Jumat, April 26, 2024

John Dryden: Bapak Kritik Sastra Inggris

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

John Dryden dikenal sebagai bapak kritik sastra Inggris. Ia adalah kritikus pertama yang memperkenalkan dan menentukan manfaat komposisi berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Meskipun kritik Dryden bersifat luas, ia lebih menaruh perhatian nyaris pada semua ragam karya sastra sembari mengungkapkan pandangannya tentang karya yang dibacanya. Kecuali An Essay of Dramatic Poesy, Dryden tidak menulis risalah formal tentang kritik. Pandangan-pandangan kritisnya sebagian besar ditemukan di banyak pengantar terhadap karya puitisnya atau terhadap karya orang lain.

Lewat Dryden, era baru kritik dimulai. Sebelum Dryden, tulisan-tulisan seputar seni kritis tidak banyak ditemukan. Beberapa ditulis oleh Ben Jonson dan Philip Sidney. Tetapi mereka tidak secara intens melakukan pengamatan, tidak menghasilkan karya kritis secara konsisten dan membangun teori kritis apa pun. Melalui karya utamanya ini, An Essay of Dramatic Poesy, Dryden mengukuhkan dirinya sebagai kritikus sejarah pertama, kritikus komparatif pertama, kritikus deskriptif pertama, dan kritikus sastra Inggris yang independen.

An Essay of Dramatic Poesy berisi dialog antara empat orang yang mewakili empat tokoh sastra atau zaman sastra yang berbeda, yakni 1. Crites mewakili para pelakon (dramawan) kuno, 2. Lisideius berbicara tentang sastra dan bahasa Perancis. 3. Eugenius berbicara untuk sastra Inggris dari zaman terakhir. 4. Neander berbicara tentang Inggris dan kebebasan.

Dengan karya ini, Dryden mengembangkan bentuk kritik historis, komparatif, deskriptif, dan akhirnya memberikan pandangan independennya sendiri melalui jawaban dari Neander. Ia menghormati prinsip-prinsip Yunani dan Romawi kuno tetapi menolak untuk mematuhinya dengan rendah hati, terutama dalam hal komedi-ragedi dan ketaatan terhadap tiga Persatuan Drama (Dramatic Unities). Dengan demikian Dryden memulai era kritik yang luar biasa dan menunjukkan jalan kepada bangsanya bagaimana menjadi hebat sebagai penulis kreatif, evaluator kritis dan apa yang membuat sastra hebat. Tak berlebihan ia sebagai bapak kritik sastra Inggris.

Menurut Dryden, seorang kritikus harus memahami bahwa seorang sastrawan menulis untuk zamannya sendiri dan masyarakat dimana ia dilahirkan dan bertumbuh. Ia menganjurkan penelitian mendalam terhadap pola-pola lama. Namun ini bukan untuk ditiru secara membabi buta sebagaimana kalangan neo-klasik tetapi untuk merebut kembali daya pikat yang dimiliki cara-cara tersebut sebagai obor untuk menerangi jalan kita sendiri. Yang diutamakan adalah semangat bukan aturan. Namun aturan-aturan ini bukan tanpa nilai karena tanpa aturan, tidak ada seni. Selain penemuan—disposisi suatu karya—ada dua bagian lain, yakni desain dan ekspresi. Dryden menyebut bahwa Aristoteles telah melahirkan karya hebat tetapi pada kapasitasnya untuk menciptakan kesenangan dan perubahan. Kritik bukan untuk mendeteksi kesalahan sekecil apapun tetapi untuk menemukan keindahan besar yang membuat suatu karya abadi.

Kritik Dryden sejatinya merupakan pernyataan ulang dari pikiran-pikiran Aristoteles dan pembelaan terhadap gagasan neoklasikisme Prancis. Ia juga menyoroti penyimpangan keduanya di bawah pengaruh Longinus dan Saint Evremond. Dari Aristoteles ia belajar menghormati aturan. Neo-klasisisme Prancis mengajarkannya untuk lebih memilih epos daripada tragedi dengan menekankan aspek moral. Kepada Longinus dan Saint Evremond, Dryden belajar bagaimana pentingnya menghargai pemikiran sendiri.

