Apa sebetulnya yang dikhawatirkan dari “makhluk” bernama komunis itu sehingga spanduk dan poster antikomunis dipajang di mana-mana? Diskusi-diskusi tentang sosialisme-komunisme dibubarkan, buku-buku yang ditulis para tokoh dan pemikir sosialis-komunis diberangus, anak-anak sekolah diwanti-wanti untuk tidak membaca ajaran komunisme, para khatib Jumat dan ulama bergemuruh menyerang komunis, laskar-laskar antikomunis juga dibentuk dengan gagahnya, dan lain sebagainya?
Pemerintah dan sebagian masyarakat Indonesia, terutama umat Islam, sepertinya begitu ketakutan dengan komunisme bak hantu yang bergentayangan sampai-sampai ada sebuah “laskar Islam” yang akan memburu anggota keluarga yang dicap memiliki hubungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) di masa lalu. Mungkinkah ini buah dari kebiasaan kita yang gemar menonton film-film klenik atau pocong, dan hobi dengan supernatural sehingga komunisme pun sampai “dihantukan” dan “diklenikkan”?
PKI memang sudah mati sejak puluhan tahun silam dan susah untuk “dibangkitkan dari kuburnya”. Jangankan PKI yang para pemimpinnya sudah dimusnahkan, para pemikirnya sudah diisolasi, dan para anggota partainya sudah diganyang di mana-mana, (Partai Islam) Masjumi yang para pentolannya masih banyak yang segar-bugar, kaum intelektualnya masih sehat wal afiat, dan penggemarnya juga masih lumayan banyak juga tidak mampu untuk bangkit lagi. Ideologi komunisme juga sudah sekarat, hidup segan mati tak mau, dibabat habis oleh rival-rivalnya, terutama kapitalisme dan Islamisme.
Pula, hampir semua negara-negara “berbasis komunis” sudah bangkrut. Mungkin hanya Kuba dan Korea Utara saja yang masih setia dengan komunisme, meski rakyatnya sudah bosan dan kelojotan karena hidup menderita dalam kemiskinan dan keterbelakangan serta muak melihat para pemimpin komunis yang korup dan kejam.
Sebagai negara pengekspor utama komunisme yang didirikan pada 1922 oleh Vladimir Lenin, Uni Sovyet sudah berantakan sejak revolusi tahun 1991 yang menyebabkan negara ini pecah berkeping-keping menjadi lima belas negara-negara kecil independen. Dengan tumbangnya Uni Soviet, lambang “palu arit” pun ikut-ikutan lenyap dikubur bersama “kuburan majikan”-nya.
Rusia sebagai “pewaris utama” Uni Soviet tidak memakai lambang “palu arit”, dan memang negara ini tidak lagi dipimpin oleh partai tunggal komunis, melainkan sistem multipartai.
Selain Partai Komunis, ada United Russia, Liberal Democratic Party, A Just Russia, dan lainnya, yang ikut berkompetisi dalam pemilu. Berbeda dengan Uni Soviet, Rusia berbentuk federasi dan mengikuti sistem semi presidensial di mana pemerintah federalnya terdiri dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif—persis seperti Amerika dan kebanyakan negara-negara demokrasi lain.
Bagaimana dengan Cina? “Negeri Panda” ini sekarang sudah menjadi “negara gado-gado” setengah komunis setengah kapitalis. Meski secara politik pemerintahan Cina masih berbentuk komunis-sosialis dan dipimpin oleh partai tunggal Komunis, secara ekonomi mengikuti sistem kapitalis di mana pasar dan swasta diberi ruang selebar-lebarnya untuk ikut mengelola perekonomian negara.
Meski sejak pendirian Republik Rakyat Cina pada 1949 sampai 1978, Cina mengikuti sistem perekonomian ala Soviet yang berpusat pada negara, sejak kepemimpinan Deng Xiaoping negara Tirai Bambu ini mengikuti sistem perekonomian model kapitalis yang bertumpu pada kekuatan pasar. Akibat perubahan kebijakan dan reformasi ekonomi ini, Cina sekarang menikmati pesatnya pertumbuhan ekonomi dengan total nominal produk domestik bruto (PDB) mencapai US$ 9.325 triliun. Dengan angka ini, perekonomian Cina berada di urutan kedua di dunia setelah Amerika.
