Menaiki lift gedung sendirian di malam buta bukanlah pengalaman yang selalu menyenangkan. Imajinasi kita acap bergulir liar dan “kreatif.” Kita, misalnya, tiba-tiba dapat membatin, apakah kita benar-benar sendirian di dalam lift ini?
Bagaimana bila saat kita menoleh ke belakang, satu sosok asing sudah berdiri dan bergeming—memandangi kita dengan pose yang amat janggal? Bagaimana kita dapat melarikan diri seandainya skenario tak enak ini betul-betul kejadian? Adakah sesuatu yang dapat kita lakukan?
Ketakutan ini, saya yakin, bukanlah ketakutan satu-dua orang tertentu. Saya percaya, hal ini pernah setidaknya selintas mengganggu pikiran sebagian warga Jakarta. Dan, toh, dari cerita-cerita horor yang banyak menyebar dari mulut ke mulut, tak sedikit kisah horor ibu kota yang dimulai dari latar belakang serupa.
Anda pulang lembur terlalu malam atau Anda harus naik ke tempat tinggal Anda di lantai yang cukup tinggi. Anda tak ditemani siapa-siapa.
Salah satu kisah paling sohor yang berangkat dari latar semacam adalah kisah wanita berbau busuk di lift. Alkisah, ada seorang karyawan yang baru menyelesaikan pekerjaannya tengah malam hendak naik ke kamarnya di lantai atas. Sewaktu naik, liftnya berhenti dan terbuka di satu lantai. Seorang penumpang naik. Seorang wanita.
Seiring berpapasan, si karyawan menangkap pembawaan sang wanita yang tak wajar. Matanya pucat. Pandangan hampa. Rambutnya panjang dan terjuntai jatuh, menutupi sebagian besar wajahnya. Sang wanita, nampak tak berpikir apa pun, langsung berdiri di belakang karyawan.
Lift lanjut membawa keduanya naik. Si karyawan merasa tak nyaman—terlebih lantai tujuannya masih jauh. Jam pun menunjuk ke malam yang sudah larut. Tak akan ada orang lain lagi yang akan naik ke lift. Untuk apa wanita ini mengambil tempat di belakangnya? Si karyawan membayangkan sang wanita tengah menatapinya dengan ganjil. Mungkin pula, dengan lapar.
Bau busuk, seperti bangkai, sekonyong-konyong saja merebak di tempat sempit tersebut. Si karyawan tak dapat menahannya lagi. Ketakutannya semakin menjadi-jadi.
Dan wanita tersebut akhirnya mengeluarkan suara.
“Maaf, saya kentut.”
Baiklah, cerita barusan adalah sebuah kelakar. Namun, intinya, ia tak akan lucu—ataupun garing bila Anda lebih menganggapnya demikian—tanpa dimulai dengan premis-premis akrab pengalaman horor ibu kota. Dan mengapa, pertanyaannya, pengalaman di awal cerita tersebut merupakan pengalaman horor? Mengapa situasi yang demikian mendirikan bulu kuduk kita?
Ketakutan ini, saya percaya, menunjukkan bagaimana struktur kehidupan di Jakarta sukses menginsepsi warganya dengan perasaan kesendirian—terputus dan terpelanting dari warga-warga lainnya. Penggemar horor tahu betul, horor paling asyik ditonton sendirian, dan lebih baik lagi dalam gelap. Karena itulah katalis paling murni dari sensasi horor. Kita, seorang diri, digentayangi oleh ancaman tak terdefinisikan yang sewaktu-waktu dapat memunahkan diri kita.
Artinya? Artinya—sudah gamblang mungkin—kita acap merasa sendirian dan fana di kota ini.
Perasaan yang demikian, lucunya, pada kenyataannya, tak bisa lebih keliru. Terakhir saya periksa, Jakarta masih tercatat sebagai salah satu kota paling padat dunia. Dan barangkali saya perlu mengingatkan, tak ada orang yang benar-benar sendirian pada saat ia berada di sebuah gedung ibu kota. Warga yang memukimi satu gedung apartemen saja, bisa jadi, lebih membeludak dari warga satu kampung.