Dryden adalah seorang sastrawan serba bisa. Ia adalah pelakon baik tragedi maupun komedi. Ia juga seorang penulis prosa yang kuat dan fasih, bahkan juga dijuluki bapak prosa Inggris modern. Ia dikenal sebagai seorang penyair besar, salah seorang penyair satir Inggris terbaik sejauh ini. Ia adalah seorang penerjemah sajak. Di atas semua itu ia adalah kritikus sastra yang hebat. Kritik sastranya menghasilkan volume yang cukup besar. Hanya saja, karya-karya tulis Dryden sebagian besar bersifat informal, sesekali, mengangkat diri sendiri. F. R. Leavis menyebutnya sebagai sastrawan ‘usang’ (dated) . Dryden hanya menulis satu karya kritis formal— An Essay of Dramatic Poesy. Sisanya  mengenai kehidupan tiga tokoh klasik, Plutarch, Polybius, dan Lucian. Ada lebih kurang dua puluh lima pengantar kritis terhadap karya-karyanya sendiri dan beberapa komentar terhadap karya-karya sezamannya.

Pengantar terhadap karya-karyanay tersebut bersifat apologetik. Jumlahnya relatif banyak, layaknya deretan menu makanan di sebuah restoran. Dalam pelbagai pengantar ini, Dryden membahas sejumlah pertanyaan penting seputar sastra pada zamannya. Ia merespon isu-isu proses penciptaan karya sastra, kebolehan atau larangan penampilan lakon tragedi-komedi, kontroversi tiga kesatuan Daniel-Campion menyangkut sajak versus sajak kosong, sifat dan fungsi komedi-tragedi, puisi secara umum, fungsi dan satire yang baik, dan banyak lainnya. Tidak ada kritikus sastra Inggris sebelum Dryden dengan kritik sastra yang mencakup banyak hal.

Sebagai kritikus sastra, Dryden tentu saja dipengaruhi oleh kritikus Yunani dan Romawi kuno,  seperti Aristoteles, Longinus, dan Horace dan kritikus Italia dan Prancis kontemporer,  semisal Rapin dan Boileau. Tetapi pengaruh ini tidak melampaui batas. Ia menerima pengaruh ini di semua bidang sastra. Dryden tidak bersikap isolasionis dari semangat zamannya. Namun pilihan sikap dan pahamnya yang membela liberalisme, skeptisisme, dinamisme, dan probabilismenya yang amat mendasar — belum lagi kewarasan dan akal sehatnya yang mengagumkan — membantunya menentang beberapa dogma dan konvensi yang ‘diimpor’ dari luar negeri. Kalangan neo-klasik Prancis di zamannya menyandarkan diri pada pendapat-pendapat Aristoteles dengan penuh keuletan. Sungguhpun menaruh hormat kepada Aristoteles, Dryden menolak untuk bersikap fanatik kepadanya.

Ia meruntuhkan, misalnya, trinitas hebat dari apa yang disebut “tiga kesatuan,” prasangka terhadap komedi tragedi, dan penegakan yang keras terhadap prinsip kesopanan. Ia bukan seorang neo-Aristotelian yang terkurung seperti rekan sezamannya, Rhymer, yang mengecam Shakespeare karena penolakannya untuk menghamba kepada prinsip-prinsip Aristoteles.

Dryden tampaknya memiliki kepercayaan, seperti Longinus dan kaum Romantik, kepada inspirasi dan kekuatan kreatif bawaan sang penyair. Ia menyukai kemewahan Shakespeare yang romantis dan mengkritik drama Romawi kuno dan Prancis kontemporer yang dengan ketat mengikuti semua “aturan”. Tentu saja, ia lebih menyukai “keteraturan” dan rasa hormat pada ‘aturan’ komposisi. Tetapi berbeda dengan Rhymer, ia menolak untuk menyembah aturan-aturan ini dan menganggapnya hanya sebagai pengganti inspirasi dan kebolehan untuk berekspresi. Tali kekang memang diperlukan, tapi itu semua sia-sia tanpa ada kuda terlebih dahulu.

Skeptisisme intelektual Dryden, sebagaimana yang ditekankan oleh Louis I. Bredvold dalam The Intellectual Milieu of John Dryden, berperan besar mengukuhkan pandangannya yang liberal dan tidak ortodoks. Perannya sebagai kritikus sastra adalah kekuatan dan kelemahannya. Ketika mendiskusikan suatu masalah, ia sering berdebat dengan melihat dari dua sisi yang berbeda dan membiarkan kesimpulannya menggantung.

