Jumat, Maret 29, 2024

Meng-FPI-kan HMI, Meng-HMI-kan FPI

Ade Saktiawan
Ade Saktiawan
Direktur Program PIKIR Kaltara (Pusat Kajian Masyarakat Perbatasan Kalimantan Utara), organisasi yang peduli pada isu-isu perbatasan, khususnya wilayah Kalimantan Utara.

fpi2ilustrasi (doc. 2.bp.blogspot.com)

Tidak terlalu lama sebelum pembubaran diskusi Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Pekanbaru yang bekerja sama dengan Jaringan Aktivis Filsafat Islam (Jakfi) terberitakan, dalam waktu saling berdekatan HMI Cabang Jakarta Raya menjadi aktor yang nyaris sama dengan peran yang selama ini Front Pembela Islam (FPI) jalani dalam mengamalkan AD/ART organisasi milik mereka.

HMI Cabang Jakarta Raya ikut dalam aksi boikot hajatan “diskusi, menulis, aksi” ala belokirifest, meskipun memang iya sih spektrum ideologi komunis dan Islam pernah berada dalam situasi ‘high-voltage’ dalam pentas sejarah politik bangsa ini. Tentu kita tak perlu menarasikan lagi berulang-ulang sejarah, gilang gemilang HMI melawan provokasi tujuh setan desa dan provokasi elite PKI lainnya.

Apa yang bisa kita lihat dari dua peristiwa kekinian ini?

Jika di media sosial yang gaduh dalam pertarungan budaya layar ada kelas menengah dan muslim perkotaan sebagai aktornya (Ariel Heryanto, 2015), dalam konteks kehidupan keseharian yang beragam, kelompok konservatif tumbuh pesat tak hanya di wilayah ide, dalam tataran praksisnya mengalami pertumbuhan dan ekskalasi tindakan yang reguler.

Bahkan di tubuh HMI itu sendiri (ternyata) masih ada juga yang berpikir pendek untuk melawan bahaya laten komunis dan bahaya manifes manikebu dengan melarang acara semacam belokirifest, (Tidak) hanya FPI, HMI Jakarta Raya pun ikut menjadi bagian dari aktor kekerasan budaya yang John Galtung pernah tesiskan.

Singkatnya, ada penambahan aktor, yang selama 32 tahun di mana kekerasan itu dilakukan oleh aktor tunggal melalui aparatus dengan motif menciptakan dan menjaga stabilitas kekuasaan, pasca reformasi, kekerasan dilakukan oleh banyak aktor dan beragam motif. Namun yang paling intens pelakunya adalah motif pemurnian nilai-nilai ajaran agama secara kaku.

FPI menjadi aktor yang paling sering melakukan tindak kekerasan itu. Mulai dari razia di bulan puasa, menyerang Goenawan Mohamad di peringatan hari lahir Pancasila, membredel kantor majalah Playboy, hingga yang paling kalap dan paling gelap yaitu membubarkan acara diskusi HMI Cabang Pekanbaru. Saat ini negara tidak lagi menjadi aktor tunggal.

Perjuangan yang dilakukan dengan kekerasan, harus dilawan dengan perjuangan nir-kekerasan

Gagasan terhadap perjuangan nir-kekerasan ini pernah tertuang di salah satu edisi dalam jurnal Cogito dalam rubrik diskusi buku dan kontekstual untuk menanggapi aksi-aksi FPI saat ini.

Dalam pembahasan di rubrik jurnal Cogito, perjuangan nir-kekerasan serasi dengan gagasan Mahatma Gandi dalam sebuah gerakan Satyagraha. Gandi berkesimpulan bahwa ada dua persyaratan utama agar instrumen nir-kekerasan berhasil. Pertama, jangan sekali-kali seseorang memiliki kebencian terhadap musuhnya. Kedua, pokok permasalahannya harus benar-benar mendasari.

Dua prasyarat yang ditawarkan oleh Gandi di tataran umat Islam di Indonesia seharusnya sudah selesai dan tidak lagi menjadi agenda utama dan prioritas. Alasannya adalah bangsa kita ini selain ramah juga pemaaf.

Memaafkan dalam tradisi Islam adalah salah satu nilai yang humanistik, yang bisa berintegrasi tanpa melihat batas agama. Karenanya, meminta FPI minta maaf dan kita memaafkan FPI bukan sebuah jalan buntu. Iklim demokrasi memungkinkan terjadinya suasana dialogis dan tindakan komunikatif sebagai jalannya.

Merekonstruksi definisi jihad yang biasanya beroperasi dalam rupa terorisme dengan mempropagandakan agenda nir-kekerasan juga ditawarkan dalam rubrik buku ini. Merupakan tugas kita semua untuk menyemai benih nir-kekerasan ini ke dalam kehidupan keseharian kita. Selain itu, HMI, kaum intelektual, dan pegiat sosial sebagai minoritas kreatif adalah kelas yang, menurut Satha-Anand, bisa membuka jalan dalam melaksanakan agenda nir-kekerasan. Melawan senjata dengan tanpa senjata, melawan pembubaran diskusi dengan diskusi.

Menjadi kecemasan kita bersama bila kita memaklumi aksi-aksi vandalis yang selama ini dilakukan FPI akan berkembang menjadi aksi-aksi yang lebih gelap seperti pembakaran buku atau pembakaran perpustakaan, seperti yang telah terjadi di awal abad ke-21 saat perpustakaan di Baghdad dibakar. Melawannya dengan nir-kekerasan adalah sebuah jalan baru.

Mengutip Hannah Arendt, kekerasan bisa saja dipaksakan untuk mencapai sebuah kekuasaan, tetapi akhir yang dicapai bukanlah sebuah kekuasaan yang sah, melainkan teror dan kehancuran kekuasaan itu sendiri.

Ade Saktiawan
Ade Saktiawan
Direktur Program PIKIR Kaltara (Pusat Kajian Masyarakat Perbatasan Kalimantan Utara), organisasi yang peduli pada isu-isu perbatasan, khususnya wilayah Kalimantan Utara.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.