Menjelang Pemilihan Kepala daerah DKI Jakarta, unsur suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) dipakai senjata. Dalam tulisan sebelum ini saya sudah membantah penggunaan al-Qur’an sebagai senjata untuk menolak kepemimpinan non-muslim (baca: Tidak Ada Larangan Kepemimpin Non-Muslim dalam Al-Quran). Karena al-Qur’an sangat tegas membela keadilan, siapa pun dan apa pun agamanya (baca: Ketika Al-Qur’an Lebih Membela Non-Muslim).
Selain agama yang dipakai senjata, soal suku, etnis, dan ras juga dipakai, dengan merendahkan satu etnis dan meninggikan etnis yang lain. Bahkan ada kosa kata baru: asing dan aseng. Asing untuk Eropa, Barat, sementara aseng dipakai untuk mengejek keturunan Tionghoa.
Dalam buku saya, Islam Tanpa Diskriminasi: Mewujudkan Islam yang Rahmatan Lil Alamin (2013), saya menegaskan Islam menolak rasisme, fanatisme etnis, dan diskriminasi yang berbasis SARA itu. Inilah dasar-dasar yang harus diperjuangkan, tanpa harus melihat pilihan-pilihan politik praktis saat ini. Janganlah memakai isu SARA untuk menyerang dan menjatuhkan lawan politik, dan meninggikan calonnya sendiri dengan isu SARA. Karena hal ini tidak hanya berbahaya bagi keutuhan bangsa, tapi juga bisa menciderai kemuliaan nilai-nilai luhur ajaran Islam.
Islam mengakui kesetaraan antar-etnis dan budaya. Islam menolak diskriminasi yang berbasis etnis karena bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam al-Qur’an disebutkan secara eksplisit keragaman etnis manusia dengan istilah: perbedaan “lidah”—al-sinah—yang merujuk pada bahasa, dan perbedaan “warna”—al-alwân—yang berarti warna kulit yang umumnya dipahami sebagai perbedaan ras. Al-Qur’an juga menyebutkan perbedaan bangsa-bangsa (syu’ûb) dan suku-suku (qabâ’il) yang menunjukkan pengakuan terbuka Islam terhadap keragaman etnis dan budaya manusia.
Doktrin yang mempercayai bahwa suatu etnis tertentu lebih unggul dan mulia disebut rasisme. Manusia dinilai karena warna kulitnya dan dari mana asal etnisnya. Rasisme merupakan petaka dalam sejarah umat manusia, di mana manusia ditinggikan dan direndahkan hanya berdasarkan warna kulit dan etnisnya saja.
Turunan dari fanatisme etnis ini (rasisme) seperti ketakutan pada yang terlihat asing (xenofobia) dan generalisasi terhadap suatu kelompok etnis tertentu yang disebut stereotip.
Dalam pandangan Islam, segala bentuk rasisme, xenofobia, dan stereotip tidak bisa diterima. Karena pandangan dan sikap ini menimbulkan dan menyuburkan diskriminasi dan penolakan. Sikap dan pandangan ini pun jauh dari nilai-nilai keadilan dan kesetaraan yang diakui oleh Islam. Diskriminasi yang berdasarkan etnis, generalisasi, dan ketakutan pada yang dianggap asing merupakan bentuk dari kezaliman yang sangat ditolak oleh Islam.
Karena itu, mari kita lihat bagaimana Islam melihat dan menyikapi perbedaan etnis dan budaya ini.
Firman Allah SWT telah menegaskan kemuliaan dan keutamaan manusia secara umum, tidak pandang etnis, bahasa, budaya, dan agamanya.
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلا
Sungguh, telah Kami muliakan bani Adam, dan kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami beri mereka rezeki yang baik-baik, dan Kami utamakan mereka melebihi sebagian besar makhluk yang Kami ciptakan. (QS. Bani Isra’il [17]: 70).
Adanya keragaman etnis, bangsa, bahasa, dan budaya merupakan ketetapan Allah yang tidak bisa ditolak dan untuk tujuan-tujuan tertentu.
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ
Dan di antara tanda-tanda (Kebesaran-)Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasa-bahasa dan warna (kulit) kamu. Sungguh, dalam yang demikian itu ada bukti-bukti bagi orang yang mengetahui. (QS Rûm (30): 22).
