Rabu, Januari 15, 2025

Labirin Pikiran: The Idiot dan Eksplorasi Gangguan Mental

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Bayangkan seorang pemuda ‘idiot’ bernama Pangeran Myshkin, yang kembali ke tanah airnya, Rusia, setelah sekian lama menjalani perawatan epilepsi di sebuah klinik di Swiss. Namun, Pangeran Myshkin bukanlah pemuda biasa. Ia adalah perwujudan “kebaikan murni” yang diciptakan Fyodor Dostoevsky, sang pengarang, dengan segala keunikan dan kompleksitasnya.

Myshkin digambarkan sebagai sosok yang menyendiri, polos, dan naif, namun di sisi lain ia juga jujur, intuitif, dan murah hati. Ia mudah dimanfaatkan, pemaaf, dan acuh terhadap status sosial. Meskipun memiliki “penyakit ajaib” dan sering dihantui visi-visi tentang  cinta dan persaudaraan, ia tetap memancarkan aura yang anehnya menarik sekaligus menjijikkan.

Dostoevsky seolah menuangkan sedikit dirinya ke dalam karakter Myshkin, terutama pengalamannya dengan epilepsi. Namun, Myshkin lebih dari sekadar refleksi sang penulis;  ia adalah sebuah “ide” yang berusaha mewujudkan diri menjadi seorang karakter yang  utuh. Sayangnya, ia terjebak di antara dunia ide dan realitas, tidak pernah benar-benar  mencapai keutuhan yang diinginkan.

Berbeda dengan Raskolnikov, tokoh utama dalam Crime and Punishment (1866) yang  didasarkan pada kisah nyata, Myshkin terlalu ideal dan terlalu dibentuk oleh imajinasi  Dostoevsky. Sang pengarang memberinya sebuah cerita yang rumit dan dramatis, yang  ironisnya, justru menghalangi Myshkin untuk menjadi karakter yang benar-benar hidup.

Petualangan Pangeran Myshkin di St. Petersburg membawanya pada pertemuan dengan dua wanita yang memikat hati, namun menyimpan kisah yang kelam. Yang pertama, seorang wanita muda dengan kecantikan yang memukau, namun dibayangi masa lalu yang tragis. Ia adalah mantan simpanan seorang pria tua kaya yang telah membesarkannya, namun juga merenggut kepolosannya. Kini, ia menjadi pusat perhatian di kota, terjebak dalam pusaran rasa kasihan dan hasrat yang terlarang.

Wanita kedua, seorang putri bangsawan yang dimanja,  hidup dalam kemewahan dan terbiasa mendapatkan apa yang diinginkannya. Ia adalah kebalikan dari wanita pertama, namun sama-sama menyimpan daya tarik yang kuat bagi sang pangeran. Myshkin, dengan kepolosan dan kemurnian hatinya,  terjerat dalam dilema cinta yang rumit. Ia  tertarik  pada  kedua  wanita  ini, namun  tak  mampu  memahami  perbedaan  antara  cinta  yang  suci  (agape) dan cinta yang  bernafsu  (eros). Mungkinkah  Dostoevsky,  sang  pengarang,  ingin  menunjukkan  bahwa  bagi  seorang  pria  dengan  kebaikan  sejati  seperti  Myshkin,  kedua  jenis  cinta  itu  menyatu  tanpa  batas?

Sayangnya, kedua  wanita  itu  pun  terjebak  dalam  perasaan  yang  kontradiktif  dan  tak mampu  mencintai  Myshkin  dengan  tulus.  Sang  pangeran,  yang  pasif  dan  mudah  dipengaruhi,  terombang-ambing  di  antara  dua  hati  yang  rapuh,  tanpa  mampu  memilih  atau  memahami  niat  sebenarnya  dari  mereka. Dostoevsky,  dengan  cerdas,  menggunakan  kisah  ini  untuk  mengeksplorasi  pertanyaan  klasik  tentang  cinta  dan  kebajikan  seorang  wanita.  Mampukah  seorang  wanita  yang  telah  ternoda  masih  mencintai  dengan  tulus?  Bagaimana  nasib  seorang  wanita  muda  yang  terpaksa  menikah  demi  kepentingan  keluarga?

