Lippo Group membuat gebrakan dengan mulai memasarkan Meikarta, sebuah komplek kota baru raksasa di pinggiran Jakarta. Luas lahannya sekitar 500 hektar.
Kota baru ini berisi antara lain 100 gedung pencakar langit hingga 40-an lantai, untuk hunian, perkantoran, pusat perbelanjaan, hotel bintang lima dan fasilitas penunjang lain. Pada tahap pertama, dibangun 250.000 unit hunian yang bisa menampung 1 juta jiwa.
Di satu sisi, ini merupakan prestasi real-estate yang spektakular; mungkin membanggakan bagian sebagian orang dan sangat menguntungkan bagi segelintir pengusaha.
Di sisi lain, ini sebuah kemunduran besar bagi metropolitan Jakarta untuk menata dirinya; untuk mengatasi problem lingkungan (air minum dan banjir); untuk meredakan kemacetan; dan untuk mengurai problem sosial yang kian akut dan kronis.
Meikarta dan “Urban Sprawl” tanpa Kendali
Meikarta bersaing dengan proyek real-estate raksasa mutakhir yang akan membuat metropolitan Jakarta kian gemuk. Sebut saja, reklamasi Teluk Jakarta dan Pantai Indah Kapuk yang diperkirakan akan menyedot 2-3 juta penghuni baru.
Proyek-proyek itu akan menambah beban lingkungan alam dan sosial metropolitan Jakarta, salah satu megacities terbesar di dunia.
Tak hanya besar, Jabotabek adalah megacity yang paling cepat pertumbuhannya di dunia. Pada 2014, Jabotabek berpenduduk 30 juta atau dua kali lipat lebih dari penduduk pada 1990-an.
Hanya dalam 15 tahun terakhir, jumlah penduduk metropolitan Jakarta meningkat sekitar 12 juta. Pertambahan ini hampir sama dengan penduduk New York dan London Raya digabungkan. Pertambahan itu juga lebih banyak dari pertambahan penduduk Shanghai dan Manila sekaligus dalam kurun yang sama.
Bagi metropolitan Jakarta, Meikarta akan menambah problem perkotaan yang dikenal sebagai “urban sprawl”, meluasnya kota secara tak terencana dan bahkan tak terkendali.
Meikarta dan Obsesi Infrastruktur
Pada masa pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengusulkan agar wilayah metropolitan Jakarta diperluas tak sekadar Jabotabek, tapi juga meliputi Karawang, Serang dan Sukabumi.
Usulan Presiden Yudhoyono mungkin akan terwujud pada masa Presiden Jokowi. Bahkan mungkin lebih luas lagi. Para pengembang swasta diuntungkan oleh obsesi pembangunan infrastruktur Jokowi.
Meikarta mengikuti pola munculnya kota-kota swasta baru di pesisir Teluk Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Sebagian besar berada di tepi jalan tol lingkar dalam dan luar.
Memanfaatkan subsidi publik secara tak langsung, para pengembang swasta menangguk untung bonanza kenaikan harga tanah (land value gain) yang dipicu oleh pembangunan infrastruktur publik.
Seperti pengembang lain, Meikarta mengambil untung besar dari enam infrastruktur utama yang melaluinya: Pelabuhan Patimban, Bandara Internasional Kertajati (Majalengka), kereta layang Cikarang-Cawang, kereta cepat Jakarta-Bandung, Jalan Tol Layang Jakarta-Cikampek, dan Jalan Tol Jakarta-Cikampek.
Meikarta tidak akan sendirian dan secara bersama-sama mereka akan ikut andil dalam menciptakan “urban sprawl” metropolitan Jakarta yang lebih parah dan lebih luas: menyatukan Jakarta dan Bandung sekaligus, serta mencaplok Subang, Cianjur, Purwakarta dan Majalengka.
Meikarta bukan Kota Mandiri
Meikarta dan proyek real-estate besar lain dipromosikan sebagai kota mandiri. Tapi, sebenarnya jauh dari mandiri. Kota-kota itu sebagian besar ada di tepian jalan tol utama, menambah problem kemacetan yang sudah kronis di metropolitan Jakarta.
Jalan tol memanjakan pemilik mobil, dan akhirnya memperbanyak jumlah kendaraan secara dramatis. Lihat saja kemacetan kronis di JORR sekarang, yang diikuti dengan polusi udara kian parah.
Proyek-proyek real-estate besar tidak membantu pemerintah dalam memenuhi kebutuhan perumahan rakyat yang sampai sekarang masih keteteran. Proyek-proyek itu melambungkan harga tanah dan bangunan yang membuat rakyat kebanyakan makin sulit menjangkaunya.
Meikarta, Gentrifikasi dan Marjinalisasi
Fenomena “urban sprawl” dibarengi dengan “gentrifikasi”. Istilah terakhir ini melukiskan peralihan lahan dari kampung kumuh (pedesaan) menjadi kompleks perkotaan mewah. “Gentrifikasi” mengusir penduduk desa dan meminggirkan mereka makin marjinal.
Perluasan “urban sprawl” hingga Karawang, Sukabumi, Bandung dan Purwakarta juga akan melahap lahan-lahan pertanian produktif. Ini akan mempersulit pemerintah dalam memenuhi swasembada pangan. Yang lebih parah: menghancurkan sektor pertanian makin menjadi-jadi.
Tiap orang membutuhkan air bersih. Puluhan juta akan membutuhkan pasokan air bersih secara fantastis. Tapi, “urban sprawl” akan merusak daerah hulu sungai-sungai besar Ciliwung, Citarum dan Citandui. Ini akan mengurangi resapan air, memperkecil pasokan air bersih, pada saat yang sama memperbanyak air limpahan berupa banjir.
Bencana Lingkungan dan Sosial
“Urban sprawl” metropolitan Jakarta akan menjadi bencana lingkungan yang dahsyat di masa depan. Tak hanya menyangkut kelangkaan air, tapi juga problem sampah dan polusi baik darat, laut/sungai maupun udara.
“Urban sprawl” juga mempertajam ketimpangan ekonomi dan sosial, baik di dalam metropolitan sendiri maupun antara metropolitan dengan daerah selebihnya. Ini akan memicu sentimen sosial kian parah dengan konsekuensi tak terbayangkan di masa depan.
Lebih dari segalanya, pembangunan kota-kota baru oleh pengembang swasta seperti Meikarta jelas akan mengurangi kendali pemerintah terhadap ruang dan kemaslahatan publik. Rakyat menjadi sekadar konsumen, kehilangan haknya warga kota dan negara.
Lupakan janji Nawacita “membangun Indonesia dari pinggiran“. Pemerintahan Jokowi, disadari atau tidak, sedang membangun Jakarta kian besar dan gemerlap, namun menyembunyikan problem sangat serius di masa depan.***