Kamis, April 25, 2024

Jokowi dan Korupsi Irman Gusman

Hariman Satria
Hariman Satria
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
irman2gusman
Ketua DPD Irman Gusman (kiri) keluar dari gedung KPK dengan mengenakan rompi tahanan KPK seusai diperiksa penyidik terkait kasus dugaan suap kuota impor gula, Jakarta, Sabtu (17/9). ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma

Jumat sore (16 September), penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan operasi tangkap tangan di rumah dinas Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI Irman Gusman (IG). Dalam konferensi persnya terkait penetapan tersangka pada IG, pimpinan KPK mengatakan, OTT dilakukan sebagai pengembangan penyidikan terhadap impor gula tanpa SNI yang dalam perkembangannya penyidik menemukan keterlibatan IG melalui “surat sakti” sang ketua DPD kepada Badan Urusan Logistik.

Selain IG, masih ada seorang jaksa di Padang dan dua orang pihak swasta yang ikut diamankan oleh penyidik KPK. Sebagai barang bukti, KPK menyita uang senilai Rp 100 juta dalam kamar IG.

Tersebarnya informasi penangkapan kepada IG ibarat petir di siang bolong. Banyak orang yang bertanya-tanya ihwal kebenaran informasi tersebut. Bahkan tak sedikit orang yang kurang percaya. Bagaimana tidak? Dalam berbagai kesempatan, IG mendukung pemberantasan korupsi (termasuk pada festival anti-korupsi di Bandung), mendukung penguatan kewenangan KPK, dan aktif mensosialisasikan pilar-pilar demokrasi dan kenegaraan sebagai penyokong pemberantasan korupsi.

Bahkan sehari sebelum ditangkap, ia bersuara lantang meminta koruptor dihukum mati. Kini, dia terancam dibui karena korupsi.

Kerawanan Jabatan
Sejujurnya, IG bukanlah satu-satunya pejabat di negeri ini yang terjaring OTT KPK. Sebelumnya sudah ada Anas Urbaningrum, Nazarudin, Angelina Sondak (mantan anggota DPR RI), dan Andi Malarangeng (mantan Menteri Pemuda dan Olahraga) yang di bawa ke hotel prodeo karena korupsi.

Di kalangan penegak hukum, muncul nama-nama seperti Irjen Joko Susilo (mantan Kaorlantas Polri), Urip Trigunawan (jaksa kasus BLBI), Akil Mohtar (mantan Ketua MK). Selain nama-nama tersebut, ada beberapa kepala daerah yang ditangkap karena korupsi, di antaranya mantan Gubernur Banten Ratu Atut Choisiah dan mantan Wali Kota Makassar Ilham Arif Sirajudin serta masih ada lagi yang lain.

Tuduhan KPK kepada para mantan pejabat tersebut seirama: penyalahgunaan wewenang. Artinya, dalam kapasitas jabatan, mereka bertindak untuk memenuhi syahwat pribadi, keluarga, dan kelompoknya “merampok” uang negara dengan modus memanfaatkan jabatan yang melekat kepadanya.

Dalam kasus IG, bayangan predator ekonomi dalam kuota impor gula melalui “surat sakti” kepada Bulog sangat jelas sosoknya. Ia bisa dengan mudah dan meyakini bahwa surat itu mampu mempengaruhi kebijakan di Bulog. Lebih ekstrim lagi, kita dapat mencium aroma intervensi kepada eksekutif yang sangat kental terasa. Tentu saja intervensi tersebut menggunakan sarana kekuasaan atau jabatan.

Tegasnya, ada kolaborasi yang begitu rapi dalam upaya memuluskan korupsi. Di satu sisi, IG yang notabene Ketua DPD RI dengan segala kapasitasnya mampu menekan Bulog melalui surat saktinya. Di sisi lain, ada pengusaha (pihak swasta) yang menyiapkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit sebagai pelicin (baca: uang sogok) untuk memuluskan berjalannya paket intervensi kekuasaan tersebut.

Adresatnya adalah ada simbiosis mutualisme antara IG dan pihak swasta. IG memperoleh keuntungan finansial, pihak swasta pun demikian. Bagaimana dengan Bulog?