Namun, anehnya, tak banyak perasaan lebih sendirian dibandingkan berjalan melintasi koridor apartemen. Banyak cerita horor, ambil saja, dimulai dengan sang tokoh tengah buang hajat di kamar mandi kantor. Lantas, ada kepala menggelinding, atau ada suara tawa tanpa wujud, atau ada sosok misterius mengintip dari atas sekat WC. Di tempat yang seharusnya kita tahu sangat ramai tersebut, kita merasa tak punya siapa pun selain diri kita sendiri—tidak aman, telanjang.
Di sekeliling kita, kalaupun ada, adalah keberadaan-keberadaan asing yang bergentayangan. Siap menelan kita hilang sewaktu-waktu kita lengah. Setiap waktu mengingatkan kita dengan kefanaan kita.
Tetapi, bukankah hanya dengan demikian ibu kota menjadi ibu kota? Ibu kota adalah ibu kota karena ia dapat menghimpun sekian banyak penduduk hingga terkonsentrasi sangat padat, liat dalam satu wilayah. Dan, pada saat yang sama, ia membuat mereka semua merasa tercerabut satu sama lain. Sendiri di dalam keramaian, katanya.
Dan, satu tema yang lekat dengan Jakarta dalam pelbagai produk kebudayaan populer toh adalah kekejamannya. Hubungan dengan insan lain, yang seharusnya hangat, tak lebih dari selubung atas keculasan atau kepentingan vulgar. Anda, sejatinya, hidup untuk Anda sendiri dan oleh diri Anda sendiri.
Anda bisa mencomot film Warkop DKI atau Rhoma Irama sesuka Anda, misalnya, dan dengan segera mendapati tema ini menjadi penggerak narasinya. Anak perantauan datang ke ibu kota. Mereka datang dengan keluguan serta harapan yang meluap-luap hanya untuk mendapati kenaifan ini menjadi hal yang paling pertama mengkhianati mereka sebelum orang-orang yang mereka percayai. Kepercayaan mereka terhadap orang-orang justru mendatangkan pengalaman pahit tak terperi.
Kota ini tak ingin menolong Anda. “Sapa suru datang Jakarta,” ujar sebuah lagu. Penyanyinya, Melky Goeslaw, tak mengherankan, adalah perantauan dari Morotai, Halmahera.
Dan kawan saya, pada satu kesempatan, pernah menceritakan mengapa pengalaman mistik bukanlah hal yang asing kita alami bila kita tinggal di permukiman menjulang. Konon—konon lho—apabila kecelakaan kerja terjadi sewaktu pembangunannya dan kuli bangunan yang biasanya perantauan meninggal, orang-orang tidak akan menyusahkan diri untuk menguburkan mereka secara layak. Mereka akan dibenamkan dengan semen.
Jadi, katanya, tembok-tembok apartemen Jakarta diliputi dengan dendam. Dan ia berhantu, tentu saja.
Kebenaran cerita ini sangat bisa diragukan. Tetapi, bukan tanpa alasan cerita tersebut terasa masuk akal. Kita sudah terbiasa—terlalu terbiasa, bahkan—dengan hubungan yang mengasingkan manusia satu dari manusia lainnya. Dan karena itu kita cukup tega untuk membayangkan, orang-orang tega menguburkan rekan kerjanya sendiri dengan cara demikian.
Saya percaya, karenanya, kalau harus menamai genre film yang menggambarkan watak Jakarta, genre yang paling cocok adalah horor. Hal ini, tentu saja, tidaklah harus dimaknai memalukan. Situasi-situasi yang kita bayangkan horor, belakangan, toh, kian mendekati penggambaran setting kisah horor di Jepang atau Korea. Hantu bukan bergentayangan di pelosok yang sepi melainkan pojok-pojok urban yang seharusnya ramai.
Mungkin, itu tandanya, semakin hari kota ini semakin menjadi kota yang modern. Lengkap dengan hubungan antara manusianya yang kian terasing satu sama lain. Lengkap dengan kekejamannya kepada mereka yang menurunkan penjagaannya.
Dirgahayu Jakarta ke-489!