Jumat, Maret 29, 2024

Membedah Profil “Pengantin” Bom Bekasi

Budi Setiawan
Budi Setiawan
Pengamat Sosial dan Hubungan Internasional, tinggal di Jakarta
Polisi membawa sejumlah barang bukti seusai melakukan penggeledahan rumah terduga kelompok jaringan teroris di Kampung Griyan, Pajang, Laweyan, Solo, Jawa Tengah, Minggu (11/12). Penggeledahan yang dilakukan tim Densus Anti-Teror 88 Mabes Polri tersebut merupakan pengembangan kasus penangkapan terduga anggota kelompok jaringan teroris dan penemuan bom dalam "rice cooker" oleh polisi di Bekasi. ANTARA FOTO/Maulana Surya/aww/16.
Polisi membawa sejumlah barang bukti seusai menggeledah rumah terduga kelompok jaringan teroris di Kampung Griyan, Pajang, Solo, Jawa Tengah, Minggu (11/12). Penggeledahan Densus 88 Mabes Polri tersebut merupakan pengembangan kasus penangkapan terduga anggota kelompok jaringan teroris dan penemuan bom dalam “rice cooker” oleh polisi di Bekasi. ANTARA FOTO/Maulana Surya/aww/16.

Ini pertama kalinya dalam sejarah penumpasan teroris di Indonesia, Tim Densus 88 menangkap seorang wanita yang bakal menjadi pelaku bom bunuh diri dengan sasaran Istana Kepresidenan. Dian Yulia Novi berusia 27 tahun adalah wanita pertama calon “pengantin” bom bunuh diri di Indonesia. Wanita asal Cirebon ini akan meledakkan bom jenis zat triacetone triperoxide (TATP), yang dijuluki para pakar teroris sebagai “Mother of Satan” atau ibunya setan, karena daya rusaknya yang sangat besar.

Meskipun untuk pertama kalinya bagi Indonesia—dan kita patut bersyukur bisa digagalkan— sejak tahun 1980-an hingga sekarang banyak wanita yang menjadi pelaku bom bunuh diri di Prancis, Lebanon, Israel, Sri Lanka, Rusia, Turki, Nigeria, Somalia, Afghanistan atau Yaman. Terakhir, pada 9 Desember lalu, dua wanita meledakkan diri di terminal bis di Nigeria yang menewaskan 45 orang dan melukai 59 orang.

Faktor Emosional

Latar belakang wanita menjadi pengebom bunuh diri telah lama diteliti. Hasilnya rata-rata menyimpulkan bahwa pengebom wanita kurang “ideologis” ketimbang pelaku pria. Misalnya, Dr. Helen Gavin, psikolog dari Universitas Huddersfield, Inggris, dalam bukunya Female Aggression mengatakan, motivasi pengebom bunuh diri pria terkait erat dengan pandangan ideologis dan pemahaman agama mereka. Sementara itu, pelaku wanita didasarkan pada dorongan membalas dendam dan alasan-alasan emosional lainnya.

Banyak wanita di Irak meledakkan diri karena suami, anak-anak mereka serta sanak keluarganya tewas akibat dibombardir tentara multinasional pimpinan Amerika Serikat. Selain di Irak, kelompok perlawanan Islam Chechya membentuk pasukan bom bunuh diri wanita “Black Widow Brigade”.

Para janda itu menjadi martir dalam peristiwa bom bunuh diri dalam tragedi Beslan (2004) yang menewaskan 200 orang lebih, dan meledakkan diri di dua stasiun kereta api di Moskow 2010 yang menewaskan 40 orang dan ratusan lainnya luka-luka.

Tewasnya wanita berikut korban-korbannya segera disebarkan ke seluruh dunia oleh kelompok perlawanan. Mereka mengatakan tindakan tersebut adalah aksi balas dendam sang janda. Propaganda ini sangat ampuh mempengaruhi persepsi internasional yang membuat Washington dan Moskow kerepotan menangkisnya.

Faktor Personal

Alasan lain mengapa wanita nekat meledakkan diri adalah karena hal yang sangat personal (Arab Woman’s Path to Unlikely ‘Martyrdom’). Wafa Idriss, misalnya, di tahun 2002 menjadi wanita pengebom bunuh diri asal Palestina. Motifnya adalah, selain kebenciannya atas kekejaman Israel, juga karena dia putus asa setelah dicerai suaminya karena mandul.

Faktor personal lainnya juga nampak dari tindakan Thenmozhi Rajaratnam alias Dhanu, anggota gerilyawan Macan Tamil Sri Lanka. Dia berhasil melewati barisan keamanan karena membawa bunga yang akan diberikan oleh mendiang Perdana Menteri Rajiv Gandhi. Begitu dekat, dia meledakkan diri hingga Rajiv Gandhi tewas. Belakangan diketahui dia sangat membenci pasukan perdamaian India yang diterjunkan di Sri Lanka untuk mengatasi gerakan separatis di sana, karena dia diperkosa ramai-ramai.

