Rabu, Oktober 9, 2024

Jokowi

Surya Tjandra
Surya Tjandra
Wamen ATR/BPN

Dua tahun lalu (21 Juni 2018) saya menulis ini di FB sebagai catatan untuk seorang pribadi istimewa yang berulang tahun pada hari itu. Saya beri judul singkat “57”, sesuai dengan usianya pada saat itu.

Sekarang dua tahun sudah berlalu, banyak hal sudah terjadi. Tantangan sudah berubah, dan respon terhadapnya pun harus berubah. Siapa nyana pula sejak akhir Oktober 2019 saya bisa bekerja lebih dekat membantu beliau, sebagai Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Tetapi ada yang rasanya tetap, khususnya isi maupun semangat si Bapak di dalam tulisan ini bagi saya masih tetap aktual.

Tentu tak semua orang akan menerima atau memahami pilihan kebijakan yang diambilnya, tetapi saya merasa pilihan-pilihan itu, sesulit apa pun, diambilnya dengan hatinya yang sepenuhnya untuk rakyat negeri ini. Dan untuk cita-citanya yang kuat untuk pemerintah yang lebih melayani. Sebagaimana tampak dari kisah kecil saya dengan beliau.

Itu pula yang terus menginspirasi untuk setiap langkah yang saya laksanakan di bawah kepemimpinan beliau.

Untuk menyegarkan lagi, sekaligus untuk membantu saya sendiri mengingat alasan awal saya bergabung di dalam karya politik ini, saya muat lagi tulisan ini, dengan ucapan: sebuah kehormatan boleh ikut membantu Bapak membuat warisan terbaik bagi negeri ini.

Kun fayakun!

Tidak terasa sudah hampir delapan tahun saya kenal bapak ini, pertama kali ketemu hampir delapan tahun lalu di rumah dinasnya di Solo. Hampir tengah malam, hanya dengan pakai kaos oblong dan kain sarung, tahun 2012.

Ini penutup dari perjalanan tiga hari saya keliling-keliling Solo, ketemu banyak dan macam-macam orang di sana, sekadar ingin tahu orang yang bisa jadi Gubernur saya waktu itu [yang semua yang saya temui mengatakan hal baik tentangnya!].

Kesan saya orangnya memang sederhana, apa adanya, dan rileks. Bicaranya santun dan ramah, tidak tampak ingin menunjukkan wibawa sebagai pejabat. Orang yang tampaknya sudah selesai dengan dirinya.

Waktu saya tanya gimana kesannya sebagai wali kota dua periode dan, waktu itu, sebagai calon gubernur DKI. Beliau bercerita pengalaman pertamanya tinggal di Loji Gandrung, rumah dinasnya.

“Begitu saya terpilih sebagai walikota pertama kali, banyak sekali orang yang datang ke rumah ini,” ujarnya memulai penjelasan.

“Siapa pak?” tanya saya tertarik.

“Kebanyakan kepala-kepala dinas.”

“Mereka ngapain, pak?”

“Macam-macam, kebanyakan menanyakan kepada saya: ‘Bapak butuh apa?’ ‘Kendaraan dinas bapak mau yang seperti apa’, ‘Apa yang bisa kami lakukan untuk bapak’, …”

“Ohh… lalu apa yang bapak lakukan?”

“Saya biarkan saja selama dua minggu.”

“Lalu?”

“Lalu saya kumpulkan mereka semua di Balai Kota. Saya sampaikan bahwa yang jadi Wali Kota adalah saya bukan Anda. Saya yang mengatur Anda, bukan Anda yang mengatur saya.”

“Ohh…” [saya tersenyum]

“Itu godaan pertama setiap pejabat, staf terdekatnya sendiri yang ingin mengatur-atur.” [wajahnya sedikit mengeras]

Pertemuan pertama yang mengesankan. Setelah itu kami hanya sempat bertemu secara tidak khusus: waktu melihatnya belusukan dengan baju kotak-kotak di daerah Glodok; waktu melihatnya menyampaikan pidato penutupan kampanye sebagai calon Gubernur DKI di Jakarta.

Waktu di TV melihatnya menyampaikan pidato kemenangan sebagai Presiden RI yang ke-7. Dan waktu melihatnya, sebagai Presiden, di TV menyebut nama saya sebagai satu dari delapan capim KPK yang lolos seleksi Pansel Sembilan Srikandi.

Kebanyakan saya hanya mengamatinya dari kejauhan, dan hanya dengan mata batin memperhatikan dirinya, tantangan-tantangan yang dihadapinya, tanggapan dan responnya menghadapi situasi-situasi bangsa, yang sering tidak mudah.

Sejauh ini saya merasa masih bisa terus memahaminya, dan cenderung memahami pilihan-pilihan yang diambilnya. Meski kadang tidak populer kesannya, saya percaya dia memilih yang terbaik yang bisa diambilnya.

Bukan sekadar untuk dirinya tetapi untuk kebaikan yang lebih besar. Meski tentu tidak semua orang akan mengerti atau menerima ini. Tetapi bukankah kepercayaan adalah pilihan? Saya memilih untuk terus percaya padanya karena tidak percaya yang lain akan bisa sebebas dia ketika memimpin.

Apakah ini favoritisme atau karena saya diuntungkan karenanya?

Rasanya tidak. Saya hanya merasa bapak ini masih seperti pertama kali saya temui delapan tahun lalu di Loji Gandrung: hampir tengah malam, di rumah dinasnya, hanya dengan pakai kaos oblong dan kain sarung.

Selamat ulang tahun ke-59 pak #Jokowi – tambah umur, tambah rejeki, tambah hepi. Berkah dalem!

Keterangan foto:

Dua kali saya merasa pak Jokowi sbg ‘dirinya sendiri’ dan krn itu ‘asik’ melihatnya. Pertama, waktu pidato penutupan kampanye pilgub, dan kedua, waktu di Loji Gandrung (rumah dinas Walikota Solo) ini. Inilah kali pertama saya bisa bertemu beliau secara langsung, 2012.

Surya Tjandra
Surya Tjandra
Wamen ATR/BPN
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.