Pembahasan mengenai relasi antara sastra dan sejarah merupakan bagian penting dalam kritik sastra. Berbagai macam argumen tentang makna teks sastra seringkali mudah diuraikan dengan melihat teks sastra. Sejarah seringkali menjadi pisau analisa yang kuat karena seringkali memberikan dasar yang kokoh untuk memancangkan pernyataan yang berkenaan dengan makna.
Ketika pertama kali orang mengetahui bahwa King Lear pertama kali dipentaskan di istana Raja James dan bahwa banyak hal dalam drama tersebut mengacu kepada konflik antara parlemen dan kerajaan, misalnya, maka ia akan lebih siap menangkap apa yang diceritakan oleh drama tersebut. Cerita drama ini bukan sekadar cerita tragedi dengan nilai-nilai universal tapi lebih merupakan cerita tentang polemik terselubung yang maknanya diberikan oleh dunia kesejarahan pada masa drama itu ditulis.
Salah satu tokoh utama yang memberikan stabilo signifikansi kesejarahan dalam kajian kesusastraan adalah Matthew Arnold (1822-1888), seorang penyair dan kritikus budaya Inggris terkenal yang sebetulnya bekerja sebagai inspektur sekolah. Ia dianggap sebagai penulis yang paling serius mengarahkan pembaca karya-karya sastra untuk mencermati pentingnya aspek kesejarahan (historisisme) dalam membedah karya sastra.
Gagasan utama Arnold bahwa apa yang dinamakan sastra memuat gagasan besar (ideal) dan nilai utama dari sebuah peradaban, seperti karya sastra dari kebudayaan Yunani. Karya seni dan sastra yang dianggap tidak mewartakan nilai-nilai utama suatu peradaban dianggap bukanlah karya sastra.
Dalam konteks ini, karya-karya popular yang ditulis oleh Stephanie Meyer, Stephen King, dan George R.R. Martin bukanlah karya sastra. Mengapa? Ini terkait bukan saja karena absennya apa yang disebut sebagai gagasan besar (ideal) yang bertahan tanpa dibatasi dimensi ruang dan waktu tapi juga lantaran karya-karya tersebut dianggap bukanlah sastra serius.
Pada hemat Arnold, para penganut historisisme adalah mereka yang ingin serius, bacaannya juga serius dan yang dikatakan adalah keseriusan tingkat tinggi. Bagi Arnold dan pendukung historisisme kesusastraan, tak ada sedikitpun ranah keseriusan yang bisa ditemukan pada novel-novel semisal Twilight karya Stephenie Meyer, Green Miles oleh Stephen King atau A Dance with Dragons karya George R.R. Martin.
Dalam perspektif sejarah, pandangan yang menyatakan bahwa novel-novel seperti Twilight juga menyuguhkan gagasan penting—katakanlah persoalan pilihan dan pengkhianatan—tak lebih dari sekadar topik, bukan nilai atau tema novel. Adalah sebuah kemusykilan bila Twilight, sebuah romans fantasi bertemakan vampire, harus menghabiskan empat jilid hanya untuk membicarakan isu seputar pilihan dan pengkhianatan.
Siapa pun sah-sah saja menganggap bahwa Twilight sebagai hiburan pribadi. Namun mengharapkannya untuk menyamai taraf ‘sastra’ amat musykil karena ketiadaan nilai-nilai abadi (enduring values) yang dapat ditemukan dalam sosok protagonis yang secara fisik tidak menawarkan ideal yang menarik.
Tak kalah pentingnya, hal lain yang membuat distingsi antara karya sastra dan karya pop, seperti pulp novel, terlihat dari alur. Dalam karya sastra, juga dinamakan sastra serius, alur cerita hanyalah kendaraan atau wahana di mana munculnya tema atau konflik yang lebih dalam. Sementara pada sastra pop, alur cerita lebih bersifat superfisial karena hanya merambat pada peristiwa permukaan sebagai fokus primernya. Sebuah karya dinilai sastra bukan karena ia disukai pembaca, melainkan karena ia mengandung apresiasi mendalam terhadap gagasan-gagasan besar yang diprovokasi oleh seni.
Ada yang menganggap bahwa gagasan historisisme memiliki kotradiksi dan paradoksnya sendiri. Bukankah The Picture of Dorian Gray (1891) yang ditulis oleh Oscar Wilde dikategorikan sebagai karya sastra padahal ia membicarakan ihwal supranatural, sesuatu yang ditolak oleh pengikut historisisme? Di sinilah sebetulnya salah kaprah banyak pembaca karena ketidakmelekan mereka terhadap historisisme dalam memahami novel filosofis Wilde ini.
Dalam The Picture of Dorian Gray, Wilde sesungguhnya mengeksplorasi aspek kesadaran dari peran seorang James Vane. Sarang madat (opium den) dalam buku kuning (Yellow Book)—yang sebetulnya adalah novel berjudul A Rebours karya Joris-Karl Huysmans, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Against the Grain—menjadi gambaran kekayaan alam yang melimpah, dan homoerotisisme Plato serta pernyataan Michaelangelo sebagai cerminan dari kedangkalan masyarakat.
Dorian meninggalkan apapun yang telah membentuk karakternya demi narsisme dan keburukannya sendiri. Hal-hal yang bersifat supranatural hanyalah gema dari kebutaan Dorian mengenai konsekuensi yang bakal dialaminya, sesuatu yang bisa dilihat dengan terang oleh Basil Hallward.
Popularitas bukanlah ukuran seni dan sastra. Bisa jadi ia adalah ukuran pendidikan tentang sastra dan seni. Sandwich selai kacang amat tenar namun bukanlah karya seni, begitu juga musik ala Lady Gaga. Kelebihan sastra terletak pada kemampuannya untuk melewati ujian waktu.
The Great Books Foundation, sebuah lembaga nirlaba yang didirikan oleh Robert Maynard Hutchins dan Mortimer Adler pada 1947 yang berbasis di Chicago, menyebut bahwa ketika seorang penulis meninggal lebih dari 50 tahun dan karya-karyanya masih dihormati, maka karya-karyanya tersebut boleh dianggap sastra. Ukuran ini kelihatan agaknya arbiter tetapi menawarkan konsep yang jelas. Novel dan puisi yang mendapatkan apresiasi cepat di pasaran—bak kacang goreng yang laku keras ketika musim hujan—tidak sepenuhnya dapat dianggap sebagai karya sastra.
Membaca Twilight, Harry Potter, atau bahkan semua novel Stephen King, Dan Brown, John Green, Percy Jackson, dan Robert Ludlum memberikan pengalaman bahwa misteri yang ada akhirnya terselesaikan. Tidak ada lagi hal baru ditemukan, tidak ubahnya roller coaster. Banyak yang ingin membaca lagi karya-karya serupa tapi pengalamannya tetap sama. Para pembaca yang ceroboh seringkali mengabaikan kedangkalan novel yang dinikmatinya, namun ini terjadi karena mereka adalah pembaca yang tidak telaten, bukan karena novel itu penting.
Sastra menawarkan ide-ide baru seiring dengan pengalaman yang juga baru bagi pembaca. Pembacaan terhadap Flatland, The Bluest Eye, atau A Midsummer Night’s Dream selalu saja menerbitkan gagasan-gagasan segar sungguhpun dibaca berulang-ulang. Meskipun The Lord of The Ring dan Peter Pan juga dinilai mampu bertahan dari tes zaman, tapi karya sastra, dari keyakinan mazhab historisisme, adalah bacaan yang serius.