Wajah kemiskinan galib mengundang keprihatinan kita. Namun, lebih sering sebenarnya ia memperdaya kita.
Memperdaya seperti apa? Dandhy Dwi Laksono (Baca: Kemiskinan dan Niat Baik di Papua) mengatakan citra ini merancukan antara gaya hidup dan kemiskinan yang sesungguhnya. Ambil gambaran istri ketua adat satu suku di Merauke—yang ditayangkan Dandhy di awal tulisannya. Sang istri berbaju seadanya dan bertelanjang kaki. Ia tengah memasak. Tetapi, kegiatan ini tidak dilakukannya di dalam dapur, sebagaimana lazimnya gambaran ibu-ibu yang tengah memasak. Sang istri memasak di tengah-tengah hutan, mempergunakan kayu bakar.
Mengibakan? Ya. Saya tinggal, seperti yang dilakukan media-media, menambahkan keterangan, seorang ibu di Merauke memasak dengan kayu bakar karena tidak ada gas, maka saya dengan mudah mengundang kemarahan para pembaca.
Dan seandainya saja saya seorang birokrat tinggi dan saya membawakan gambar ini untuk mengampanyekan kawasan ini perlu segera dibangun agar penduduknya menikmati kehidupan yang lebih makmur, kampanye saya tentu lebih mulus. Saya akan mengundang kelirihan yang, selanjutnya, besar kemungkinan, membakar semangat birokrat-birokrat lain untuk menggenjot investasi eksplorasi sumber daya alam di daerah tersebut.
Kini, persoalannya, apakah Mama Barnabas Mahuze, nama sang istri kepala adat, benar-benar miskin? Tidak. Apabila kehidupan yang tak perlu menggelisahkan makan apa, tinggal di mana keluarganya keesokan hari dikatakan kemiskinan, maka kemiskinan tersebut sungguh jauh lebih menyenangkan dibandingkan kehidupan kita sendiri.
Sekarang kita ubah pertanyaannya sedikit. Apakah mereka akan miskin bila investasi usaha eksploitasi sumber daya alam mereka dilakukan? Sejauh pengalaman-pengalaman pahit suku-suku pedalaman memberikan kita petunjuk, jawabannya adalah ya. Atau setidaknya, kita bisa mengatakan, skenario buruk tersebut ada—senantiasa menggentayangi.
Salah satu yang sudah terjadi adalah yang melanda Suku Anak Dalam Batin 9 di Jambi. Penyelidikan Jogi Sirait mencuatkan fakta bahwa kehidupan mereka mulai terpuruk setelah hak guna usaha lahan adat mereka secara ganjil dikantongi oleh sebuah perusahaan sawit. Pemilik perusahaan sawit bersangkutan dikenal masih merupakan kerabat Sudomo, Menteri Politik dan Keamanan periode 1988-1993, dan selepas perusahaan keluarganya merogoh HGU 20 ribu hektare tanah yang mencakup wilayah tinggal Suku Anak Dalam, proses panjang dan menyiksa penggerusan hak hidup warga dimulai.
Seiring perluasan perkebunan sawit, masyarakat adat kehilangan lahan untuk mengusahakan karet, durian—tanaman pencaharian mereka sendiri. Tempat tinggalnya tergusur—diratakan alat-alat berat dengan tanah. Warga, dalam prosesnya, dikejar-kejar aparat serta preman dan diintimidasi agar benar-benar menyingkir.
“Mata pencaharian kami habis,” ujar Kutar, salah seorang dari mereka.
Pendapatan mereka lantas bergantung pada perusahaan yang mempekerjakan mereka. Jumlahnya hanya pas—itu pun setelah dipas-paskan—untuk menyambung kehidupan.
Kita sejujurnya terbilang mudah menemukan kerawanan semacam ini merebak di tempat lain—inilah Indonesia kalau kita belum mengetahuinya. Saya ambilkan contoh di Seram Utara, Maluku Tengah.
Kepala dusun wilayah penelitian saya mengharapkan laporan saya tentang dusunnya akan dibaca para pemegang jabatan di ibu kota. Ia berharap laporan tersebut akan mencelikkan mata para pengambil kebijakan tentang daerahnya yang mungkin berpotensi ditanami investasi seperti tambang atau sawit dan, dengan demikian, menyediakan pekerjaan untuk warganya yang dikatakannya hidup seadanya.
