Sang pembela Islam, al-Ghazali (w. 1111 M) pernah menulis dalam kitab al-Munqidz min adh-Dhalal (Penyelamat Kesesatan), tentang kebobrokan adab manusia pada masa itu di Baghdad—tempat ia bermukim. Malah ia menyebutnya dengan istilah zaman akhir. Ternyata Allah punya kejutan plot takdir yang terus merentang 1000-an tahun kemudian. Kini, banyak dari kita pun mulai terjangkit virus akal budi serupa itu. Tapi ternyata dunia masih baik-baik saja.
Kondisi moral manusia pada abad ke-21 memang terbilang kompleks. Media sosial yang menghubungkan kita dengan mudah, justru terkadang jadi ladang penyemaian ujaran kebencian, berita palsu, dan menularnya penyakit sosial.
Individualisme dan konsumerisme juga meningkat pesat. Namun di sisi lain, kesadaran akan keadilan sosial dan gerakan peduli lingkungan pun semakin gencar. Harus diakui, moralitas manusia abad ini sarat paradoks, lantaran dipengaruhi pesatnya arus informasi dan kemudahan yang ditawarkan teknologi.
Nyaris setiap hari kita kerapkali dikejutkan dengan fenomena yang menembus batas nalar. Semua berlangsung begitu cepat, sementara kita belum lagi mafhum apa yang sedang terjadi, tak sempat bersiap, tergopoh-gopoh mengejar laju perkembangan zaman yang terus bersicepat dengan waktu. Kita, cenderung kepayahan menghadapi gejolak peradaban. Tak heran bila ada saja segelintir manusia yang dengan sangat yakin mengatakan bahwa kita telah tiba di tubir zaman akhir.
Padahal setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya. Sudah tak terhitung berapa banyak perkiraan mereka yang meleset. Lucunya, mereka lah yang merasa paling mengerti tentang zaman ini. Tak sedikit pula yang digelayuti kebuntuan manakala harus menentukan keputusan terbaik menghadapi zaman rudin begini. Apakah harus ikut ngedan seperti saran Ranggawarsita dalam syair “Zaman Edan”?
“Saiki jamane jaman edan. Yen ora edan ora keduman. Sak bejo bejone wong kang edan. Isih bejo wong kang eling lan waspada (Sekarang zamannya zaman gila. Kalau enggak gila enggak dapat bagian. Seberuntung-beruntungnya orang yang gila itu, masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada).”
Sebelum kita bertambah gila memikirkan kemusykilan zaman ini, mari sejenak kita berguru pada Sapi.
“Dan sungguh, pada hewan ternak itu sungguh benar tersirat pelajaran bagimu. Kami memberimu minuman dari apa yang ada dalam perutnya (berupa) susu murni/labanan kholison antara kotoran & darah, yang mudah ditelan bagi peminumnya.” (QS. Lebah [16]: 66)
Secara harfiah, “Labanan Kholison” dapat diterjemahkan sebagai “susu murni.” Ayat ini mengilustrasikan bagaimana Allah menciptakan sesuatu yang murni dan bersih di antara kotoran dan darah. Dalam konteks yang lebih luas, ayat ini mengandung ajaran tentang kemurnian hati dan niat dalam laku lampah kita. Setiap tindakan kita harus didasari oleh niat yang tulus dan bersih dari segala bentuk riya (pamer).
Makna simbolis dari “Labanan Kholison” pun mengajarkan umat Islam tentang pentingnya menjaga kemurnian iman. Sama seperti susu murni yang menyehatkan dan bergizi, iman yang murni memberi kekuatan dan kedamaian batin. Ketika seseorang beribadah dengan hati yang ikhlas, tanpa berharap pujian atau balasan dari manusia, ibadahnya akan mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan paripurna.
Nampaknya nasihat dari Cokroaminoto ini masih berkaitan dengan dunia kita sekarang, “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.”
Penerapan dalam Kehidupan sehari-hari
Konsep ini bisa melibatkan berbagai aspek, sedari cara beribadah hingga interaksi sosial. Dalam beribadah, seorang Muslim diingatkan untuk selalu memperbarui niat. Sembahyang, puasa, zakat, dan haji, harus dilakukan semata-mata karena Allah, bukan demi mendapat pengakuan dari orang lain.
Dalam kehidupan modern yang sarat godaan untuk pamer di media sosial, menjaga keikhlasan jelas menjadi tantangan tersendiri.
Dalam bekerja, seorang Muslim diajarkan untuk berlaku jujur dan berdedikasi, tanpa mengharapkan pujian atau kenaikan pangkat semata. Kejujuran dan integritas saat bekerja adalah bentuk lain dari ibadah yang murni dan tulus.
Dalam berinteraksi dengan sesama, baik di lingkungan keluarga, teman, maupun masyarakat, seorang Muslim diingatkan untuk selalu bersikap tulus, menghindari pergunjingan, dan menjaga hubungan yang harmonis.
Mengapa konsep kesucian dan keikhlasan sangat penting diterapkam? Di ruang lingkup masyarakat yang semakin materialistik dan individualistik, banyak orang terjebak dalam persaingan tak sehat. Mereka berlomba-lomba mengagulkan diri, mendapatkan pujian, dan mencari pengakuan dari orang lain.
Terkait situasi seperti ini, ajaran “Labanan Kholison” menemukan pertautannya. Mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati bukan berasal dari pengakuan atau harta benda, tetapi dari hati yang bersih dan niat yang tulus. Sebab kekayaan bukan hanya keberlimpahan material belaka, melainkan jiwa yang gemah ripah.