Namun, fokus  utama  Dostoevsky  sebenarnya  adalah  pada  pertemuan  Myshkin  dengan  masyarakat  Rusia  yang  penuh  dengan  karakter-karakter  eksentrik  dan  bermasalah.  Sang  pangeran  yang  naif  harus  berhadapan  dengan  dunia  yang  keras  dan  penuh  kepura-puraan,  dunia  yang  dihuni  oleh  para  pemabuk,  pembohong,  dan  orang-orang  gila. Mampukah  ia  bertahan?  Mampukah  kita,  para  pembaca,  menghadapi  realitas  yang  sama  kelamnya?

Dostoevsky, layaknya Flaubert dan Dickens yang dikaguminya,  menunjukkan ketertarikan yang mendalam pada  psikologi manusia, khususnya  gangguan mental.  The Idiot (1869) seolah menjadi  studi kasus  awal  bagi  teori  psikoanalitik,  di  mana  setiap  karakter  memperlihatkan  berbagai  gejala  gangguan  jiwa,  mulai  dari  kecanduan,  gangguan  suasana  hati,  hingga  gangguan  kepribadian. Mereka  bertindak  secara  impulsif,  didorong  oleh  emosi  dan  dorongan  hati  yang  tak  terkendali.  Pernikahan,  pengkhianatan,  pemerasan,  bahkan  pembunuhan,  semua  dilakukan  dengan  spontan  tanpa  pertimbangan  yang  matang.  Reaksi  mereka  pun  seringkali  berlebihan  dan  terdistorsi,  menciptakan  lingkaran  setan  di  mana  ketidakstabilan  emosi  saling  mempengaruhi.

Dalam dunia  yang  dipenuhi  oleh  karakter-karakter  yang  labil  ini,  kebaikan  sejati  justru  menjadi  anomali.  Myshkin,  dengan  segala  kemurnian  dan  kepasifannya,  ditakdirkan  untuk  gagal.  Kebaikannya  yang  tanpa  pamrih  tidak  berdaya  menghadapi  arus  ketidakwarasan  yang  menderu  di  sekelilingnya. Dostoevsky  seolah  ingin  menunjukkan  bahwa  kebaikan  yang  hakiki  membutuhkan  fondasi  yang  kokoh,  baik  dalam  bentuk  pengetahuan  diri  yang  mendalam  maupun  dukungan  dari  tatanan  sosial  yang  stabil.  Tanpa  itu,  kebaikan  hanya  akan  menjadi  korban  dari  ketidakseimbangan  dan  kehancuran.

- Advertisement -

Berbeda dengan tokoh-tokoh dalam novel lain yang berjuang untuk menjaga tatanan sosial dan meraih kebahagiaan duniawi, karakter-karakter dalam The Idiot justru terperangkap dalam pusaran konflik batin dan pertentangan  yang tak berkesudahan.  Mereka terjebak dalam pusaran emosi dan  impuls  yang  menghancurkan,  di  mana  tata  krama  hanyalah  topeng  tipis  yang  menutupi  kekosongan  jiwa.

Di tengah kekacauan ini, Myshkin hadir sebagai sosok yang lemah dan tak berdaya. Ia bagaikan setitik cahaya kebaikan yang redup di tengah kegelapan. Namun,  ketidakberdayaannya  itu  justru  menjadi  kutukan,  menjerumuskannya  ke  dalam  pusaran  tragedi  yang  tak  terelakkan. Dostoevsky  seolah  bertanya,  akankah  nasib  para  wanita  yang  dicintai  Myshkin  berakhir  tragis  jika  sang  pangeran  tidak  pernah  hadir  dalam  hidup  mereka?  Mungkinkah  mereka  menemukan  jalan  keluar  dari  kegelapan  hati  mereka  sendiri?  Namun,  tanpa  kehadiran  Myshkin,  kisah  The  Idiot  akan  kehilangan  pusat  gravitasinya.  Ia  adalah  benang  merah  yang  menghubungkan  semua  karakter  dan  konflik  dalam  novel  ini.

Meskipun demikian,  Dostoevsky  tampaknya  merasa  gagal  dalam  menciptakan  Myshkin  sebagai  karakter  yang  utuh.  Sang  pangeran  terlalu  sempurna,  terlalu  pasif,  dan  terlalu  dibentuk  oleh  idealisme  sang  pengarang  sendiri.  Ia  lebih  mirip  sebuah  simbol  daripada  manusia  yang  nyata  dengan  motivasi  dan  keinginan  yang  kompleks. Dostoevsky  memang  brilian  dalam  menggambarkan  keadaan  psikologis  yang  ekstrem,  namun  ia  gagal  mengungkapkan  proses  berpikir  karakter-karakternya  secara  mendalam.  Kita  bisa  melihat  perilaku  mereka,  namun  kita  tidak  benar-benar  memahami  apa  yang  terjadi  di  dalam  pikiran  mereka.  Akibatnya,  kita  sulit  untuk  berempati  dengan  mereka,  termasuk  dengan  Myshkin  sendiri.

