Sabtu, April 20, 2024

Isyarat Bencana Kuartet Arab versus Qatar

Ibnu Burdah
Ibnu Burdah
Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Menteri Luar Negeri Bahrain Syeikh Khalid bin Ahmed Al Khalifa (kiri) berjalan ke konferensi pers saat Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel bin Ahmed Al-Jubeir, Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukri dan Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab (UAE) Syeikh Abdulla bin Zayed bin Sultan Al Nahyan mengikutinya untuk konferensi pers usai pertemuan Menteri Luar Negeri Kuartet Arab tentang perselisihan mereka dengan Qatar, di Manama, Bahrain, Minggu (30/7). ANTARA FOTO/REUTERS/Hamad I Mohammed

Setelah krisis al-Aqsha berlalu sementara, krisis lebih serius sedang mengancam Timur Tengah. Yaitu, kegagalan beberapa pihak untuk melakukan mediasi antara Kuartet Arab (Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Emirat, dan Bahrain) dengan Qatar.

Saya berkeyakinan, isu ini memperoleh perhatian besar dari para pemimpin di Timur Tengah dan para pengamat yang serius. Sebab, dampak potensial dari kegagalan itu sungguh tidak sederhana. Kegagalan ini segera disusul dengan pertemuan-pertemuan Kuartet Arab yang mengindikasikan akan mengambil langkah-langkah lebih keras terhadap Qatar.

Sebagaimana diketahui, Qatar tetap saja menolak keras seluruh tuduhan empat negara yang mengisolasinya itu. Qatar juga tak sudi memenuhi 13 tuntutan Kuartet Arab itu. Menurut Qatar, tuduhan sebagai sponsor teroris itu tak berdasar dan tuntutan itu tak mungkin dilaksanakan Qatar sebagai negara yang berdaulat. Qatar sebaliknya berupaya menunjukkan perannya dalam melawan terorisme.

Sementara empat negara itu, kendati berlagak kalem, juga tak surut sedikit pun dengan tuduhan dan tuntutannya. Mereka bergeming dengan tuduhan pada Qatar sebagai sponsor terorisme dan “pengobok-obok” urusan dalam negeri negara lain.

Eskalasi hubungan tercermin pada perang media antara al-Jazeera dan media-media Qatar lain dengan al-Arabiyya dan media-media Saudi dan Kuartet Arab itu. Sebagai respons atas kegagalan itu, pertemuan Menteri Luar Negeri Kuartet Arab itu digelar di Manama, Bahrain, beberapa waktu lalu (30/7). Pertemuan sebelumnya digelar di Kairo, Mesir.

Pertemuan di Manama mengarah pada adanya koordinasi empat negara untuk mengambil langkah tegas atas penolakan Qatar, kendati mereka masih memberi kesempatan sekali lagi kepada Qatar. Pertanyaannya, langkah apalagi yang bisa diambil empat negara itu terhadap Qatar?

Tak ada aksi yang bisa menerjemahkan sikap tersebut di lapangan kecuali ke arah langkah-langkah konflik fisik. Sebab, Kuartet Arab itu sudah melakukan semuanya untuk mengucilkan Qatar. Mereka sudah memutus hubungan diplomatik secara total dengan Qatar. Perbatasan darat mereka dengan Qatar juga sudah ditutup. Akses laut dan udara bagi pesawat dan kapal Qatar juga sudah ditiadakan.

Tayangan televisi al-Jazeera yang bermarkas di Qatar juga sudah lama dilarang di negara-negara tersebut. Warga Qatar pun sudah berbondong-bondong keluar dari negara-negara itu. Bahkan beberapa negara itu memberlakukan hukuman keras bagi warga negaranya yang sekadar memberi simpati kepada Qatar di media sosial. Lebih jauh, militer Saudi dikabarkan sudah bergerak ke perbatasan timur.