Dalam esai Of Dramatic Poesie, ia membandingkan drama klasik dan modern, dramawan Elizabeth di negaranya dan dramawan Prancis di eranya, dan sajak dan syair kosong. Namun masalah ini dibahas oleh empat lawan bicara, dan Dryden (meskipun sangat mudah dikenali lewat sosok Neander), bukanlah tipe orang dengan komitmen yang kuat. Sebagai kritikus sastra ia cukup fleksibel untuk membuka sebuah masalah. Watson menulis, “Seluruh karier Dryden sebagai seorang kritikus diserap oleh apa yang dengan bijaksana kita sebut rasa kesempatan (sense of occasion): Pyrrhonisme, atau skeptisisme filosofis, membebaskannya dari tirani kebenaran.

Salah satu karya kritis Dryden yang dinilai paling berharga adalah kritik deskriptif. George Watson dalam The Critics Literary membagi kritik sastra menjadi tiga kategori besar. Pertama, kritik legislatif (legislative criticism), termasuk buku-buku retorika. Kritik ini mengajarkan penyair bagaimana menulis, atau menulis lebih baik. Jadi ini ditujukan untuk penulis dan bukan pembaca puisi. Kritik seperti itu berkembang sebelum munculnya Dryden yang membuka jalan baru.

Kedua, kritik teoritis (theoretical criticism) atau estetika sastra. Model kritik ini menjadi kekuatan yang nyaris tenggelam. Hari ini ia muncul kembali dalam wujud berbagai teori sastra. Ketiga, kritik deskriptif (descriptive criticism) atau analisis karya sastra yang ada. “Kritik model ini”, kata Watson, “adalah yang termuda dari tiga model kritik sastra yang ada. Kritik deskriptif paling banyak digunakan dilihat dari segi kuantitas karena dianggap memiliki semangat yang independen.”

Terlepas dari legitimasi Dryden sebagai bapak kritik sastra Inggris atau tidak, pernyataan Watson bahwa Dryden merupakan pendiri kritik deskriptif dalam bahasa Inggris sangat tidak berlebihan. Semua kritikus sastra Inggris di sebelumnya — seperti Gascoigne, Puttenham, Sidney, dan Ben Jonson — adalah kritikus dari jenis legislatif atau teoretis. Tidak ada dari mereka yang menaruh minat dan kepedulian peduli terhadap interpretasi dan apresiasi terhadap karya-karya sastra yang ada.

Tentu saja, kadang-kadang, para pendahulu Dryden mengatakan hal-hal baik atau buruk tentang penulis tertentu atau komposisi sastra tertentu, Sebagai contoh, Sidney memuji Shakespeare dan mengomentari orang-orang sezamannya. Namun, komentar  tersebut tidak didasarkan pada prinsip penghargaan yang dirumuskan dengan cermat. “Audiens”, kata Dr Johnson, “dihargai oleh naluri, dan para penyair amat menyukai dengan apa yang disebut sebagai kebetulan.” Dryden menerapkan apa yang diajarkannya. Ia adalah kritikus pertama di Inggris yang mencoba kritik deskriptif secara luas. Karena itu, ia membangun tradisi baru dan memberikan sinyalemen pentingnya kritik sastra.

Secara umum, kritik sastra Inggris sebelum Dryden terkesan tambal sulam, tidak terorganisir, sepintas, asal-asalan, susah dicerna, dan sangat tergantung kepada gagasan-gagasan Yunani dan Romawi kuno, atau yang lebih baru pada pikiran-pikiran dari Italia dan Prancis. Ia tidak memiliki identitas atau bahkan kehidupan dari Inggris sendiri.

Selain itu, sebagian besar dari kritik sastra yang ada adalah kritik terhadap legislatif dan sangat sedikit  jenis kritik deskriptif. Dryden berevolusi dan mengartikulasikan sebuah bangunan utuh dari prinsip-prinsip utama apresiasi sastra praktis dan menawarkan contoh-contoh bagus dari kritik deskriptif sendiri. Bila Augustus dianggap menemukan batu bata Roma dan mengubahnya menjadi marmer, maka Dryden bisa disebut sebagai penulis yang menemukan batu bata dan mengubahnya menjadi marmer kritik sastra Inggris.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.