Kompas edisi 28 Oktober 2016 menurunkan berita dengan judul “Presiden Joko Widodo Kembalikan Hadiah dari Perusahaan Minyak asal Rusia ke Komisi Pemberantasan Korupsi”. Disebutkan bahwa barang yang diduga sebagai gratifikasi tersebut diberikan oleh Rosneft Oil Company seusai Jokowi melakukan kunjungan ke Rusia pada 19-20 Mei 2016. Barang-barang tersebut berupa lukisan, satu set cangkir berwarna emas, dan sebuah plakat berwarna emas. Pelaporannya di KPK dilakukan oleh Kepala Sekretariat Presiden Darmansjah Djumala.
Kita mesti mengapresiasi sikap Presiden Jokowi, sebab hal ini menunjukkan bahwa ia sedang memberi teladan kepada pejabat kita. Benarkah barang pemberian dari perusahaan minyak Rusia tersebut dapat dikategorikan sebagai gratifikasi? Bagaimana pula konteks gratifikasi tersebut?
Sisi Historis Gratifikasi
Menurut sejarahnya, gratifikasi sudah terjadi di Indonesia sejak zaman kerajaan. Hal ini dikisahkan dalam catatan seorang Biksu Budha I Tsing – Zhang Wen Meng pada abad ke-7. Ketika itu saudagar-saudagar dari Champa (sekarang, Vietnam) dan China, sedang berusaha memperluas jaringan dagangnya ke Kerajaan Sriwijaya. Ini dilakukan sebab ketika itu Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat perdagangan yang paling berpengaruh di kawasan Asia Tenggara.
I Tsing mengisahkan bahwa para saudagar memberikan koin-koin perak kepada prajurit penjaga ketika mereka akan bertemu dengan pihak kerabat Kerajaan Sriwijaya yang menangani masalah perdagangan. Tujuannya adalah untuk membuka keran komunikasi sekaligus memuluskan usaha dagangnya.
Tidak sampai di situ, I Tsing kembali mengisahkan bahwa prajurit-prajurit kerajaan di wilayah Indonesia tanpa ragu-ragu meminta sejumlah barang pada saat saudagar-saudagar Champa dan China tersebut akan menemui kerabat kerajaan. Disebutkan bahwa jika para pedagang menolak memberikan apa yang diminta, maka prajurit kerajaan tersebut akan melarang mereka memasuki wilayah pekarangan kerajaan tempat mereka berdagang.
Kisah serupa terjadi juga pada saudagar Arab yang seringkali memberikan uang tidak resmi agar mereka diizinkan bersandar di pelabuhan-pelabuhan Indonesia saat itu.
Pemberian hadiah semacam ini terus berevolusi sebagaimana diungkapkan oleh Verhezen (2003) yang menjelaskan bahwa ada perubahan model pemberian hadiah pada masyarakat Jawa modern yang menggunakannya sebagai alat untuk mencapai tujuan bagi pegawai-pegawai pemerintah dan elite ekonomi. Pemberian hadiah bergeser ke arah suap.
Kajian serupa ihwal pemberian hadiah ini diungkapkan oleh Hakristuti Hakrisnowo (2006) yang intinya menyebutkan bahwa hadiah diberikan sebagai tanda kasih dan apresiasi kepada seseorang yang dianggap telah memberikan jasa atau kesenangan pada sang pemberi hadiah. Evolusinya kemudian menjadi lebih ekstrim, hingga kita mengenal istilah “komisi”: jatah pejabat yang memiliki ototitas tertentu.
Saat ini keadaan menjadi lebih terbuka dan transaksional. Orang-orang yang hendak berkomunikasi dengan pejabat tak segan memberikan sejumlah barang berharga, uang, dan semacamnya guna memuluskan suatu proyek atau kepentingan politik tertentu sebagai bentuk praktik politik gratifikasi modern.
Substansi Gratifikasi
Dalam sistem hukum nasional ketentuan tentang gratifikasi diatur dalam Pasal 12B, jo Pasal 12C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Agar tidak bias, saya akan mengutipnya secara lengkap: Pasal 12B ayat (1) setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: (a) yang nilainya Rp 10.000.000,00 atau lebih pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi. (b) yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 pembuktian bahwa gratifikasi tersebut sebagai suap dilakukan oleh penuntut umum.
Karena itu, bestandeel dari gratifikasi, paling tidak ada empat. Pertama, ada pemberian kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara. Kedua, pemberian tersebut berkorelasi positif dengan jabatan atau setidak-tidaknya berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Ketiga, pembuktian gratifikasi yang nilainya Rp 10.000.000,00 atau lebih ada pada penerima gratifikasi. Keempat, sedangkan gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 ada pada penuntut umum.
Dalam konteks demikian, secara teori dikenal term pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang. Artinya bahwa pembuktian ada tidaknya gratifikasi dapat dimulai dari penerima gratifikasi dan selanjutnya juga oleh penuntut umum. Hal ini selaras dengan asas actori incumbit onus probandi yang artinya siapa yang menuntut dialah yang membuktikan. Derivatif dari asas ini adalah actore non probante, reus absolvitur berarti jika tidak dapat dibuktikan terdakwa harus dibebaskan.
Pertanyaan kemudian adalah bagaimana bentuk gratifikasi tersebut? Dalam penjelesan Pasal 12B disebutkan bahwa yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan gratis dan sejumlah fasilitas lainnya. Pemberian ini berlaku baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Pada Pasal 12C ayat (1) disebutkan bahwa seorang penerima gratifikasi dapat saja tidak dipidana manakala ia melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK. Adapun jangka waktunya adalah 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. KPK pun diberi waktu 30 hari untuk menentukan status gratifikasi tersebut sebagai milik penerima atau milik negara.
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana bila jangka waktu pelaporan telah lebih dari 30 hari? Bayangan saya hal ini tidak dapat lagi diberlakukan Pasal 12C ayat (1) sebab telah melampaui waktu yang ditetapkan sehingga mutatis mutandis hal itu menjadi tindak pidana suap. Konsekuensinya KPK mesti melakukan penyidikan kepada penerima suap dan pemberi suap.
Dalam konteks pemberian gratifikasi dari perusahaan minyak Rusia, Rosneft Oil Company, kepada Presiden Jokowi, KPK seharusnya lebih cermat. Sebab, pemberiannya diterima pada Mei, sedangkan pelaporannya baru dilakukan pada Oktober 2016. Itu artinya jangka waktunya sudah lebih dari 30 hari. KPK seharusnya tetap konsisten menelusuri pemberian ini entah sebagai suap atau bukan.
Jadi, KPK tidak boleh menerima begitu saja laporan tersebut. Intinya, di satu sisi, kita patut mengapresiasi semangat Jokowi melaporkan pemberian yang diterimanya. Tapi, di sisi lain, kita juga mesti mengkritiknya, sebab waktu kejadiannya telah berbulan-bulan lalu tapi baru dilaporkan. Imbasnya, pandangan bahwa Jokowi sedang memperkuat pencitraan semata tak dapat dihindari.