Februari menjadi bulan yang dinanti pasangan kekasih. Entah yang baru jadian, sudah lama pacaran, atau yang baru mengecap manis madu pernikahan. Semua merayakan dengan penuh suka cita. Seolah menjadi kewajiban, mereka yang tidak memiliki kekasih atau tidak merayakan Valentine akan mengalami perundungan (bullying), baik datang dari lingkungannya atau dari batinnya sendiri.
Pedagang cokelat, bunga, boneka, juga pernak pernik Valentine kebanjiran rezeki. Pedagang ini akan diburu sebagai wujud cinta kasih. Setelah itu pasar media sosial juga akan ramai. Foto barang-barang mewah bertebaran. Ada juga yang jalan-jalan ke tempat yang diklaim romantis. Baju terbaik pun dikenakan sembari memilih pose terbaik yang akan mengundang ribuan likers dan komentator dadakan.
Semua riuh. Namun, ada perayaan yang sepertinya terlupakan. Kasih sayang pada semesta yang tidak memiliki tanggal spesial ini seolah cemburu. Buktinya, Desa Songan, Kintamani, Tianyar, dan Pancasari, Bedugul, kini tengah berduka. Bencana tanah longsor telah menelan korban jiwa.
Ini bukan semata-mata kehendak alam, melainkan bentuk protes terhadap manusia yang secara sadar mengeruk alam tanpa ampun. Konsep Tri Hita Karana seharusnya menjadi penjaga Bali tetap lestari. Penyebab kebahagiaan salah satunya adalah keadaan alam yang seimbang. Tentu Bali tidak bisa berharap banyak pada pariwisata jika alamnya mengamuk luar biasa.
Bukit Bedugul yang hijau meneduhkan tiba-tiba mengamuk begitu ganas hingga manusia tak memiliki jalan lain selain minta ampun.
Beberapa tempat juga peristiwa mewarnai pasar media sosial. Bahkan media nasional juga memuat berita longsor di Bali sebagai topik utama. Simpati bertebaran dan berbagai komunitas menunjukkan dengan gesit partisipasinya. Ada juga penyelamat yang datang dari warga sekitar. Mereka secara sadar ikut menyumbangkan tenaga juga pemikiran untuk membantu menyelamatkan warga yang terkena longsor.
Warga berteriak di setiap sudut meminta pohon tumbang pada tempatnya, bukan mengenai tubuh anak cucunya yang belum tahu apa-apa. Ada juga yang berteriak pada pertiwi agar tetap pada tempatnya, sebab kaki manusia yang dipijak tak mampu mengejar lari pertiwi. Manusia akan kalah. Sudah banyak bukti bahwa alam tak pernah main-main.
Malang memang tak bisa ditolak. Amarah semesta tak pernah punya tanda. Alam tak sekadar marah namun juga mengingatkan. Benarkah peristiwa ini dibenarkan hanya dengan alasan, oh musim hujan, musim sedang tak bersahabat, atau kondisi geografis yang memang rentan? Seangkuh itu manusia memanfaatkan logikanya?
Anak-anak menjadi khawatir setiap berangkat sekolah atau pulang sekolah. Mereka takut akan bahaya yang mengancam. Tempat yang begitu mereka kenal sejak kecil tiba-tiba menjadi asing sebab arah angin yang berlawanan. Kadang mereka berjalan dengan harapan agar hujan tak turun dengan segera. Bali sedang diuji.
Bedugul, Tianyar, juga Songan adalah pelajaran berarti. Tidak lantas untuk disepelekan. Soal lain yang dialami Bali adalah pasokan air bersih. Ketika saya berangkat kerja, ada puluhan orang membawa baskom dan ember besar untuk mengangkut air di perumahan warga yang menggunakan sumur bor.
Jika saja ada yang berpikir bisnis, menjadi penjual air bersih keliling mungkin jadi lahan bisnis menguntungkan selama air PDAM Denpasar mati. Para pekerja, ibu rumah tangga akan berani membayar lebih agar kebutuhan air bersih bisa tercukupi. Direktur Utama PDAM Kota Denpasar menyatakan di berbagai media bahwa curah hujan yang sangat tinggi mengakibatkan sumber air baku PDAM Denpasar keruh. Akibat kekeruhan tersebut, Instalasi Pengolahan Air (IPA) Ayung Belusung dan IPA Waribang tidak bisa berproduksi secara maksimal.
Begitu hebatnya alam menaklukkan aktivitas manusia bahkan mungkin kehidupan manusia itu sendiri.
Lirik lagu dari Nosstress begitu dalam dinyanyikan di setiap festival musik di Bali. Liriknya begini.
“Ini serius… Tentang Bumi ini, Alam ini… Dan kebun di depan rumahku. Tentang pohon pisang… Tentang rumput liar… Tentang capung… tentang burung… Tentang kenyataan bahwa semuanya tak seindah dulu. Kita harus menanam kembali… Hijau saat ini dan nanti… Kita harus menanam kembali… Satu saja sangat berarti untukmu. Tanam saja. Tanam sajalah. Alam sehat, tanggung jawab.”
Begitu viral, melekat, bahkan sangat dekat dengan warga Bali, terutama kaum mudanya. Kita sadar bahwa Bali tidak seperti dulu lagi. Kita sangat sadar namun tidak melakukan apa pun. Haruskah selalu diingatkan semesta agar menjaganya? Cara semesta itu tak dapat ditebak. Apakah manusia begitu yakin dapat bertahan di setiap tebakan itu? Ini serius.