Bayangkan seorang pemuda ‘idiot’ bernama Pangeran Myshkin, yang kembali ke tanah airnya, Rusia, setelah sekian lama menjalani perawatan epilepsi di sebuah klinik di Swiss. Namun, Pangeran Myshkin bukanlah pemuda biasa. Ia adalah perwujudan “kebaikan murni” yang diciptakan Fyodor Dostoevsky, sang pengarang, dengan segala keunikan dan kompleksitasnya.
Myshkin digambarkan sebagai sosok yang menyendiri, polos, dan naif, namun di sisi lain ia juga jujur, intuitif, dan murah hati. Ia mudah dimanfaatkan, pemaaf, dan acuh terhadap status sosial. Meskipun memiliki “penyakit ajaib” dan sering dihantui visi-visi tentang cinta dan persaudaraan, ia tetap memancarkan aura yang anehnya menarik sekaligus menjijikkan.
Dostoevsky seolah menuangkan sedikit dirinya ke dalam karakter Myshkin, terutama pengalamannya dengan epilepsi. Namun, Myshkin lebih dari sekadar refleksi sang penulis; ia adalah sebuah “ide” yang berusaha mewujudkan diri menjadi seorang karakter yang utuh. Sayangnya, ia terjebak di antara dunia ide dan realitas, tidak pernah benar-benar mencapai keutuhan yang diinginkan.
Berbeda dengan Raskolnikov, tokoh utama dalam Crime and Punishment (1866) yang didasarkan pada kisah nyata, Myshkin terlalu ideal dan terlalu dibentuk oleh imajinasi Dostoevsky. Sang pengarang memberinya sebuah cerita yang rumit dan dramatis, yang ironisnya, justru menghalangi Myshkin untuk menjadi karakter yang benar-benar hidup.
Petualangan Pangeran Myshkin di St. Petersburg membawanya pada pertemuan dengan dua wanita yang memikat hati, namun menyimpan kisah yang kelam. Yang pertama, seorang wanita muda dengan kecantikan yang memukau, namun dibayangi masa lalu yang tragis. Ia adalah mantan simpanan seorang pria tua kaya yang telah membesarkannya, namun juga merenggut kepolosannya. Kini, ia menjadi pusat perhatian di kota, terjebak dalam pusaran rasa kasihan dan hasrat yang terlarang.
Wanita kedua, seorang putri bangsawan yang dimanja, hidup dalam kemewahan dan terbiasa mendapatkan apa yang diinginkannya. Ia adalah kebalikan dari wanita pertama, namun sama-sama menyimpan daya tarik yang kuat bagi sang pangeran. Myshkin, dengan kepolosan dan kemurnian hatinya, terjerat dalam dilema cinta yang rumit. Ia tertarik pada kedua wanita ini, namun tak mampu memahami perbedaan antara cinta yang suci (agape) dan cinta yang bernafsu (eros). Mungkinkah Dostoevsky, sang pengarang, ingin menunjukkan bahwa bagi seorang pria dengan kebaikan sejati seperti Myshkin, kedua jenis cinta itu menyatu tanpa batas?
Sayangnya, kedua wanita itu pun terjebak dalam perasaan yang kontradiktif dan tak mampu mencintai Myshkin dengan tulus. Sang pangeran, yang pasif dan mudah dipengaruhi, terombang-ambing di antara dua hati yang rapuh, tanpa mampu memilih atau memahami niat sebenarnya dari mereka. Dostoevsky, dengan cerdas, menggunakan kisah ini untuk mengeksplorasi pertanyaan klasik tentang cinta dan kebajikan seorang wanita. Mampukah seorang wanita yang telah ternoda masih mencintai dengan tulus? Bagaimana nasib seorang wanita muda yang terpaksa menikah demi kepentingan keluarga?