Pesan tersebut agak mengusik saya. Kalaupun memang saya mempunyai suara yang didengar pemerintah—dan saya cukup yakin, saya tidak punya—saya condong enggan mengikutinya. Dusun penelitian saya mempunyai wilayah yang subur serta lebih dari cukup untuk menanam ubi kayu dan mengail ikan. Bukan hanya kebutuhan karbohidrat serta protein mereka terpenuhi dengan mudah, mereka masih memiliki waktu serta lahan untuk mengusahakan tanaman-tanaman komoditas seperti cengkeh, pala, cokelat.
Baju, memang, dibanderol dengan harga yang tak murah dan membeli baju mendatangkan kegembiraan yang sama dengan kita membeli gawai baru. Harga-harga sebagian bahan pangan, lantaran didatangkan dari Jawa, memang tinggi. Apabila kita memandang mereka mengandalkan pikiran picik bahwa gaya hidup di Jawa merupakan patokan standar kehidupan yang layak, maka memang kehidupan mereka belum layak.
Tetapi, ada satu ketenangan yang tak terbeli dengan harga berapa pun ketika saya hidup di ibu kota. Di dusun yang sempat saya mukimi di Seram Utara, kebanyakan kebutuhan pokok masih diusahakan sendiri. Ketenangan bahwa keesokan hari keluarga masih bisa makan dengan pergi ke ladang, melaut beberapa jam, atau menagih kemurahhatian kerabat apabila tengah dirundung kesulitan tak terperi, saya cukup yakin, bukanlah hal yang biasa saya temui.
Tak jauh dari dusun penelitian saya, sebagai perbandingan, terdapat satu kawasan yang kini diusahakan oleh sebuah perusahaan sawit. Para pekerjanya tinggal dalam mes sempit di tengah-tengah kebun sawit—jauh dari mana-mana. Dengan gaji sebesar Rp 1,5 juta per bulan pada pertengahan 2015 dan waktu yang terkuras habis di kebun, pendapatan mereka biasanya langsung habis untuk membayar utang beras, mie instan, telur serta kebutuhan sehari-hari lain dari warung.
Saya akan membenarkan kata-kata Dandhy, karenanya. Keibaan kita ada di tempat yang salah apabila ia menggugah kita merangsekkan pembangunan di pedalaman yang mengambil jalan pintas mengeksploitasi sumber daya alam wilayah setempat. Investasi semacam, yang lumrah berujung warga kehilangan kepemilikan lahan, kesuburan lingkungannya, atau bahkan sekadar lebih merasa mentereng apabila bekerja di perusahaan, memaksa mereka mengambil jalan memutar—jalan memutar yang sangat jauh—untuk sekadar hidup berkecukupan.
Kebiasaan mengasihani secara keliru ini bukanlah kebiasaan baru, tentu. Ia sudah dilakoni oleh Orde Baru yang mendefinisikan warga pedalaman sebagai masyarakat tertinggal—yang selanjutnya meringankan perasaan bersalah pada saat pemerintah menyerobot lahan yang sudah mereka miliki sejak sebelum Indonesia berdiri, membangun tanpa mengindahkan kepentingan mereka di atasnya, dan menyebabkan mereka tertinggal dalam arti yang sebenarnya.
Kebiasaan ini masih berlanjut sekarang. Dan merepotkannya, tongkat estafetnya disambut bukan saja oleh pejabat pasca-Reformasi di tingkat nasional melainkan juga oleh kepala daerah hingga kepala dusun. Investasi menjadi mantra magis yang hanya dipahami sebagai sinyal datangnya armada pembawa kemaslahatan ke daerahnya. Kemiskinan menjadi retorika yang diulang-ulang untuk menagih dan membenarkan pembangunan, kendati apa kemiskinan itu sendiri tak pernah sejatinya dipahami.
Dus, benar nampaknya apabila dikatakan, kita perlu lebih jeli lagi dengan rasa iba kita sendiri. Jangan iba kalau keibaan tersebut berujung petaka. Jangan iba dengan keibaan yang sekadar memuaskan kebutuhan heroisme kita sendiri.
Kolom Terkait: