Musim hujan sudah “resmi” mulai di Jakarta. Mari kita semua berhati-hati dan senantiasa siaga serta tetap memelihara solidaritas, sambil tetap mengupayakan yang terbaik untuk kota kita. Apa masalah utama yang dihadapi Jakarta saat ini? Macet? Banjir? Sebagai warga kota, kita perlu menyadari bahwa masalah mendasar kota kita bukan keduanya. Di balik masalah banjir, misalnya, ada akar permasalahan berupa keseluruhan tata kelola air di ibu kota. Banjir di Jakarta bukan sekadar masalah mengatasi luapan air.
Banjir hanyalah gejala dari ketidakberesan pengembangan dan pengelolaan kota. Musabab banjir bukan semata sungai-sungai yang berkurang kapasitasnya. Air hujan tergenang juga oleh karena faktor yang makin hari makin memburuk: Muka tanah menurun.
Jakarta adalah salah satu kota metropolitan dengan tingkat penurunan muka tanah tertinggi di Indonesia, sekitar 1-15 cm per tahun. Penyebab utama penurunan ini adalah penyedotan air tanah yang tidak terkendali. Di daerah-daerah tertentu di pesisir Jakarta, penurunan muka tanah dapat mencapai 20-28 cm per tahun. (Koop, 2014)
Hasanuddin (2014) menemukan bahwa secara akumulatif, pada penelitian kurun waktu Desember 1997-September 2007 (sekitar 117 bulan), di sejumlah titik di Jakarta terdeteksi penurunan muka tanah sebesar 80-90 cm. Secara umum, penurunan yang terjadi dalam periode itu 1-15 cm per tahun. Tingkat penurunan 2007-2008 adalah 28 cm, tahun 2008-2009 sekitar 14 cm, dan tahun 2009-2010 sekitar 16 cm.
Dan kita belum berhenti menyedot air tanah. Kita di rumah, dan utamanya bangunan industri dan komersial. Keterbatasan penyediaan air bersih menyebabkan sampai saat ini sekitar 64% penduduk Jakarta dan kebanyakan industri masih bergantung pada air tanah.
Di daerah hulu, masalah air ini pun cenderung terlihat namun terabaikan dengan makin berkurangnya daerah resapan akibat pembangunan. Berdasarkan analisa Fakhrudin (2010) akan data penggunaan lahan 2006, setengah lahan daerah aliran sungai (DAS) di Jabodetabek merupakan daerah terbangun atau seluas 89.308 ha, sedangkan luas lahan hutan hanya 4% (7.445 ha), lahan untuk pertanian kering 23% (39.339 ha), sawah, situ, dan empang 7% (12.651 ha), dan semak/rumput 15% (26.512 ha).
Lahan terbangun merupakan cerminan dari tanah yang kedap air. Pada areal pemukiman tanah kedap air bisa mencapai 70-90% bahkan pada lokasi-lokasi tertentu semua tanah kedap air, seperti di kawasan industri dan bisnis. Ketika terjadi hujan, pada lahan terbangun hanya sebagian kecil air yang dapat diresapkan kedalam tanah dan sebagian besar menjadi limpasan, yang selanjutnya dapat mengakibatkan banjir.
Karena buruknya kualitas air sungai perusahaan pengolahaan air bersih harus mengeluarkan upaya cukup besar untuk mengolahnya menjadi layak konsumsi. Hanya kurang dari sepertiga debit (16.3 m3 dari 50 m3) Sungai Citarum–sumber utama air bersih Jakarta, yang dapat diolah oleh perusahaan air bersih.
Perubahan iklim menambah tantangan akan kemampuan kita berpacu dengan waktu dalam meningkatkan kapasitas tata kelola air. Muka air laut diprediksi akan naik setinggi 6 mmper tahun.
Banjir mengingatkan kita bahwa solusi air harus menyeluruh hulu-hilir. Bukan hanya banjir yang harus diatasi, tapi juga sumber air baku untuk minum kita harus dipulihkan dan dijaga. Maka penting kerja sama dengan daerah sekitar dan pemerintah pusat untuk memulihkan daya dukung alam.
Pendekatan tata kelola air yang integral sangat penting. Hal ini mencakup sanitasi dan pengelolaan limbah cair, perbaikan kualitas badan air, akses terhadap air bersih dan perlindungan akan banjir. Semua harus dilakukan secara terpadu.
Infrastruktur penting, tapi tak akan cukup.
Sebab-sebab akar banjir harus diatasi: penurunan muka tanah dan air tanah, pendangkalan sungai dan saluran, run off yang meningkat terus karena kerusakan di hulu dan pembangunan tak terkendali di hilir, di dalam kota kita.
Disiplin tata ruang harus ditegakkan benar dengan adil pada semua pihak, termasuk pemerintah kota sendiri. Disiplin dan penegakan tata ruang harus diperbaiki secara institusional dan melibatkan pengawasan masyarakat secara langsung.
Banjir dan genangan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya tanggung jawab pemerintah belaka. Warga dan pengusaha harus bertanggung jawab atas air yang jatuh ke tanahnya. Kita semua minimal bisa berkontribusi dengan mengurangi aliran air ke jalan dan saluran kota. Pemerintah dapat mendukung dengan peraturan yang jelas memberi insentif dan ganjaran positif untuk kontribusi warga, dan sebaliknya menghukum tegas yang negatif.
Tangki penampung air hujan tidak membutuhkan biaya besar, dapat dikelola dan dimurnikan secara mudah dan dalam skala kecil. Fasilitas semacam ini dapat menjadi bagian dari upaya warga maupun pengelola bangunan-bangunan komersial secara individual maupun secara bersama-sama.
Sementara gedung-gedung yang sudah menutupi peresapan air dengan lapangan parkir, basement, hingga pengaspalan jalan berkewajiban untuk menerapkan zero run-off dan membangun sumur resapan dalam demi meminimalkan beban saluran kota.
Pemerintah harus bisa menegakkan aturan-aturan baik yang sudah ditetapkan, misalnya Peraturan Gubernur No. 68 Tahun 2005, yang mewajibkan pembangunan sumur dan kolam resapan untuk bangunan dan lahan tipe tertentu.
Bersamaan dengan itu, sejalan dengan upaya konservasi, pemerintah kota harus mulai mengupayakan pembatasan penyedotan air tanah, utamanya oleh pelaku industri dan pengelola bangunan komersial.
Penurunan muka tanah dan air tanah hanya dapat diatasi bila penyedotan air tanah dihentikan. Ini memerlukan investasi besar untuk pengembangan jaringan air minum terpipa. Selain itu: sumber air baku di hulu harus dipulihkan dan dirawat dengan kerja sama bersama daerah dan pusat.
Masalah tata kelola air tidak dapat diatasi hanya dengan menngatasi satu aspek saja. Keterpisahan aspek-aspek pengelolaan air hanya akan membuat upaya ini menjadi lebih mahal. Dan kita harus selalu mengingat hal terpenting: Banjir bukanlah akar masalah, ia hanya gejala dari masalah yang lebih besar.
Masalah utama Jakarta adalah tata kelola pembangunan kota yang semrawut.