Tujuan dari keaneka-ragaman itu agar saling kenal-mengenal bukan untuk melebihkan salah satu golongan dari golongan yang lain. Yang berbeda atau yang sering dianggap asing dan aneh, karena tidak tahu untuk dikenali bukan ditolak, apalagi dibenci.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
Hai manusia! Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan. Kami jadikan kamu berbagai bangsa dan berbagai puak (suku), supaya kamu saling mengenal (QS al-Hujarât: [49]: 13).
Perbedaan dalam keragaman manusia adalah ujian sekaligus perlombaan untuk menunjukkan kebaikan.
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
Sekiranya Allah berkenan tentulah Ia jadikan kamu satu umat, tapi maksud-Nya hendak menguji kamu dalam apa yang diberikan-Nya kepadamu. Karena itu berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. (QS al-Mâ’idah [5}: 48).
Menolak Fanatisme Etnis (al-‘Ashabiyyah)
Islam juga menolak fanatisme kesukuan (al-‘ashabiyah) yang menjadi ciri khas zaman pra-Islam yang disebut era jahiliyah. Dalam bahasa modern al-‘ashabiyah ini yang disebut dengan rasisme (al-‘unshûriyah).
Nabi Muhammad SAW bersabda yang menegaskan penolakan terhadap fanatisme etnis:
ليس منا من دعا إلى عصبية وليس منا من قاتل على عصبية وليس منا من مات على عصبية
Bukan dari golongan kami yang mengajak pada fanatisme etnis, bukan dari golongan kami yang berperang dengan tujuan fanatisme etnis, dan bukan dari golongan kami yang mati demi fanatisme etnis (HR. Abu Dawud)
Nabi Muhammad juga bersabda yang menegaskan kesetaraan antar-etnis, baik Arab dan non-Arab, orang asing atau “aseng”, baik yang berkulit hitam, putih, merah. Yang membedakan mereka hanyalah soal kualitas ketakwaan:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، أَلاَ إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ ، وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ ، أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ ، وَلاَ لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ ، وَلاَ لأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ ، وَلاَ أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى
Hai manusia, sungguh Tuhanmu hanya satu, bapakmu hanya satu, maka tiada kemuliaan orang Arab atas orang asing, orang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, kecuali dengan takwa. (HR. Ahmad)
Sabda Nabi Muhammad ini penegasan terhadap firman Allah ayat 13 dari surat al-Hujârât tadi dan penolakan terhadap xenofobia (ketakutan pada yang dianggap asing).
Dalam hadits lain disebutkan,
الأنبياء إخوة من علات، وأمهاتهم شتى، ودينهم واحد
Seluruh nabi dari satu bapak (Adam), ibu mereka saja yang berbeda, agama mereka satu. (HR al-Bukhari dan Muslim)
Sabda ini menegaskan bahwa ajaran-ajaran para nabi merupakan satu-kesatuan, yakni beriman pada Allah, mengajak pada kebaikan dan mencegah yang buruk. Dikatakan juga bahwa para nabi itu dalam satu keluarga, yakni keluarga keimanan dan kemanusiaan. Yang membedakan mereka hanya perbedaan ibu yang melahirkan mereka sebagai manusia.
Islam yang menjadi ajaran Nabi Muhammad adalah ajaran yang telah membatalkan segala bentuk fanatisme, termasuk di dalamnya fanatisme etnis. Sabdanya:
إنّ الله قد أذهب عنكم نخوة الجاهلية وتعظُّمها بالآباء. الناس من آدم وآدم من تراب
Sungguh Allah telah menghilangkan fanatisme jahiliyah dengan Islam dan berbangga-bangga atas nenek-moyang, karena manusia seluruhnya dari Adam, dan Adam dari tanah. (HR. Abu Dawud)
Sabda ini merujuk asal penciptaan manusia dari tanah. Tidak ada asal manusia yang diciptakan berbeda, misalnya dari emas, permata atau batu mulia, seluruhnya dari unsur tanah.
Menolak rasisme bukan berarti tidak mencintai bangsa, negeri, dan keluarga. Cinta berbeda dari sikap yang fanatik. Ada ungkapan yang sering dikira hadits namun sebenarnya pepatah yang baik dan sering dipakai oleh ulama-ulama terdahulu untuk menegaskan kecintaan pada negeri dan bangsanya:
حب الوطن من الإيمان
Mencintai tanah air adalah bagian dari keimanan
Seorang sahabat Nabi bernama Watsilah bin al-Asqa’ bertanya pada Rasulullah tentang perbedaan cinta bangsa dan soal fanatisme.
