegiatan mereka yang banyak bersentuhan tidak hanya dengan dunia aktivisme tapi juga dunia intelektual (kesarjanaan). Para alumni mereka juga lebih mentereng dalam pencapaiannya apabila dibandingkan dengan alumni-alumni PMII Ciputat.

Pada teman-teman dan senior-senior saya yang secara kultural saya mengetahui bahwa mereka memiliki latar belakang keluarga NU, kenapa ketika ke Ciputat, mereka rata-rata bergabung dengan HMI?

Sudah barang tentu, sebagian dari mereka ada yang masuk PMII, namun sekali lagi tidaklah banyak. Mereka yang dulunya mondok di pesantren-pesantren besar NU seperti Pesantren Krapyak, Mranggen, Kajen, dan sebagainya, ketika kuliah di IAIN Ciputat mereka tidak gabung dengan PMII, namun dengan HMI.

Timbul dalam hati sebercik pertanyaan nakal “apakah mereka ini sudah berubah tidak NU lagi?” Maklum saat itu, perseteruan antara HMI dan PMII begitu terasa di Ciputat karena proses indoktrinasi yang sangat kuat pada kader-kader mereka.

Akibat perseteruan itu, saya hampir menduga, jika sudah ikut HMI, kayakya sudah tidak lagi. Pemikiran seperti ini saya kira tidak hanya terjadi pada saya, orang kampung yang menginjak Jakarta, namun juga terjadi pada teman-teman seperti saya yang lain.

Dugaan-dugaan di atas menggelayut di hati namun tidak sampai membuat saya jauh dengan teman-teman dan senior-senior yang ikut HMI. Bahkan, saya dan teman-teman PMII mendirikan sebuah kelompok studi yang bernama Piramida Circle. Sebagai informasi di sini bahwa kelompok studi di lingkungan UIN Ciputat pada saat itu identik dengan HMI; ada Formaci, Flamboyan Shelter, Respondio dan sebagainya.

Anak-anak PMII nyaris tidak memiliki kelompok studi. Lalu, berdirilah Piramida Circle dan saya didapuk sebagai ketua pertama. Pendirian ini banyak latar belakangnya, namun latar belakang yang paling kuat adalah untuk membuat citra bahwa mahasiswa NU dan PMII juga suka dengan kegiatan intelektual dan kajian-kajian akademis. Hal yang menggembirakan, sambutan dari teman-teman dan senior-senior HMI sangat welcome.

Bahkan, diskusi-diskusi dan kajian-kajian yang kita selenggarakan juga dihadiri oleh mereka. Dari sini saya pikir bahwa intelektualitaslah yang ternyata mampu menjadi jembatan yang mempertemukan HMI dan PMII di Ciputat. Sebagai contoh saja, aktivis-aktivis HMI Ciputat membaca tulisan-tulisan Gus Dur dan sebaliknya aktivis-aktivis PMII juga membaca tulisan-tulisan Cak Nur.

Gelombang politik terjadi pada tahun 1998 di mana Gus Dur menjadi Presiden RI. Meskipun Gus Dur sendiri, setahu saya, tidak pernah menganggap dirinya PMII, namun pencapaian ini banyak diklaim sebagai sukses NU, dan sukses NU adalah sukses PMII.

Namun bukan hanya itu saja yang penting, gelombang baru ini memunculkan fenomena baru di kalangan aktivis-aktivis HMI yang berlatar-belakang NU. Apabila dulu anak NU yang menjadi aktivis HMI agak enggan mengaku diri mereka adalah NU, maka setelah tahun 1998, hal itu mulai berubah.

Saya mulai sering mendengar kawan-kawan HMI menggunakan kata “meskipun.” Banyak mereka yang berkata “meskipun HMI, saya ini NU lho.” Dari sinilah muncul kesadaran baru tentang NUHMI sebagai sebuah identitas yang tidak paradoks. Dulu, kalau NU ikut HMI, bukan PMII, maka mereka ini dianggap mengalami “split of identity,” dari perspektif kawan-kawan PMII.

Zaman kekinian menunjukkan fenomena NUHMI semakin menjadi hal yang wajar saja. Proses keorganisasian dan politik yang menyebabkan hal ini menjadi wajar. Karenanya, kata meskipun kini sudah tidak lagi disisipkan karena banyak elite NU yang menjadi pengurus elit PBNU juga ternyata alumni HMI. Putra-putra atau gus-gus kyai-kyai besar NU juga banyak yang ikut aktif di HMI.

Sudahlah, sekarang tidak usah memikirkan kata “meskipun,” NU saja yang kita pikirkan!

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.