Kegagalan mediasi Amir Kuwait Syekh Jabir Ahmad al-Shabah dan lain-lain mengguratkan isyarat bencana di atas mendung negara-negara Arab Teluk. Jika tak ada lagi upaya yang lebih kuat dari aktor internasional yang sangat kuat untuk melakukan mediasi super intensif, maka pecahnya konflik senjata antarnegara Arab Teluk ini sudah ada di depan mata. Jika itu terjadi, kekhawatiran akan dampaknya sangat besar.

Liga Arab tak mungkin menjadi mediator yang kuat di antara negara-negara anggotanya yang berkonflik ini. Liga Arab jelas di bawah kooptasi Mesir, kendati peran Negeri Kinanah ini begitu melemah di fora kawasan dan internasional akhir-akhir ini.

Organisasi Kerjasama Islam (OKI) juga setali tiga uang, terlalu lemah dan jelas di bawah kooptasi Saudi. Iran juga tak mungkin diterima oleh Kuartet Arab, Turki pun merupakan sekutu Qatar sehingga sulit diterima. Harapan sebenarnya ada di pundak Kuwait dan Oman. Tetapi, Syekh Shabah dan Sultan Qabus sepertinya sudah frustasi dengan perkembangan di lapangan.

Empat negara Teluk yang berkonflik itu memang tidak dikenal memiliki tentara dalam jumlah besar dan juga tak biasa dengan petualangan militer ala Irak, Iran, Suriah, Libya, dan Turki. Hanya Mesir dari negara-negara yang berkonflik memiliki militer besar dan punya rekam jejak melakukan perang besar dalam sejarahnya yang panjang.

Namun, yang perlu dicatat, negara-negara Arab Teluk itu punya kemampuan keuangan yang luar biasa. Dan belanja persenjataan militer negara-negara itu selama sekitar lima tahun terakhir itu sungguh fantastis. Pergolakan dan ketidakpastian di Timur Tengah selama 5 tahun terakhir telah membuat para pemimpin Teluk mempersenjatai diri dengan persenjataan militer dalam skala besar. Suplai senjata bagi perang Suriah, Irak, Libya, dan tentu saja Yaman juga tak lepas dari kontribusi negara-negara ini.

Industri Maut

Dalam konteks ini, Amerika Serikat sebenarnya bisa memainkan peran efektif untuk menghindarkan Teluk dari perang antarnegara superkaya ini. Namun, AS di bawah Donald Trump nampaknya tak terganggu dengan situasi seburuk apa pun asalkan tidak mengganggu kepentingannya. Sebaliknya, AS sukses mengambil untung besar dari konflik Saudi cs dengan Qatar ini.

Setelah transaksi senjata besar-besaran dengan Muhammad bin Salman yang kemudian disusul pelengseran putra mahkota Muhammad bin Nayif, AS memperoleh proyek besar lagi dari industri senjata, yakni dari Qatar yang sedang cemas dengan ancaman tetangganya.

Politik pompa air khas Trump menekan kuat siapa saja agar keluar air yang deras untuk menghidupi ekonomi AS. AS di bawah Trump rupanya hanya berdagang, termasuk berdagang “nyawa”. AS tampak sangat egois dengan hal ini. Yang penting, barang dagangan mereka laku, maka apa pun yang terjadi terjadilah. Ini tampak sangat berbeda dengan pemerintahan Obama.

Trump tak melakukan upaya serius untuk mengerem kemungkinan skenario militer terhadap Qatar yang saat ini secara perlahan berjalan. Trump justru berkali-kali bangga bisa memanfaatkan situasi konflik Teluk itu untuk berdagang, demi keuntungan industri negaranya. Karenanya, dunia harus mencegah memburuknya hubungan Kuartet Arab versus Qatar sebelum semuanya terlambat.

Baca juga:

Jihad Versus Industri Senjata

Di Balik Perseteruan Qatar vs Arab Saudi

Terorisme, Kegilaan Baru, dan Krisis Qatar

Menunggu Peran Turki dalam Krisis Qatar

Ibnu Burdah
Ibnu Burdah
Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.