Malam pertama ketika saya berkunjung ke Washington DC, Amerika Serikat, sebagai peninjau Pemilihan Presiden 2016, saya sempat berbincang dengan penjaga toko seorang muda Afro-American bernama Michael tentang siapakah yang akan ia pilih dalam pilpres mendatang. Dia menjawab, baik Hillary maupun Trump bagi saya sama saja. Mereka tidak peduli nasib kami sebagai kelas pekerja, termasuk saya sebagai orang kulit hitam.
Keluhan Michael adalah keluhan yang dihadapi oleh orang-orang rakyat jelata yang saat ini mengalami kondisi keterhimpitan hidup setelah krisis ekonomi yang berlangsung sejak tahun 2007-2008.
Awalnya adalah mahaguru ilmu politik Amerika Serikat, Robert A Dahl (1961), dalam karyanya Who Governs?, dalam riset lapangannya di wilayah New Haven, Connecticut, AS, yang diawali oleh sebuah pertanyaan, ”Dalam sebuah sistem politik di mana seluruh orang dewasa hampir dipastikan dapat memilih, di tengah pengetahuan, kemakmuran, sumber daya, posisi sosial, dan akses pada kekuasaan tidak terdistribusi secara merata, maka siapakah yang memerintah?
Temuan riset Dahl secara mengejutkan menjawab bahwa meskipun ketimpangan sumber daya terjadi, kuasa politik (political power) lebih tersebar dan tidak mengikuti alur ketimpangan sosial yang ada. Proses politik dan pembentukan kebijakan publik memperlihatkan bahwa pola-pola koalisi politik dan aliansi antar kelompok kepentingan di masyarakat berjalan dinamis dan membentuk keseimbangan politik dalam berbagai isu politik.
Temuan yang kemudia dikenal sebagai pondasi dari teori politik pluralis ini terjadi karena orang-orang dengan sumber daya dan kemakmuran berlimpah tidak mengkonsentrasikan keberlimpahannya pada aktivitas politik.
Thesis Dahl di atas kemudian dimatangkan dalam karya berikutnya yang berjudul Polyarchy (1971) yang menekankan praktik demokrasi dilihat dari responsivitas pemerintah terhadap aspirasi dan kepentingan dari berbagai kelompok masyarakat dari lapisan sosial yang beragam. Dua karya klasik Robert Dahl ini sudah dianggap sebagai kitab separoh suci dalam khasanah tradisi kajian politik di Amerika Serikat.
Lintasan utama kajian ilmu politik yang dipengaruhi oleh mazhab pluralis Dahl di atas kemudian lebih memperhitungkan keterampilan politik dari para aktor politik, kemampuan membangun negosiasi dan konsensus, serta mengabaikan faktor-faktor sosial lainnya seperti dinamika antagonisme kelas, realitas ketimpangan sosial maupun relasi oligarkhi yang menghubungkan antara kepentingan bisnis dan politik dalam menentukan keberpihakan dari proses politik dan pengambilan kebijakan.
Di Indonesia, mazhab pluralis dari Robert Dahl ini juga memiliki pengaruh besar baik dalam kajian ilmu politik di bangku-bangku kuliah universits ternama, ruang publik opini di media massa, maupun ranah kerja kalangan konsultan politik yang sekarang tengah menjamur. Namun, seiring perjalanan waktu thesis pluralis dari Dahl ini banyak mendapatkan gugatan, salah satunya dari kalangan profesor-aktivis kiri seperti William I Robinson (1996) dalam karyanya Promoting Polyarchy: Globalization, US Intervention, and Hegemony.
Robinson menegaskan bahwa pada kenyataannya tatanan politik yang disebut sebagai polyarchy tersebut tidak lebih sebagai sebuah tatanan politik di mana sekelompok kecil elite memerintah atas nama kapital. Dan mayoritas pengambilan kebijakan disusun untuk memilih elite yang telah terseleksi melalui proses pemilihan yang terkontrol dengan ketat. Bentuk dominasi konsensual ini dimungkinkan melalui dominasi struktural dari modal global.
Selain gugatan dari kalangan sarjana Marxist, thesis politik Dahl ini juga mulai dipertanyakan keabsahannya dalam membaca proses politik demokrasi di AS oleh berbagai akademisi seperti ekonom Joseph Stiglitz dan Profesor Ilmu Politik dan Kebijakan Publik Larry M. Bartels. Keresahan awal atas konfigurasi politik di AS, misalnya, ditunjukkan oleh task force American Political Science Association (APSA) tahun 2004 tentang ketimpangan sosial dan demokrasi di Amerika Serikat.