Dalam konteks sosial, prinsip ini juga mengajarkan pentingnya keadilan dan kesejahteraan bersama. Ketika seseorang melakukan sesuatu dengan niat tulus, ia takkan merugikan orang lain demi keuntungan pribadi. Sebaliknya, ia akan berusaha memberikan yang terbaik bagi kepentingan bersama. Hal ini sangat penting guna membangun masyarakat yang adil dan sejahtera.
Konsep Kesucian dalam Tradisi Islam
Kesucian dalam Islam tidak hanya terbatas pada kemurnian niat dalam beribadah, tetapi juga mencakup aspek fisik dan moral. Konsep bersuci secara fisik merupakan bagian penting dari kehidupan seorang Muslim.
Sebelum melaksanakan sembahyang, seorang Muslim diwajibkan berwudhu terlebih dahulu atau mandi besar dalam keadaan tertentu, guna memastikan tubuhnya dalam keadaan bersih.
Selain itu, kesucian moral seperti menjauhi perbuatan dosa, menjaga lisan dari ucapan buruk, dan memelihara hati dari iri dengki, jelas merupakan perwujudan dari prinsip kesucian. Dengan demikian, ajaran “Labanan Kholison” meliputi segala sendi kehidupan, menekankan pentingnya kebersihan lahir-batin dalam menjalankan ajaran agama.
Penerapan prinsip “Labanan Kholison” dalam lingkungan keluarga juga tak bisa dianggap remeh. Sebagai unit terkecil masyarakat, keluarga adalah tempat pertama di mana nilai-nilai moral dan spiritual diajarkan dan dipraktikkan anak-anak manusia.
Orangtua berperan penting untuk menanamkan nilai-nilai kesucian dan keikhlasan kepada anak-anak mereka. Melalui teladan yang baik, seperti beribadah dengan ikhlas, berkata jujur, dan berbuat baik tanpa pamrih, orangtua dapat menanamkan nilai-nilai tersebut dalam diri anak-anaknya.
Ketika anak-anak tumbuh di lingkungan yang murni dan penuh kasih sayang, mereka akan membawa nilai-nilai tersebut ke dalam kehidupannya di masa depan, untuk menciptakan generasi yang lebih baik dan bermoral.
Dalam dunia pendidikan, prinsip “Labanan Kholison” juga dapat diterapkan ke berbagai aspek. Para guru diharapkan dapat mengajar dengan niat tulus, mengutamakan kemajuan dan kesejahteraan murid-muridnya tanpa memikirkan keuntungan pribadi.
Mereka harus menginspirasi siswa untuk belajar dengan sungguh-sungguh dan mencapai potensi terbaik. Selain itu, siswa juga diharapkan untuk menuntut ilmu dengan niat yang ikhlas, bukan semata-mata ingin mendapatkan nilai tinggi atau pujian dari guru dan teman-temannya. Dengan menanamkan nilai-nilai kesucian dan keikhlasan dalam proses belajar-mengajar, dunia pendidikan akan menghasilkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki integritas dan karakter yang kuat.
Pembentukan komunitas yang mendukung nilai-nilai kesucian dan keikhlasan juga perlu digalakkan. Dalam komunitas yang baik, para anggota bisa saling mengingatkan dan mendukung dalam menjaga niat yang murni.
Misal, melalui kegiatan keagamaan seperti pengajian, diskusi kelompok, atau bakti sosial, komunitas dapat membantu anggotanya untuk terus memperbarui dan menguatkan niat mereka.
Selain itu, komunitas yang kuat juga dapat berperan dalam menyebarkan nilai-nilai kesucian kepada masyarakat luas, menciptakan lingkungan yang lebih baik dan bermoral. Dengan berkolaborasi dalam komunitas yang solid, nilai-nilai “Labanan Kholison” dapat dipertahankan dan ditransmisikan dari generasi ke generasi, memastikan bahwa kemurnian dan keikhlasan tetap menjadi prinsip utama dalam kehidupan umat Islam.
Sebenarnya selain hiruk-pikuk dunia kita yang kian sukar dinalar, masih ada yang lebih musykil lagi, namun kita bisa memahaminya dengan cara paling pribadi—tanpa campur tangan siapa pun, yaitu ada milyaran pemahaman yang terbit dari alam pikiran manusia, dan itu membuktikan betapa luarbiasa halusnya gerak-gerik Tuhan di dalam diri setiap makhluk.
Jadi, hiduplah dalam kesejatian diri. Nikmati segala yang tlah Dia berikan-hanya untukmu semata. Zaman boleh halai-balai, tapi kita harus tetap berjuang menempa diri untuk menikmati kelezatan kehidupan yang dianugerahkan Tuhan.
Tak perlu risau menghadapi gempuran zaman yang semakin sulit dimengerti. Selama kita tetap setia di jalan kebaikan yang sudah ditempuh selama ini, dan menjadikan agama selaku proses berpikir, maka yakinlah kita akan tetap baik-baik saja.
Sebagai puncak kreasi Tuhan di jagat penciptaan, tugas kita lah untuk mewarnai panggung raya kehidupan ini sesuai dengan peran yang telah ditentukan-Nya untuk kita jalani sebaik mungkin. Taburlah selalu benih kebaikan, kelak kita kan melihatnya jadi pohon kebijaksanaan.