Tren Terakhir Pengebom Bunuh Diri Wanita

Namun belakangan terjadi tren yang sangat menyedihkan. Muncul bukti-bukti bahwa wanita menjadi pelaku bom bunuh diri karena dipaksa. Sekte Boko Haram di Nigeria memaksa para wanita yang diculiknya untuk melakukan aksi bom bunuh diri. Para wanita malang itu dikenakan rompi bom kemudian dipaksa pergi ke kerumunan dan kemudian diledakkan dari jauh. Militan ISIS mengerahkan pengebom bunuh diri wanita di Suriah, Irak, dan Libya. Bahkan pengebom di Paris di tahun 2015 adalah sel-sel ISIS.

Pengakuan seorang istri anggota ISIS yang keluar dari Mosul, Irak, yang dikutip Washington Post mengungkapkan bahwa ISIS memaksa para istri anggotanya mengikuti kursus pasukan bom bunuh diri.

ISIS menerapkan sistem sosial ketat dengan tidak membolehkan wanita keluar dari rumah tanpa muhrim. Jika ketahuan, aparat ISIS akan mengantarkan wanita itu ke suaminya dan sang suami diwajibkan mencambuk istrinya 40 sampai 50 kali.

Sistem ini menyebabkan wanita tertekan dan tunduk sepenuhnya pada dominasi pria, hingga mereka menurut saja ketika dijadikan anggota pasukan khusus wanita pengebom bunuh diri. Mereka melakukan aksinya dalam keadaan putus asa. Mereka lebih baik mati ketimbang ditindas. Apalagi ISIS menjanjikan para wanita malang itu mati syahid dan di surga dapat melihat wajah Allah SWT, serta bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Ini berbeda dengan doktrin ISIS pada pelaku pria, yakni janji dinikahkan dengan 72 bidadari.

Mengapa ISIS Merekrut Wanita?

Para pakar teroris mencoba mencari tahu apa yang menyebabkan ISIS merekrut wanita sebagai pasukan pengebom bunuh diri. Profesor Mia Bloom, pakar komunikasi dari Georgia State University, USA, pada artikelnya Female Suicide Bombers Are Not A New Phenomenon ( 2014) mengatakan, pengerahan wanita menjadi pasukan bom bunuh diri adalah karena posisi ISIS yang terdesak. Banyak pria yang tewas hingga ISIS kekurangan pasukan.

Di tengah persenjataan menipis, mengerahkan wanita sebagai pengebom bunudh diri juga murah. Karena hanya membuat bom saja. Selain itu, wanita biasanya tidak dicurigai sebagai pelaku, hingga bisa lolos dari pengawasan sang lawan. Sementara itu, pihak lawan kerepotan menumpas pasukan bunuh diri wanita, karena tidak mungkin menahan atau menembaki para wanita yang mereka curigai.

Profil Dian Yulia Novi

Tertangkapnya Dian di Bekasi mungkin juga merupakan indikasi bahwa sel-sel teroris di Indonesia sudah melemah setelah tewasnya Santoso dan upaya Densus 88 membongkar jaringan-jaringan teroris di seluruh negeri. Di saat terdesak, sel-sel ISIS di Indonesia mulai merekrut wanita sebagai pengebom bunuh diri karena mulai kesulitan mencari pria yang bersedia menjadi “pengantin”.

Dilihat dari profilnya, Dian nampaknya “memenuhi syarat”. Putus asa dan tidak berdaya.
Dian berusia 27 tahun dan berasal dari keluarga miskin di Cirebon. Kemiskinan memaksa dia menjadi pedagang ikan di Bandung. Setelah itu dia menjadi TKW di Taiwan. Dia pulang ke Indonesia dan menghadapi kemiskinan lagi. Apalagi orangtuanya sakit-sakitan.

Dalam keputusasaan itu, Dian kemudian menikah dan menjadi istri kedua. Namun belakangan dia diduga berkenalan dengan anggota teroris. Belum jelas peran suaminya yang dikatakan mengantar Dian ke kosannya di Bekasi kemudian meninggalkannya. Kemungkinan dia mendapat dana untuk menghidupi keluarga dari kelompok teroris. Itulah sebabnya dia mau dibawa ke Jakarta bahkan dijadikan calon pengantin bom bunuh diri.

Agaknya sel-sel ISIS menjanjikan kematiannya membuat semua bahagia, termasuk Dian.  Orangtuanya yang sakit bisa berobat karena memperoleh sejumlah dana. Di saat bersaman Dian mati syahid masuk surga dan bisa melihat wajah Allah SWT serta bertemu Nabi Muhammad SAW.

Dalam konteks ini, Dian Yulia mungkin bukan anggota teroris. Dia hanya seorang wanita malang lagi miskin yang terperdaya. Dian dibujuk kelompok teroris pimpinan Bahrum Naim yang semakin terjepit melaksanakan niat jahatnya di Indonesia karena sukar mencari lelaki yang bersedia menjadi pengebom bunuh diri

Bukti lainnya menunjukkan Dian mungkin bukan anggota teroris terlihat dari surat wasiatnya. Nampak jelas bahwa Dian berada dalam keadaan gamang. Dia nampak pasrah ketimbang memperlihatkan militansi dan kemauan jihadnya.

Jadi, kemungkinan besar Dian hanyalah korban rayuan palsu kelompok teroris. Karenanya, wajar jika kita harus mengasihani wanita malang itu, yang ingin melakukan apa pun untuk berbuat yang terbaik bagi orangtuanya.

Budi Setiawan
Budi Setiawan
Pengamat Sosial dan Hubungan Internasional, tinggal di Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.