Bahasa demikian akan menjadi penting untuk membuat kebaikan sempurna Myshkin meyakinkan, di satu sisi, dan untuk mengatur novel, di sisi lain. Dari karya-karya besar Dostoevsky, The Idiot adalah satu-satunya yang mengambil subjek khas Inggris dan Prancis tentang aliansi pernikahan. Ada saat-saat ketika novel tersebut tampaknya bergerak menuju komedi tata krama Prancis atau Inggris — ide-ide dan terutama ucapan beberapa karakter penuh dengan absurditas yang dapat dengan mudah muncul dalam Thackeray, Dickens, atau Balzac sebagai idiosinkrasi kondisi manusia. Proyek aliansi pernikahan itu sendiri cukup absurd dalam novel ini, tetapi sang pangeran terlalu baik untuk memiliki selera humor, dan tidak ada karakter lain yang memiliki detasemen yang dibutuhkan oleh kecerdasan.

Tidak masalah untuk membaca Dostoevsky dan berharap Anda membaca Trollope. Ekstremitas dunia Dostoevsky adalah pengingat yang baik bahwa paparan yang terlalu lama terhadap kepekaan seorang novelis yang dibutuhkan oleh sebuah novel yang panjang sama seperti perjalanan kereta api yang panjang dengan orang asing, terkadang lebih menuntut dan tidak menyenangkan daripada yang dipersiapkan oleh pembaca. Dalam pengertian itu, setiap novel, pada akhirnya, adalah pengalaman sosial serta pengalaman kesendirian. Meski begitu, mencicipi dunia Dostoevsky tetaplah merangsang; Keberanian Dostoevsky sebagai pemikir dan seniman menetapkan banyak istilah untuk seni, filsafat, dan psikologi yang membentuk abad kedua puluh dan yang masih berpengaruh di abad kedua puluh satu.

Dostoevsky, dengan gaya bahasanya yang khas,  menciptakan dunia  The Idiot  yang  begitu  unik  dan  berbeda.  Kebaikan  Myshkin  yang  luar  biasa,  yang  menjadi  pusat  dari  novel  ini,  membutuhkan  bahasa  yang  sama  istimewanya  untuk  dapat  dipahami  dan  dirasakan  oleh  pembaca. Berbeda  dengan  karya-karya  Dostoevsky  lainnya  yang  cenderung  gelap  dan  penuh  konflik,  The  Idiot  menyentuh  tema  yang  lebih  ringan,  yaitu  aliansi  pernikahan,  sebuah  tema  yang  sering  dijumpai  dalam  karya-karya  sastra  Inggris  dan  Prancis.  Namun,  Dostoevsky  mengolahnya  dengan  caranya  sendiri,  menambahkan  sentuhan  absurditas  dan  keunikan  yang  mengingatkan  kita  pada karya-karya  Thackeray,  Dickens,  atau  Balzac.

Sang pangeran, dengan kebaikannya  yang  tanpa  cela,  terlalu  murni  untuk  memahami  humor  dan  sarkasme  yang  sering  mewarnai  interaksi  sosial.  Ia  bagaikan  makhluk  asing  di  dunia  yang  penuh  kepalsuan  dan  ironis. Membaca  Dostoevsky  adalah  sebuah  perjalanan  yang  menantang,  layaknya  perjalanan  kereta  api  yang  panjang  bersama  orang  asing.  Kita  akan  dihadapkan  pada  intensitas  emosi  dan  pemikiran  yang  mendalam,  yang  terkadang  membuat  kita  tidak  nyaman  dan  kewalahan.  Namun,  di  balik  semua  itu,  terdapat  pengalaman  yang  memperkaya  jiwa  dan  membuka  cakrawala  pandang  kita.

Dostoevsky, dengan keberaniannya dalam mengeksplorasi kedalaman psikologi manusia,  telah memberikan sumbangan yang tak ternilai bagi dunia seni, filsafat, dan psikologi.  Karyanya tetap relevan dan berpengaruh hingga saat ini, menginspirasi kita untuk terus  berpikir kritis dan mempertanyakan makna kehidupan itu sendiri.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.