Jumat, April 26, 2024

Hoax, Makanan Kapitalisme Digital

Geger Riyanto
Geger Riyanto
Esais, sosiolog. Mahasiswa Ph.D. bidang Etnologi, Universitas Heidelberg, Jerman
Seorang warga berfoto usai membubuhkan cap tangan ketika kampanye sekaligus deklarasi masyarakat Indonesia anti 'hoax' di Kawasan Jalan MH Thamrin Jakarta, Minggu (8/1). Kampanye anti hoax (berita bohong) itu untuk mengajak masyarakat agar memakai media sosial secara positif dan tidak menyebarkan berita palsu. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/foc/17.
Seorang warga berfoto usai membubuhkan cap tangan ketika kampanye sekaligus deklarasi masyarakat Indonesia anti ‘hoax’ di kawasan Jalan MH Thamrin Jakarta, Minggu (8/1). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/foc/17.

“Bila Anda ingin memerdekakan sebuah masyarakat,” ujar Wael Ghonim, “yang Anda butuhkan adalah internet.” Sewaktu Ghonim mencetuskan kata-kata ini pada tahun 2011, optimismenya memang beralasan. Mesir berada di ambang revolusi yang akan menggulingkan pemerintahan otoriter Mubarak. Berkat keberadaan media sosial, rakyat dapat menjumpai kelaliman pemerintahnya dan bergerak bersama menuntut perubahan.

Namun, tak butuh waktu lama sampai dengan Ghonim memupuskan harapannya. Ghonim, yang peranannya sendiri dalam memobilisasi rakyat melalui jejaring Facebook dianggap vital, terkoyak menyaksikan bagaimana media sosial memecah belah kekuatan rakyat yang seharusnya mengawal demokratisasi negaranya.

Ujaran kebencian, provokasi mengadu domba, berita palsu menguasai ruang-ruang media sosial dan memecah belah kekuatan rakyat—membunuh harapan demokratisasi yang sebelumnya sudah rapuh karena perbedaan tajam di masyarakat.

Beberapa tahun setelahnya, kekecewaan serupa mendera masyarakat Amerika Serikat. Banyak orang tersentak dengan kemenangan sosok Trump yang, bagi mereka, sama sekali tak pantas menyandang jabatan presiden. Facebook, menurut sebagian orang, tak bisa menampik tanggung jawab.

Dari data yang diperoleh perusahaan pemantau jejaring sosial, Buzzsumo, klaim ini berdasar. Dari 16 juta respons yang diperoleh dua puluh berita teratas perihal pemilu di Facebook, 8,7 juta respons tertuju kepada berita palsu seperti “Paus Francis mendukung Trump” atau
“Hillary terungkap Wikileaks menjual senjata ke ISIS.” Sebagian besar berita tersebut melejitkan citra Trump dan mencederai citra Hillary.

Paus Fransiskus tempo hari bahkan angkat bicara dan mengutuk berita palsu. Secara spesifik, Paus tak mengomentari Facebook ataupun media sosial. Namun, komentarnya tak bisa dilepaskan dari kepelikan yang menyeruak akibat keberadaan media baru ini.

Menciptakan Gelembung-gelembung

Hari-hari ini, pembicaraan perihal hoax tengah luar biasa menghangat. Dalam kolomnya yang provokatif namun—seperti biasa—menarik, Rocky Gerung berargumen kita tak sepatutnya reaktif membaca hoax melainkan menerokanya dari tatanan yang lebih luas. Rocky pribadi tak menyukai hoax. Tetapi, ketika media arus utama menggenggam monopoli atas kebenaran, berita palsu menjadi penting untuk menjaga denyut demokrasi yang esensinya adalah perimbangan kekuasaan serta kritisisme terhadap penguasa.

Saya terpikat dengan ajakan Rocky untuk menyigi hoax dari konteks yang lebih luas. Namun, berbeda dengan Rocky maupun penanggapnya, Ignatius Haryanto, saya lebih tertarik untuk mengajak kita meneroka keterpautannya dengan perkembangan termutakhir kapitalisme digital. Berita palsu maupun ujaran kebencian di berbagai belahan, pasalnya, tak akan merebak segegar saat ini apabila media-media sosial tak pernah menemukan algoritma yang memungkinkannya menangguk keuntungan luar biasa melalui platformnya.

Ambil saja Facebook yang sudah kita singgung beberapa kali. Sedari awal, Facebook didesain sebagai sebuah ekologi digital yang tak hanya menghubungkan orang-orang melainkan juga memikat mereka untuk tenggelam di dalamnya. Mereka mencetak keuntungan dari waktu dan perhatian yang dihabiskan para penggunanya di jejaringnya—menjualnya sebagai peluang beriklan strategis bagi perusahaan-perusahaan yang sadar televisi dan media cetak tak mempunyai daya jangkau yang sama lagi dengan di masa silam.

Karenanya, apa yang tak pernah henti dikembangkan oleh Facebook dalam usaha menegakkan dominasinya atas platform media sosial lain adalah algoritma yang efektif membaca sekaligus menyajikan dinamika dan drama jejaring sosial yang mengikat penggunanya.

