Mengapa ada sosok seperti Jenderal Kivlan Zein yang percaya isu PKI bisa dikelola dalam ranah politik nasional di era keterbukaan seperti sekarang? Tidakkah masyarakat, khususnya unsur-unsur intelektual dominan, bisa dengan mudah mengakses informasi sehingga mampu mementahkan isu semacam itu?
Faktanya, “pembeli” isu PKI masih ada, dengan “pasar” yang masih terbuka luas. Sebagian pengelolaannya menempel mulus pada isu ancaman dominasi dan ekspansi ekonomi China.
Saat ini memang kian sulit mengurai kemurnian komunisme China. Sebab, sejak era revolusi Deng Xiaoping, ekonomi Negeri Tirai Bambu semakin bisa berseiring dengan kapitalis-kapitalis Wall Street. Juga, politikus nasional, termasuk yang berbendera Islam, sudah nyaman-nyaman saja beranjang sana ke Beijing, berfoto-foto dengan para pemimpin komunis China, bahkan bekerja sama! Sementara di bagian lain, representasi komunisme ala Korea Utara lebih hanya menjadi kabar lucu-lucuan saja.
Namun, isu “ancaman” China dengan “identitas” komunisnya tetap seksi untuk dikelola. Ini bukan semata-mata berhubungan dengan tingkat minat dan daya baca mayoritas masyarakat Indonesia yang memang masih rendah. Ada faktor lain yang tidak kalah penting, yaitu bangunan persepsi kesejarahan, terutama yang bersumber dari pendidikan formal.
Sejauh ini problem pendidikan kesejarahan lebih sering dikaitkan dengan kemasan yang kurang memiliki daya tarik bagi anak-anak sekolah. Rancangan pelajaran sejarah di sekolah lebih bertumpu pada hafalan-hafalan yang membosankan hanya untuk bisa menjawab soal-soal ujian.
Memang sudah lama ada upaya-upaya pengemasan agar pelajaran sejarah di sekolah menjadi lebih menarik, seperti diskusi interaktif, field trip ke tempat-tempat bersejarah, sampai permainan drama melakonkan tokoh-tokoh sejarah. Selain itu, mulai bermunculan juga penulis-penulis novel sejarah. Namun, inovasi-inovasi pendidikan kesejarahan masih sporadis, terbatas di tingkat satuan-satuan pendidikan, dan belum memiliki pondasi yang kokoh di tingkat kebijakan nasional.
Di samping itu, karena problem daya dan minat baca yang epidemik akut, maka buku-buku novel sejarah yang paling menarik sekalipun—apalagi biografi maupun otobiografi tokoh sejarah yang ketebalan cenderung melumpuhkan minat sejak pandangan pertama—tetap berada jauh di dunia lain.
Memang, ada sebagian anak sekolah yang beruntung punya jenis guru pendongeng yang kaya inspirasi. Atau, di rumahnya tersedia berlimpah buku-buku grafis yang menarik tentang tokoh-tokoh sejarah. Namun, selain lebih bersifat nasib yang bukan by design, anak-anak akan segera melupakannya demi target “keselamatan” pendidikan: menjawab soal-soal ujian.
Selain masalah kemasan, problem pendidikan kesejarahan yang menyedihkan adalah bangunan persepsi. Untuk hal apa pun, substansi pelajaran sejarah selalu dalam bingkai politik-kekuasaan. Sejarah selalu hanya menampilkan pergulatan kalah-menang dalam pergumulan peradaban. Seakan-akan sejarah hanya berisi tentang dominasi, ekspansi, penaklukan, kemenangan, dan kekalahan. Maka, bagian yang selalu samar dan bahkan lenyap dari pelajaran sejarah di sekolah adalah pelajaran tentang kemanusiaan, harmoni, dan kerja sama.
Ironis sekali. Sejarah Nusantara sesungguhnya adalah sejarah akulturasi peradaban yang tingkat kemulusannya tak tertandingi di belahan manapun dunia luar sana. Begitu mulus dan kayanya akulturasi peradaban itu, sehingga Nusantara menyediakan banyak bagian menarik untuk diperbincangan anak sekolah. Misalnya, Candi Prambanan itu candi Hindu atau Budha? Mengapa ada kemiripan ragam hias pada batik Bengkulu dan Cirebon? Atau, dari mana Ratu Baja belajar mendesain sistem pertahanan istananya?
Lebih ironis lagi, umat Islam sebagai mayoritas di bumi Nusantara, sesungguhnya adalah pewaris terbesar khazanah akulturasi peradaban. Pertama, sebagaimana dikemukakan Presiden Republik Indonesia ketiga BJ Habibie, hadiah terbesar China bagi Indonesia adalah Islam. Tentu bukan kebetulan geografis semata bahwa Islam “memilih jalur” China menuju Nusantara yang telah berperadaban luhur, hasil perpaduan berabad-abad pengaruh peradaban ras Mongoloid dan Kaukasoid melalui China dan India.
Maka, ketika datang, Islam menjadi unsur pemerkaya suatu bangunan harmoni peradaban Nusantara. Bandingkan itu, misalnya, dengan rangkaian panjang ratusan tahun sejarah Yerusalem. Yang terus berlangsung di sana sampai sekarang adalah sejarah penaklukan, penghancuran, dan pembasmian. Segala bentuk kekejian paling ekstrem manusia terjadi di sana.
Kedua, umat Islam adalah pewaris sejarah kolaborasi saintifik par excellence bagi peradaban umat manusia di dunia. Entah kenapa, yang selalu menonjol diajarkan dan dirindukan sampai terbawa-bawa ke dalam mimpi adalah sejarah “kejayaan”, “keemasan”, “penaklukan”. Persepsi kesejarahan yang dibangun selalu “kebangkitan”, “kemenangan”, dan (kalau bisa) “dominasi”.
Maka, yang terjadi adalah umat yang menderita inferiority complex sepanjang masa, selalu merasa terancam, penuh curiga, egosentris dan tidak pernah bisa bekerja sama. Bagaimana mungkin, dengan mentalistas yang rapuh seperti itu, akan terulang prestasi di masa lalu, ketika umat Islam membukakan laci filsafat Yunani bagi dunia Barat?
Begitulah, di tengah umat Islam yang mayoritas di negeri ini, orang-orang seperti Jenderal Kival Zein selalu punya peluang untuk berhasil.