Jadi, apanya yang ditakutkan dari paham komunisme itu? Ateisme? Hanya orang-orang yang “buta huruf” dan “pikun sejarah” yang menganggap komunisme = ateisme. Tidak ada hubungannya antara komunisme dan ateisme. Karl Marx bukan anti-agama. Ia hanya mengkritik keras para pelaku agama yang mandul dan gagal menggunakan agama sebagai “kekuatan revolusioner” untuk melawan industrialisme-kapitalisme.
Marx geram dengan orang-orang yang hanya memakai agama sebagai “topeng monyet” untuk melegitimasi politik dan menutupi “borok-borok” kekuasaan, sementara spirit dan fungsi profetis agama yang membebaskan kaum teraniaya, mengangkat derajat dan martabat kaum miskin, serta mengimbangi praktik-praktik culas politik kekuasaan nyaris tak berbunyi. Dalam konteks inilah mestinya kita membaca statemennya tentang “agama sebagai candu”.
Semangat “Manifesto Komunis” model Marx inilah, antara lain, yang diadopsi oleh pemikir Islam revolusioner dan ideolog Syiah Ali Syariati di Iran yang pemikiran dan tulisan-tulisannya yang menggelora turut memuluskan jalan bagi penggulingan penguasa tiran antek Amerika, Shah Reza Pahlavi pada 1979. Sayang, Syariati keburu mati sebelum melihat aksi heroik Revolusi Iran.
Spirit komunisme yang membebaskan dan pembelaan Marx terhadap kaum buruh pabrik yang miskin itu pula yang mendorong Haji Mohamad Misbach (1876–1926) dari Surakarta untuk ikut bergabung dengan PKI sehingga kelak ia diberi julukan “Haji Merah.” Haji Misbach yang oleh Tjipto Mangunkusuma disebut “ksatria sejati” ini merupakan seorang Muslim taat-saleh, mubalig populis, ustadz yang bersih, pemimpin Islam pemberani, penulis ulung, selain pedagang batik.
Seperti Marx, Haji Misbach gusar melihat (sebagian) tokoh-tokoh Muslim waktu itu yang menggunakan agama sebagai kedok untuk menutupi keburukan, para dai yang hanya bisa membual tapi nol dalam perbuatan, para alim yang rajin korupsi, para pemimpin ormas Islam tapi pengecut tidak berani memimpin gerakan melawan penjajahan, para birokrat dan alim-ulama yang menjadi “badut-badut” Belanda, dan sebagainya.
Islam, bagi Haji Misbach, adalah agama revolusioner antikapitalisme dan kolonialisme yang menindas rakyat kecil, sebagai agama yang pro-wong cilik. Seperti Islam dan Nabi Muhammad yang berjuang keras membebaskan rakyat Mekkah dari kungkungan dan eksploitasi para pembesar Arab, maka demikianlah, dalam pandangan Haji Misbach, Islam harus mampu dijadikan sebagai instrumen untuk membangkitkan rakyat Hindia-Belanda guna melawan penindasan kaum penjajah.
Singkatnya, baginya, Islam adalah “agama komunis” yang syarat dengan spirit pembebasan bagi kaum yang terbelenggu untuk menciptakan sebuah sistem atau tatanan politik-ekonomi yang adil dan egaliter. Haji Misbach tidak sekadar berwacana, ia buktikan dengan tindakan nyata. Berkali-kali ia ditangkap oleh Belanda karena aksi-aksinya yang dipandang berbahaya sampai akhirnya ia dibuang ke Papua dan wafat di sana.
Berkali-kali ia terlibat perseteruan dengan para tokoh Muslim lain yang, menurutnya, tidak konsisten dan utuh dalam menjalankan pesan-pesan keislaman. Haji Misbach juga berpandangan bukanlah seorang Muslim jika ia masih korupsi, menjadi antek Belanda, dan melakukan tindakan-tindakan amoral yang mengkhianati cita-cita profetis Islam.