Tak bisa dinafikan bahwa sifat dan karakter tindak pidana korupsi dilakukan dengan modus operandi yang sulit, sistematis serta terorganisir. Dalam kasus IG, ia bukanlah sosok tunggal—dapat saja berkolaborasi dengan orang dalam Bulog. Artinya, KPK tidak boleh hanya fokus pada IG. Pejabat di Bulog yang kewenangannya berkelindan dengan impor gula mesti ikut diperiksa.

Dengan demikian, KPK dapat dengan mudah mengurai keterlibatan pihak-pihak yang telah memuluskan terjadinya korupsi impor gula. Dalam kasus IG ini pula kita dapat mengatakan bahwa kekuasaan memang dekat dengan korupsi. Pemangku kekuasan-pejabat masih belum bisa menjauhkan dirinya dari perilaku korupsi. Jabatan dijadikan sebagai fasilitas untuk merampok uang negara.

Jadi, masih ada kerawanan moral (moral hazard). Ini sejalan dengan postulat Lord Acton: power tends to corrupt and absolut power to corrupt absolutely (kekuasan cenderung korupsi dan kekuasaan yang absolut, korupsinya juga absolut).

Menanti Langkah Konkrit Jokowi
Setelah penangkapan dan penetapan tersangka IG, Presiden Joko Widodo semacam memberikan instruksi kepada seluruh pejabat Indonesia agar berhenti melakukan korupsi. Arahan ini untuk sementara dapat dikatakan sebagai respons dan keprihatinan Presiden atas tindak pidana korupsi yang melibatkan pejabat negara, seperti IG.

Jika disederhanakan, dalam bahasa lain Jokowi akan mengatakan: jangan ada toleransi lagi pada korupsi. Namun demikian, dalam bayangan saya, tidak cukup bagi Presiden hanya dengan arahannya—teramat dibutuhkan langkah-langkah konkrit pemerintah dalam menumpas dan memberangus korupsi.

Presiden Jokowi dapat belajar pada langkah konkrit mantan Presiden B.J. Habibie, yang pada tahun 1999 mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN. Peraturan ini sedikit banyak dipengaruhi oleh mengguritanya praktik korupsi di masa Orde Baru.

Salah satu langkah yang dapat ditempuh oleh pemerintah adalah menyelamatkan Undang-Undang KPK. Sebab, pada revisi UU KPK saat ini, ada semacam upaya mengamputasi kewenangan KPK, khusus di bidang penyadapan. Kasus IG semakin menyadarkan dan membuka mata kita bahwa penyadapan adalah senjatan ampuh untuk mengungkap kejahatan korupsi yang hina dan haram itu. Intinya, Presiden harus memerintahkan Menteri Hukum dan HAM agar menarik pembahasan revisi UU KPK dan menghentikannya.

Dalam kondisi seperti sekarang ini keberadaan KPK akan sangat menolong dan menyelamatkan bangsa ini dari ancaman kebangkrutan dan keterpurukan karena korupsi. Selain itu, Presiden Jokowi perlu mengkonkritkan lagi pogram pencegahan korupsi, terutama di lembaga-lembaga negara. Dengan demikian, ke depan kita tidak hanya disibukkan dengan mengurus rakusnya moral oknum pejabat mengorupsi harta negara, tetapi sudah mengarah pada upaya-upaya produktif membangun negeri ini.

Sebagai catatan penutup, saya harus mengatakan bahwa memberantas korupsi bukan hanya domain dan tanggung jawab KPK semata tetapi dibutuhkan pula keterlibatan pelbagai kalangan. Sebagai kawah candra di muka, kampus harus mengambil peran optimal melalui pendidikan anti-korupsi—pendidikan yang memanusiakan manusia. Pendidikan yang mampu mengenali bahwa korupsi adalah musuh agama, kemanusiaan, dan peradaban mana pun.

Demikian pula dalam konteks penyelenggara negara, mereka harus menyadari bahwa korupsi adalah jalan sistematis yang akan membunuh karakter kita sebagai bangsa. Hal-hal yang telah saya uraikan ini hanya akan menjadi kenyataan jika Presiden Jokowi mengambil langkah-langkah konkrit untuk mencegah dan memberantas korupsi.

Hariman Satria
Hariman Satria
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.