Facebook menyusun satu rumus untuk mengalkulasi acungan jempol, jejaring pertemanan, waktu membaca pos serta kesemua jejak perilaku digital pengguna yang dapat menerka selera dan preferensi masing-masing pengguna. Lantas, Facebook akan memilihkan unggahan status, foto, berita dari jaringan sang pengguna yang dianggapnya akan memikat pengguna bersangkutan.

Facebook tak mengembangkan algoritma ini dalam waktu instan. Namun, hasilnya adalah Facebook yang kita jumpai hari ini—media sosial terbesar yang jumlah pengguna aktifnya tak mungkin lagi terkejar lagi oleh media sosial lainnya.

Apa yang acap Anda lihat pertama ketika membuka laman utamanya? Muatan-muatan menggugah emosi, sentimental dan, yang terpenting, memaksa Anda untuk terus memancangkan perhatian ke lamannya. Banyak dari antaranya yang, tak bisa kita tampik, merupakan berita membahagiakan seperti kabar kelahiran anak seorang teman dekat. Namun yang tak kalah banyaknya adalah informasi-informasi yang menorehkan kebencian, kemarahan, ketakutan, kecemasan.

Facebook sendiri, tentu, tak pernah menggambarkan algoritma yang dikembangkannya bertujuan memprovokasi atau memanipulasi emosi para penggunanya. Di laman beritanya, Facebook menyampaikan bahwa pihaknya ingin merancang sebuah platform di mana para penggunanya tak akan melewatkan kabar-kabar penting dari jaringan perkawanannya serta memperoleh interaksi yang otentik dan bermakna.

Akan tetapi, siapa yang bisa mengantisipasi kalau ternyata algoritma untuk tujuan yang demikian melecut pula konten-konten yang mengobarkan permusuhan kepada yang lain? Bahwa yang lantas terjadi bukan hanya Anda terjalin setiap saat dengan kawan-kawan, namun juga digerayangi paranoia tak beralasan dari muatan yang menggentayangi jejaring Anda?

Menangguk Keuntungan

Pengaruh algoritma ini tak berhenti pada mengubah cara banyak orang memperoleh informasi. Ia pun, dengan sendirinya, mengubah secara dramatis cara orang-orang memproduksi dan mereproduksi informasi. Bila satu pihak menginginkan konten yang disusunnya tersebar dan memperoleh entah keuntungan sosial, politik, maupun finansial darinya, mereka harus mengikuti logika yang dirampungkan oleh media sosial dalam penyajiannya.

Akibatnya, bukan hal yang mengherankan bila hari-hari ini situs-situs berita kredibel sekalipun mengerdilkan dirinya menjadi penjaja judul-judul bombastis sentimental. Situs berita remang-remang, dapat ditebak, semakin leluasa dalam menebar kabar-kabar liar yang tak dapat dipertanggungjawabkan dan menyulut emosi. Muatan-muatan yang demikianlah toh yang, harus diakui, mendapatkan panggung utama dalam jejaring sosial digital kita.

Sebuah artikel BuzzFeed mengungkap ada sekelompok anak muda di Makedonia yang pencahariannya menyusun dan menyebarkan berita-berita palsu seputar pemilu AS dan terutama yang mengangkat Trump. Mengapa mereka melakukannya? Jawabannya sederhana, uang. Uang yang akan mereka peroleh ketika para pengguna media sosial yang terbujuk mengunjungi situsnya. Namun, pertanyaan pentingnya, mengapa mereka bisa melakukannya? Tak lain, karena media sosial menyediakan medium ampuh penyebarannya.

Menariknya, anak-anak muda ini mengaku sempat berusaha menayangkan pula berita-berita perihal senator Bernie Sanders. Namun, tak ada yang bergaung lebih kuat di Facebook dibanding berita tentang Trump. Dan Trump, kita tahu, sejak pertama, dibesarkan sekaligus membesarkan figurnya sendiri dengan kampanye-kampanye kebencian. Bukankah hal ini juga menggambarkan bagaimana kini muatan kebencian menyalip muatan-muatan lainnya dalam menggenggam kehidupan digital kita? Yakni, lantaran ia lebih mudah menjangkiti khalayak dan memungkinkan pihak-pihak mengambil keuntungan darinya?

Apa yang kita saksikan ini seakan menjadi paradoks telanjang era teknologi informasi. Semakin canggih perkakas yang memudahkan kita berhubungan dengan insan lain, semakin sempit dan picik cakrawala pandang kita.

Kita menjadi sandera sentimen kita sendiri yang dipetakan, dipancing, dimanipulasi sehingga sebagian pihak lain menangguk mujur. Kita menjadi sandera sesosok makhluk dalam gelap yang beberapa tahun silam bahkan belum lahir—kapitalisme digital.

Geger Riyanto
Geger Riyanto
Esais, sosiolog. Mahasiswa Ph.D. bidang Etnologi, Universitas Heidelberg, Jerman
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.