Temuan mereka menegaskan bahwa kalangan ilmuwan politik AS hanya tahu sedikit tentang dinamika pertumbuhan ketimpangan sosial ekonomi dan imbasnya bagi kesenjangan responsivitas sistem politik atas lapisan kekuatan sosial yang berbeda-beda (APSA 2004; Jacobs dan Skockpol 2005; Bartels 2016).
Dalam uraian yang lebih mendalam, Larry M. Bartels (2016) dalam karyanya Unequal Democracy: The Political Economy of The New Gilded Age menjelaskan bahwa statistik sosial yang sangat mencolok terkait dengan wajah ketimpangan sosial yang berlangsung pada tahun 2014, di mana 1 persen dari orang-orang terkaya menguasai 42 persen dari pendapatan nasional, sementara 5 persen dari orang-orang paling makmur telah menguasai 65 persen kekayaan nasional. Itu artinya 95 persen sisanya harus berebut 35 pendapatan nasional.
Kondisi ketimpangan sosial ini semakin dipertajam oleh realitas krisis sosial yang berlangsung sejak 2007-2008 yang membuat banyak warga Amerika Serikat kehilangan pekerjaan.
Kondisi tersebut berjalan seiring dengan kemenangan korporasi untuk menggelontorkan dana mereka dalam arena politik. Persisnya setelah Supreme Court Amerika Serikat pada tahun 2010 memenangkan gugatan tentang tidak diperlukannya pembatasan dana kampanye, menguatnya organisasi-organisasi lobi-lobi korporasi dalam mempengaruh kelompok kepentingan di AS, serta semakin melemahnya daya tawar serikat pekerja sebagai kekuatan penopang suara kelas bawah di sana.
Dalam dinamika politik di Amerika Serikat, kecenderungan tidak responsifnya tatanan politik AS atas kepentingan dan aspirasi kelas menengah ke bawah tersebut diperkuat oleh fakta politik yang berlangsung sejak kepemimpinan Presiden George W Bush. Ketika itu ketimpangan antara kelompok terkaya dan termiskin tidak segera direspons oleh kebijakan yang memaksa kalangan terkaya untuk menanggung beban bersama melalui penetapan pajak progresif.
Alih-alih keadaan tersebut direspons oleh inisiaitif reformasi pajak yang membela kepentingan masyarakat bawah, Pemerintah Republik di bawah George W Bush justru merespons dengan pemotongan pajak bagi kalangan pebisnis dan konglomerasi pada tahun 2001-2003, yang didukung oleh rekayasa persetujuan publik yang dibangun oleh lembaga think-tank dari kekuatan korporasi.
Di sisi lain, ketika kelompok terkaya terhindarkan dari beban sosial ekonomi, nilai ekonomi dari upah minimum kelas pekerja di negara federal berkurang 1/3 apabila dihitung sejak tahun 1960-an sampai 2008. Kondisi ini diperparah oleh melemahnya daya tawar kekuasaan dari institusi serikat pekerja, apabila dibandingkan dengan pengaruh lembaga pembentukan opini, konsultan, dan lembaga riset yang dibiayai oleh kekuatan korporasi.
Seperti diutarakan oleh Bartels, era kepemimpinan Obama yang secara antusias dianggap memberikan harapan baru, terganjal oleh manuver politik dari kubu politisi Republik di tingkat Kongres. Perseteruan antara inisiatif reformasi ekonomi yang diusung oleh Presiden Obama yang dikenal melalui istilah The New ‘New Deal’ (merujuk pada inisiatif ekonomi pro-poor pada masa Presiden FD Roosevelt) dengan kepentingan ideologis Partai Republik dalam Kongres yang mengabdi pada kepentingan korporasi ini memuncak menjadi kondisi gridlock (stagnan).
Kondisi stagnan ini yang membuat kelas menengah ke bawah AS mengalami frustasi sosial, tidak sabar terhadap proses reformasi yang diperjuangkan dan mudah dipengaruhi oleh seruan-seruan kebencian anti-imigrasi, program populis kanan yang diusung oleh kandidat presiden terpilih Donald J Trump.
Proses politik panjang yang berlangsung di AS tersebut merupakan sebuah pelajaran penting dalam kajian ilmu politik tidak saja di seluruh dunia, tapi juga Indonesia. Bahwa sudah saatnya kita mempertimbangkan hal-hal yang selama ini dianggap sebagai hal yang usang—seperti dinamika pertarungan kelas sosial dan social inequality—sebagai bagian penting di dalamnya. Bagi kalangan pengkaji ilmu politik, inilah saatnya bring class back into the table!