Minggu, November 24, 2024

Setelah 100 Hari Tragedi Novel Baswedan

Mimin Dwi Hartono
Mimin Dwi Hartono
Staf Senior Komnas HAM. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
- Advertisement -
Novel Baswedan.

Meski Kapolri telah membentuk tim khusus untuk menguak teror yang menimpa penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan, tragedi dan peristiwa biadab yang sudah melewati 100 hari itu belum ada titik terang.

Karenanya, kalangan kelompok masyarakat sipil mendesak kepada Presiden Joko Widodo agar membentuk tim gabungan, salah satu alasannya karena selama ini teror atas para penyidik dan/atau terhadap pimpinan KPK belum pernah ada yang terkuak tuntas (Kompas, 14/4/17).

Namun, Presiden Jokowi masih mempercayakan pada Kapolri untuk mengusut karena berada di ranah kewenangan Polri. Tanggung jawab berat ada di pundak Kapolri yang dituntut untuk menguak kasus ini secara cepat, tuntas, dan transparan. Hal ini pasti tidak mudah dilaksanakan, namun bukan hal yang mustahil mengingat setiap kejahatan pasti ada jejaknya.

Novel Baswedan sendiri masih dirawat di Singapura karena luka yang diderita di kedua matanya cukup serius. Fungsi kedua mataya sangat terganggu oleh siraman air keras yang diduga dilakukan dua orang pelaku.

Motif Kejahatan

Tentu ada berbilang motif yang bisa menuntun penyidik menguak kasus yang sangat biadab ini. Yang paling mudah adalah dugaan bahwa motif teror terkait dengan kasus megakorupsi E-KTP yang sedang disidik oleh KPK di bawah koordinasi Novel. Saat ini setidaknya ada beberapa terdakwa dan beberapa tersangka kasus tersebut. 

Diduga kuat masih banyak calon tersangka baru mengingat kasus ini melibatkan banyak pihak dari jajaran eksekutif, legislatif, dan swasta. Jika benar, kemungkinan besar akan ada tokoh-tokoh politik yang akan terseret di dalamnya. Hal ini terbukti dengan penetapan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka pada 18 Juli 2017.

Motif pertama ini bisa menuntun bahwa diduga ada upaya dari pihak tertentu yang terlibat dalam kasus E KTP untuk menghalang-halangi KPK dengan cara “melumpuhkan” motor penyidiknya, yaitu Novel. Tentu tidak mudah bagi penyidik Polri menelusurinya karena banyak pihak yang diduga terlibat, namun motif pertama ini bisa jadi menjadi penuntun dalam proses penyidikan.

Motif lain bisa diduga dari kasus-kasus besar yang pernah ditangani Novel Baswedan, di antaranya kasus korupsi mesin Simulator SIM Korlantas Polri, korupsi Wisma Atlet SEA Games, korupsi cek pelawat pemilihan deputi senior Bank Indonesia dan kasus korupsi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar.

Patut diduga ada pihak yang terkait dengan kasus itu yang dendam dengan Novel sehingga memanfaatkan waktu di tengah konsentrasi KPK menyidik kasus E KTP. Karena yang “paling mudah” dijadikan “kambing hitam” atas teror Novel adalah kasus terkini yaitu E KTP. Penyidik Polri juga harus mencoba menelusuri motif kedua ini.

Terkait dengan konflik internal yang melanda KPK, terutama terkait dengan rekrutmen penyidik KPK dari luar (eksternal), bisa juga ditelusuri. Sebagaimana diketahui, Novel adalah salah satu pihak yang tidak setuju adanya penyidik KPK dari luar. Sebab, rekrutmen ini diduga akan melemahkan penyidikan dan pengembangan kasus korupsi EKTP. Novel mendorong adanya penyidik KPK yang independen.

- Advertisement -

Sikapnya yang “keras” ini sempat membuat Novel diberikan surat peringatan oleh pimpinan KPK karena diduga melanggar Peraturan KPK Nomor 10 Tahun 2016 tentang Disiplin Pegawai dan Penasehat KPK (Majalah Tempo, 3-9 April 2017). Surat peringatan itu akhirnya dicabut pimpinan KPK atas desakan dari para pegawai KPK yang membela Novel.

Motif lain di luar hal-hal di atas pasti ada, baik yang terkait secara kelembagaan atau pribadi. Namun, penyidik bisa memulai dari motif-motif utama yang bisa menuntun pada pihak-pihak tertentu untuk diperiksa.

Penyidik juga harus mampu untuk menjawab, mengapa teror dan tragedi atas Novel dilakukan dengan cara menyiramkan air keras ke bagian wajah dan mata? Mata adalah indra yang sangat penting untuk menunjang aktivitas seseorang, apalagi penyidik. Penyerangan itu diduga kuat bertujuan untuk merusak mata sehingga melumpuhkan kemampuan Novel meneruskan penyidikan kasus-kasus besar di KPK.

Lalu, jika tujuannya untuk melumpuhkan Novel, mengapa yang dipilih oleh pelaku adalah dengan menyiramkan air keras? Mengapa tidak memilih media lain yang jauh lebih efektif dan bisa menghilangkan jejak? Hal ini juga harus dikuak oleh penyidik.

Bisa jadi tujuan pelaku adalah meneror dengan pesan “jangan berani-berani” mengusut kasus tertentu, karena bisa bernasib seperti Novel. Ini adalah bentuk teror pada KPK dan juga bagi publik yang selama ini berada di samping KPK.

Tantangan Polri

Penyidik Polri pasti telah memiliki dugaan motif-motif utama dan bukti-bukti petunjuk yang bisa menuntut kasus ini supaya cepat terkuak. Hal ini karena modus dan cara kerja pelaku yang sangat terbuka sehingga semestinya bisa ditelusuri. Hal ini berbeda dengan kasus-kasus teror atau pembunuhan yang sangat rapi dan sistematis seperti kasus almarhum Munir, misalnya.

Presiden Jokowi telah memerintahkan Kapolri untuk mengusut tuntas kasus ini, jadi tidak ada waktu bagi penyidik untuk bekerja secara santai. Wibawa Polri dan Presiden dipertaruhkan. Penyidikan KPK atas kasus-kasus yang selama ini berada di bawah koordinasi Novel harus tetap berjalan untuk membuktikan bahwa KPK tetap solid dan berkinerja maksimal.

Awalnya, saya menduga, Polri tidak akan membutuhkan waktu yang lama untuk mencokok pelaku. Namun, ternyata tidak. Lantas, apakah penyidikan Polri akan sampai menguak kasus ini secara tuntas sampai pada aktor intelektualnya, Kapolri harus mampu dan mau membuktikannya. Nyali Polri tentu dipertaruhkan.

Publik menunggu perkembangan dan hasil penyidikan Polri sebagai bentuk kewajiban negara untuk melindungi hak atas keadilan dan hak atas rasa aman yang melekat pada Novel, juga hak publik untuk tahu dan demi masa depan pemberantasan korupsi. Sebab, Novel adalah wajah publik yang sudah muak dengan korupsi.

Baca juga:

Jangan Takut Melawan Koruptor

Setelah Setya Novanto Jadi Tersangka

KPK vs Koruptor: Kisah Tom & Jerry di Dunia Nyata

Mimin Dwi Hartono
Mimin Dwi Hartono
Staf Senior Komnas HAM. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.