Namun, fokus utama Dostoevsky sebenarnya adalah pada pertemuan Myshkin dengan masyarakat Rusia yang penuh dengan karakter-karakter eksentrik dan bermasalah. Sang pangeran yang naif harus berhadapan dengan dunia yang keras dan penuh kepura-puraan, dunia yang dihuni oleh para pemabuk, pembohong, dan orang-orang gila. Mampukah ia bertahan? Mampukah kita, para pembaca, menghadapi realitas yang sama kelamnya?
Dostoevsky, layaknya Flaubert dan Dickens yang dikaguminya, menunjukkan ketertarikan yang mendalam pada psikologi manusia, khususnya gangguan mental. The Idiot (1869) seolah menjadi studi kasus awal bagi teori psikoanalitik, di mana setiap karakter memperlihatkan berbagai gejala gangguan jiwa, mulai dari kecanduan, gangguan suasana hati, hingga gangguan kepribadian. Mereka bertindak secara impulsif, didorong oleh emosi dan dorongan hati yang tak terkendali. Pernikahan, pengkhianatan, pemerasan, bahkan pembunuhan, semua dilakukan dengan spontan tanpa pertimbangan yang matang. Reaksi mereka pun seringkali berlebihan dan terdistorsi, menciptakan lingkaran setan di mana ketidakstabilan emosi saling mempengaruhi.
Dalam dunia yang dipenuhi oleh karakter-karakter yang labil ini, kebaikan sejati justru menjadi anomali. Myshkin, dengan segala kemurnian dan kepasifannya, ditakdirkan untuk gagal. Kebaikannya yang tanpa pamrih tidak berdaya menghadapi arus ketidakwarasan yang menderu di sekelilingnya. Dostoevsky seolah ingin menunjukkan bahwa kebaikan yang hakiki membutuhkan fondasi yang kokoh, baik dalam bentuk pengetahuan diri yang mendalam maupun dukungan dari tatanan sosial yang stabil. Tanpa itu, kebaikan hanya akan menjadi korban dari ketidakseimbangan dan kehancuran.
Berbeda dengan tokoh-tokoh dalam novel lain yang berjuang untuk menjaga tatanan sosial dan meraih kebahagiaan duniawi, karakter-karakter dalam The Idiot justru terperangkap dalam pusaran konflik batin dan pertentangan yang tak berkesudahan. Mereka terjebak dalam pusaran emosi dan impuls yang menghancurkan, di mana tata krama hanyalah topeng tipis yang menutupi kekosongan jiwa.
Di tengah kekacauan ini, Myshkin hadir sebagai sosok yang lemah dan tak berdaya. Ia bagaikan setitik cahaya kebaikan yang redup di tengah kegelapan. Namun, ketidakberdayaannya itu justru menjadi kutukan, menjerumuskannya ke dalam pusaran tragedi yang tak terelakkan. Dostoevsky seolah bertanya, akankah nasib para wanita yang dicintai Myshkin berakhir tragis jika sang pangeran tidak pernah hadir dalam hidup mereka? Mungkinkah mereka menemukan jalan keluar dari kegelapan hati mereka sendiri? Namun, tanpa kehadiran Myshkin, kisah The Idiot akan kehilangan pusat gravitasinya. Ia adalah benang merah yang menghubungkan semua karakter dan konflik dalam novel ini.
Meskipun demikian, Dostoevsky tampaknya merasa gagal dalam menciptakan Myshkin sebagai karakter yang utuh. Sang pangeran terlalu sempurna, terlalu pasif, dan terlalu dibentuk oleh idealisme sang pengarang sendiri. Ia lebih mirip sebuah simbol daripada manusia yang nyata dengan motivasi dan keinginan yang kompleks. Dostoevsky memang brilian dalam menggambarkan keadaan psikologis yang ekstrem, namun ia gagal mengungkapkan proses berpikir karakter-karakternya secara mendalam. Kita bisa melihat perilaku mereka, namun kita tidak benar-benar memahami apa yang terjadi di dalam pikiran mereka. Akibatnya, kita sulit untuk berempati dengan mereka, termasuk dengan Myshkin sendiri.
Bahasa demikian akan menjadi penting untuk membuat kebaikan sempurna Myshkin meyakinkan, di satu sisi, dan untuk mengatur novel, di sisi lain. Dari karya-karya besar Dostoevsky, The Idiot adalah satu-satunya yang mengambil subjek khas Inggris dan Prancis tentang aliansi pernikahan. Ada saat-saat ketika novel tersebut tampaknya bergerak menuju komedi tata krama Prancis atau Inggris — ide-ide dan terutama ucapan beberapa karakter penuh dengan absurditas yang dapat dengan mudah muncul dalam Thackeray, Dickens, atau Balzac sebagai idiosinkrasi kondisi manusia. Proyek aliansi pernikahan itu sendiri cukup absurd dalam novel ini, tetapi sang pangeran terlalu baik untuk memiliki selera humor, dan tidak ada karakter lain yang memiliki detasemen yang dibutuhkan oleh kecerdasan.
Tidak masalah untuk membaca Dostoevsky dan berharap Anda membaca Trollope. Ekstremitas dunia Dostoevsky adalah pengingat yang baik bahwa paparan yang terlalu lama terhadap kepekaan seorang novelis yang dibutuhkan oleh sebuah novel yang panjang sama seperti perjalanan kereta api yang panjang dengan orang asing, terkadang lebih menuntut dan tidak menyenangkan daripada yang dipersiapkan oleh pembaca. Dalam pengertian itu, setiap novel, pada akhirnya, adalah pengalaman sosial serta pengalaman kesendirian. Meski begitu, mencicipi dunia Dostoevsky tetaplah merangsang; Keberanian Dostoevsky sebagai pemikir dan seniman menetapkan banyak istilah untuk seni, filsafat, dan psikologi yang membentuk abad kedua puluh dan yang masih berpengaruh di abad kedua puluh satu.
Dostoevsky, dengan gaya bahasanya yang khas, menciptakan dunia The Idiot yang begitu unik dan berbeda. Kebaikan Myshkin yang luar biasa, yang menjadi pusat dari novel ini, membutuhkan bahasa yang sama istimewanya untuk dapat dipahami dan dirasakan oleh pembaca. Berbeda dengan karya-karya Dostoevsky lainnya yang cenderung gelap dan penuh konflik, The Idiot menyentuh tema yang lebih ringan, yaitu aliansi pernikahan, sebuah tema yang sering dijumpai dalam karya-karya sastra Inggris dan Prancis. Namun, Dostoevsky mengolahnya dengan caranya sendiri, menambahkan sentuhan absurditas dan keunikan yang mengingatkan kita pada karya-karya Thackeray, Dickens, atau Balzac.
Sang pangeran, dengan kebaikannya yang tanpa cela, terlalu murni untuk memahami humor dan sarkasme yang sering mewarnai interaksi sosial. Ia bagaikan makhluk asing di dunia yang penuh kepalsuan dan ironis. Membaca Dostoevsky adalah sebuah perjalanan yang menantang, layaknya perjalanan kereta api yang panjang bersama orang asing. Kita akan dihadapkan pada intensitas emosi dan pemikiran yang mendalam, yang terkadang membuat kita tidak nyaman dan kewalahan. Namun, di balik semua itu, terdapat pengalaman yang memperkaya jiwa dan membuka cakrawala pandang kita.
Dostoevsky, dengan keberaniannya dalam mengeksplorasi kedalaman psikologi manusia, telah memberikan sumbangan yang tak ternilai bagi dunia seni, filsafat, dan psikologi. Karyanya tetap relevan dan berpengaruh hingga saat ini, menginspirasi kita untuk terus berpikir kritis dan mempertanyakan makna kehidupan itu sendiri.