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمِنَ الْعَصَبِيَّةِ أَنْ يُحِبَّ الرَّجُلُ قَوْمَهُ قَالَ لَا وَلَكِنْ مِنْ الْعَصَبِيَّةِ أَنْ يَنْصُرَ الرَّجُلُ قَوْمَهُ عَلَى الظُّلْمِ
“Apakah termasuk dari fanatisme etnis (al-‘ashabiyah) apabila ada seseorang mencintai kaumnya?” Rasulullah menjawab, “Tidak, karena fanatisme etnis tidak akan muncul, kecuali ada orang yang membela anggota kaumnya dengan tujuan kezaliman.” (HR Ibn Majah dan Ahmad).
Sabda Rasulullah tidak menegaskan bahwa fanatisme seperti cinta buta, sampai membela kezaliman.
Karena itu, mencintai bangsa, negeri, dan keluarga diakui dalam Islam. Yang ditolak adalah sikap fanatik dan membela anggota keluarga dan bangsanya dengan tujuan kezaliman.
Menolak Rasialisme
Mengolok-olok, menghina, merendahkan seseorang karena alasan suku, kelompok, dan keturunan merupakan tindakan rasialisme. Tindakan ini tidak dibenarkan dalam Islam. Larangan ini ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلاَ نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلاَ تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلاَ تَنَابَزُوا بِالأَْلْقَابِ
Hai orang yang beriman! Janganlah suatu suku di antara kamu mengolok-olok suku yang lain, mungkin (yang diolok-olok itu) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), janganlah wanita mengolok-olok wanita yang lain, mungkin (wanita yang diolok-olok) lebih baik dari (wanita yang mengolok-olok), janganlah kamu saling mencaci, dan janganlah saling memberi nama ejekan (al-Hujarât [49]: 11)
Dalam sebuah riwayat hadits, seorang sahabat Nabi bernama Abu Dzar al-Ghifari pernah mengejek sahabat Nabi lain bernama Bilal bin Rabah (mantan budak yang berkulit hitam). Keduanya pernah terlibat cekcok. Abu Dzar mengejeknya dengan sebutan “Hai Anak Hitam (Negro)”.
Mendengar ejekan Abu Dzar pada Bilal, Nabi Muhammad menegur Abu Dzar yang menyebut ejekan itu sebagai tradisi zaman jahiliyah (era kebodohan). Abu Dzar pun sadar dan sejak itu dia tidak lagi menghina, bahkan menyamakan apa yang dipakai oleh hamba sahayanya dengan dirinya.
عَنِ الْمَعْرُورِ قَالَ لَقِيتُ أَبَا ذَرٍّ بِالرَّبَذَةِ ، وَعَلَيْهِ حُلَّةٌ ، وَعَلَى غُلاَمِهِ حُلَّةٌ ، فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ ، فَقَالَ إِنِّى سَابَبْتُ رَجُلاً ، فَعَيَّرْتُهُ بِأُمِّهِ ، فَقَالَ لِىَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَا أَبَا ذَرٍّ أَعَيَّرْتَهُ بِأُمِّهِ إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ.
Dari al-Ma’rur bahwa ia berkata, “Saya bertemu dengan Abu Dzar di Rabadzah. Dia dan hamba sahayanya mengenakan pakaian yang sama. Saya pun bertanya apa sebabnya mereka mengenakan pakaian yang sama? Abu Dzar menjawab, “Aku pernah memaki seseorang dengan menghina ibunya. Lalu Nabi berkata kepadaku, “Wahai Abu Dzar, apakah kau memaki dia dengan menghina ibunya? Rupanya masih ada dalam dirimu karakter jahiliyah.”
Semoga doktrin-doktrin Islam yang saya paparkan ini bisa menjadi inspirasi bagi kita untuk mewujudkan Islam yang ramah dan mengakui kesetaraan, serta Islam yang menolak rasisme, rasialisme, dan fanatisme etnis.
Mari kita tebar cinta dan tolak fanatisme. Fanatisme, menurut Nabi, hanya mengantarkan pada kezaliman. Sedangkan cinta akan mengantarkan kita pada keadilan.