Rabu, Oktober 9, 2024

Jokowi, Ahok, dan Media Baru

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.

gokahokSeorang relawan menunjukkan aplikasi GoAhokPSI saat peluncurannya di Jakarta, Kamis (31/3). ANTARA FOTO/Rosa Panggabean.

Twitwar antar politisi, transaksi jasa transportasi online, dan menjual barang/jasa melalui media sosial (Twitter, Facebook, dan lainnya) merupakan manifestasi dari gejolak media baru (new media). Menurut Wikipedia, media baru merupakan sebuah terminologi untuk menjelaskan konvergensi antara teknologi komunikasi digital yang terkomputerisasi serta terhubung ke dalam jaringan. Sebagai regulator telekomunikasi dan informatika, pemerintah berkepentingan memanfaatkan media baru sebagai instrumen untuk memperkuat stabilitas nasional.

Keberhasilan Jokowi menjadi Presiden RI dan perjalanan politik Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) untuk didukung kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta banyak dibantu oleh media baru. Kita sudah melihat sendiri bagaimana mesin propaganda relawan Jokowi bekerja di media sosial, bahkan sampai detik ini. Hal ini juga ditiru dan dimanfaatkan oleh Ahok dengan membina dan mendukung relawannya, yaitu Teman Ahok.

Transportasi online adalah bagian dari media baru, karena memanfaatkan Web 2.0 sebagai wahana bagi klien dan produsen untuk berinteraksi secara digital. Terlepas mengikuti Rhenald Kasali dengan sharing economy (ekonomi berbagi), atau Jalal dengan access economy (ekonomi akses), fenomena ini akhirnya dimanfaatkan pemerintah sebagai bagian dari pencitraan mereka.

Sewaktu Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengumumkan pelarangan ojek online, dalam sekejap Presiden Jokowi memperbolehkan lagi. Sejumlah analis melihat hal ini sebagai bagian dari pencitraan Presiden, sebab Presiden Jokowi langsung dipersepsikan sebagai pimpinan yang tanggap terhadap perkembangan teknologi dan kebutuhan publik.

Sewaktu Ahok mengumumkan kerjasama antara TransJakarta (busway) dengan Gojek, Ahok juga dipersepsikan demikian. Pemerintah sadar bahwa melawan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi adalah sia-sia, karena hal tersebut hanya menyebabkan delegitimasi terhadap kebijakan mereka sendiri.

Revolusi Arab Spring tahun 2011 sudah membuktikan hal tersebut. Upaya pemerintah Mesir di bawah Husni Mubarak untuk menutup jaringan internet, supaya kritik dan agitasi demonstran via media sosial terhadap pemerintah dibungkam, ternyata sia-sia belaka. Justru Twitter membuka layanan Twit lewat pesan pendek (SMS) yang dimanfaatkan demonstran dengan sangat baik. Alhasil, rezim Mubarak tersingkir. Jatuhnya rezim Mubarak adalah contoh bahwa melawan media baru adalah ide yang sangat buruk.

Alhasil, walaupun media baru sudah menyediakan toolbox maupun development tools yang relatif tidak sukar tutorialnya untuk dikembangkan oleh start-up maupun korporasi, tidak semua perusahaan menyambut positif hal tersebut. Membayar ahli komunikasi dan teknologi informasi (IT) untuk mengoptimalkan Twitter Application Programming Interface (API) untuk kepentingan korporasi merupakan hal yang dapat dilakukan dalam rangka marketing produk. Tetapi aplikasi mindset dari media baru tidak hanya berhenti di situ.

Pemangku kebijakan tertinggi dari korporasi, dalam hal ini direktur dan komisaris, harus juga sadar bahwa IT merupakan “nafas” dan “air” dari korporasi tersebut. Dengan demikian, IT tidak hanya menjadi sekadar instrumen, tapi merupakan kultur juga. Di titik ini, menjadi sesuatu yang lumrah jika penolakan terhadap transportasi online terjadi karena tidak optimalnya kultur IT tersebut. Tak heran jika bisnis konvensional dapat cenderung resisten dengan media baru.

Demonstrasi pengemudi taksi konvensional pada 22 Maret 2016 yang menuntut penutupan transportasi online juga terkesan ditanggapi diplomatis oleh pemerintah. Melalui rilisnya, pemerintah menegaskan akan melakukan penertiban dan pengaturan transportasi online, bukan penutupan. Bahkan rilis pertama Gubernur Ahok saat demo berlangsung menyatakan akan menertibkan taksi yang vandalis, bukan transportasi online. Ahok justru menegaskan, pemerintah akan membuat peraturan yang jelas untuk transportasi online, bukan menghapusnya.

Pemerintah menolak penutupan transportasi online. Sebab, sebagai bagian dari media baru, optimalisasi hal tersebut sangat efektif untuk strategi pencitraan mereka. Transportasi online tidak hanya merupakan platform transaksi bagi jasa transportasi, tapi juga bagian dari strategi media baru pemerintah.

Tidak hanya itu, pemerintah juga melihat bahwa legalisasi transportasi online merupakan instrumen untuk menggenjot target penerimaan pajak. Penutupan transportasi online hanya membuat potensi penerimaan pajak hangus. Hal ini sebenarnya sangat sejalan dengan program pembangunan infrastruktur Jokowi-Jusuf Kalla. Akhirnya, walaupun terkesan reaksioner dan sangat situasional, isu transportasi online dimanfaatkan pemerintah juga untuk pemenuhan program-program mereka.

Media baru merupakan instrumen kebijakan publik untuk mensosialisasikan kebijakan pemerintah. Jika pemerintah tidak menunjukkan kinerja yang baik, sebaik apa pun mereka memanfaatkan media baru, hal itu akan sia-sia. Publik selalu dapat mengkritisi pemerintah melalui media sosial. Pengukuran kinerja tersebut dapat dilihat dari realisasi janji kampanye Jokowi-JK itu sendiri.

Kepemimpinan Ahok di DKI Jakarta, sebagai perwakilan dari pemerintahan Jokowi-JK, juga dapat dilihat dari kacamata tersebut. Publik sudah sangat merindukan keberadaan transportasi massal yang durable di Jakarta, yaitu dengan pembangunan mass rapid transit (MRT). Busway dan kereta komuter ternyata belum sepenuhnya dapat memuaskan warga Jakarta.

Publik bisa melihat sendiri bahwa pembangunan MRT masih terus berjalan. Berhasil atau tidaknya pembangunan MRT ini tentu terutama tidak ditentukan oleh pemanfaatan media baru, tapi dari konsistensi dan persistensi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama mitranya dalam melaksanakan program-program yang sudah disepakati dari awal, tanpa melupakan proses auditnya.

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.