Sekilas info ini hanya ingin menegaskan bahwa tidak ada hubungannya antara komunisme dan ateisme seperti yang selama ini telah salah kaprah dimengerti oleh banyak pihak: pemerintah, guru, politisi, ulama, tokoh masyarakat, ormas Islam, dan lainnya. Rakyat kecil di perkotaan dan pedesaan yang menjadi pendukung utama dan simpatisan PKI waktu itu bukan lantaran ateisme atau Marxisme, tetapi karena partai ini berhasil meyakinkan mereka dengan “janji-janji populis”-nya yang membawa perubahan dan kemakmuran rakyat banyak.
Sayangnya belakangan visi PKI yang awalnya egaliter, pro wong cilik, dan penuh semangat pembebasan itu kemudian dinodai oleh elite-elite partai yang haus kekuasaan. Karena didorong oleh ambisi politik itu, sejumlah elite partai (seperti Musso, Amir Syarifudin, dan D.N. Aidit) dan nafsu kekuasaan untuk mendirikan negara komunis Indonesia cabang Soviet, PKI menggerakkan massa untuk melawan NKRI.
Dalam sebuah peristiwa pemberontakan yang dikenal dengan “Tragedi Madiun” tahun 1948 itu (yang kemudian berhasil ditumpas oleh Sukarno), para milisi PKI melakukan pembunuhan terhadap para kiai NU, santri, tokoh Islam dan politik, pejabat pemerintah dan siapa saja yang melawan pendirian negara komunis. Inilah, antara lain, sisi gelap dari PKI.
Tetapi pembantaian dan kekerasan di Indonesia bukan hanya monopoli PKI. Kekejaman dan keangkaramurkaan tidak hanya dilakukan oleh pendukung ideologi komunisme. Para pengikut ideologi dan agama apa saja di dunia ini—sekularisme, kapitalisme, fasisme, sosialisme, Kristen, Yahudi, Buddha, Islam, Hindu, dan lainnya—pernah melakukan tindakan bengis dan biadab dalam sejarah kemanusiaan. Lalu, kenapa hanya PKI yang dikambinghitamkan sebagai “biang kerok” kekejaman? Kenapa Komunisme yang sudah tua-renta itu terus-menerus “diinteli”? Kenapa PKI yang sudah bubar jalan itu terus-menerus diwaspadai sebagai “bahaya laten” bagi bangsa ini?
Saya ingin mengingatkan dan “membangunkan” barangkali pemerintah dan semua pihak di Indonesia sedang tidur pulas: bukan ideologi komunisme yang membahayakan Indonesia yang majemuk saat ini serta mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, melainkan Islamisme yang diusung oleh sejumlah ormas Islam impor pendatang baru yang ingin mengubah negara ini menjadi sistem politik zaman batu yang bernama khilafah serta mengganti ideologi pluralis Pancasila dengan ideologi Islam.
Kelompok inilah yang mestinya diwaspadai oleh pemerintah. Bukannya malah terus memburu “hantu komunis” yang tidak jelas juntrungannya, sementara membiarkan sejumlah ormas Islam ekstrim berkeliaran seenaknya.
Pula, bukan PKI yang membuat onar saat ini—apalagi dipandang meresahkan warga—karena memang sudah mati sehingga tidak perlu dikhawatirkan lagi. Yang seharusnya diwaspadai oleh pemerintah adalah kaum teroris dan sejumlah kelompok “Islam pentungan” yang dengan seenaknya ingin mengatur negara ini seolah-seolah Indonesia ini adalah warisan nenek-moyang mereka.
Juga bukan kaum komunis yang berpotensi menghancurkan bangsa saat ini di masa depan, akan tetapi para pejabat rakus dan koruptor yang menilep uang rakyat dan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompoknya, serta para politisi kerdil yang hanya memikirkan partainya bukan rakyat yang menjadi konstituennya.
Terakhir, sekali lagi, bukan komunisme yang harus diberangus tetapi egoisme yang picik, nafsu politik yang serakah, serta hati dan pikiran yang kotor yang semestinya harus terus-menerus kita cuci dan bersihkan supaya menjadi “ksatria sejati” seperti Haji Misbach yang komunis itu.
Kolom Terkait: