Minggu, Desember 22, 2024

Hegemoni Teks dan Arogansi Ilmiah Lewat Buku-buku

Iqbal Aji Daryono
Iqbal Aji Daryono
Esais, bertempat tinggal di Bantul.
- Advertisement -

Sadarkah Anda bahwa kita ini terlalu mengagung-agungkan buku? Saya tiba-tiba memunculkan praduga itu justru ketika kemarin ingin merayakan Hari Buku Sedunia 23 April. Ini kutukan yang sungguh tidak mengenakkan.

Suatu ketika, saya dikontak oleh seorang kawan, sebut saja namanya Mawar. Mawar yang sedang kuliah pascasarjana itu menanyakan beberapa hal kecil terkait kubu konservatif dan kubu liberal di Muhammadiyah. Setelah obrolan sana-sini, saya malah menyadari bahwa dia belum cukup bisa membedakan antara gerakan Tarbiyah (yang mewujud secara politik di Indonesia menjadi Partai Keadilan Sejahtera), Salafi, dan Hizbut Tahrir.

Jadi, ada sebuah kalimatnya yang kira-kira menyatakan bahwa kelompok PKS dengan dukungan dana dari Arab Saudi berjuang mendirikan khilafah.

Para mantan anak rohis pasti paham, ada masalah dalam pernyataan tersebut. PKS termasuk jaringan transnasional Ikhwanul Muslimin. Mereka bukan underbouw Arab Saudi. Yang ngegrup dengan Saudi itu kelompok Salafi, dan kelompok itu sangat tidak suka dengan Ikhwanul Muslimin. Belum lagi soal khilafah. Kampanye khilafah yang selalu kita dengar secara terang-terangan itu dijalankan oleh Hizbut Tahrir, bukan PKS. Begitu gambaran simpelnya, meski peta turunannya bisa lebih rumit lagi.

“Lho, tapi di buku berjudul Anu, disebutkan begitu, Mas. Ada buku yang mendukung pernyataan Mas Iqbal tidak? Apa judulnya?” sambar Mawar.

Saya menjawab tidak. Saya belum pernah membaca buku yang sesuai dengan pandangan saya itu. Tapi, saya tahu bahwa buku yang dibaca Mawar itu salah. Basis bantahan saya atas buku bacaan Mawar itu adalah pengalaman dan pergaulan.

Saya sendiri mantan anak Tarbiyah, dan dari pandangan resmi para murobbi (guru) saya di Tarbiyah, saya tahu bahwa mereka juga memendam rivalitas tertentu dengan salafi dan HTI. Selain itu, saya pun punya beberapa teman salafi dan HTI. Dari segenap pernyataan mereka, saya tahu pasti bahwa kalimat dalam buku yang dibaca Mawar itu ngawur. Pendek kata, ketiga kelompok itu bukan entitas tunggal sebagaimana sekilas digambarkan dalam buku yang dibaca Mawar.

“Oh, kalau tidak ada sumber tertulisnya, aku tidak bisa menggunakan argumen Mas Iqbal untuk membantah buku yang aku baca itu, Mas”, sambung Mawar.

Saya tercenung.

***
Jadi, urusannya hanya soal buku dan bukan buku? Di titik ini, saya disodori realitas politik kebudayaan yang absurd: bahwa batas antara benar dan salah ditetapkan semata-mata oleh tulisan. Sebuah pernyataan yang saya yakin itu benar dan berbasis pengalaman konkret dianggap tidak punya kekuatan apa-apa hanya karena ia tidak tertulis dan tidak dibukukan. Adapun pernyataan yang amat sembrono serta merta diposisikan ilmiah hanya karena ia diketik lalu dijilid sehingga berbentuk buku.

- Advertisement -

Imajinasi saya pun menjadi liar. Sekarang, bagaimana kalau saya mengatakan bahwa Republik Indonesia didirikan oleh pasukan alien dari Planet Blubblubblub, lalu pernyataan itu saya ketik, saya print, kemudian saya jilid? Apakah serta-merta ia menjadi berkualifikasi ilmiah? Bukankah perbedaan antara buku dan bukan buku hanyalah di soal format fisik belaka?

Jika ya, apakah saya bisa mengatakan: “Heh, jangan asal mencela teori saya atas alien Planet Blubblubblub! Kalau mau membantah, bantahlah dengan buku! Buku dibalas buku! Tulisan dibalas tulisan!” Apakah akan semulia itu klaim historis saya atas Indonesia, hanya karena ia saya cetak dan saya jilid?

“Sembarangan! Perbedaan buku dan bukan buku ya bukan cuma di soal jilidan, lah! Ada cover, ada nama penulis yang jelas, ada nomor ISBN! ISBN itu diberikan oleh Perpustakaan Nasional, Bung! Jadi buku yang punya ISBN jelas diakui oleh lembaga sekelas Perpustakaan Nasional!”

Hehehe. Saya mantan pekerja buku, dan pernah bertahun-tahun menjalankan usaha mencari nafkah dengan menerbitkan dan menjual buku-buku. Saya pernah menerbitkan buku mulai yang bertema serius, sampai sekadar kumpulan humor. Saya juga punya banyak teman seprofesi yang waktu itu menerbitkan buku kumpulan SMS lucu, kumpulan kisah-kisah misteri yang tidak jelas sumbernya, yang kalau di zaman internet ini Anda temukan pasti Anda tak akan sudi membacanya.

Apakah Anda kira buku-buku sampah semacam itu tidak punya ISBN? Ya jelas punyaaaa! Cari ISBN itu perkara gampang, dan pihak Perpustakaan Nasional tidak berurusan sama sekali dengan isinya.

Lantas, apa yang terjadi sehingga sekarang ini semangat literasi melulu cuma dilekatkan pada buku-buku? Bagaimana nasib sumber-sumber pengetahuan selain buku, yang seakan-akan langsung ambruk martabatnya di hadapan buku-buku?

***
Ada cerita yang lain lagi. Dalam satu diskusi tentang literasi, kami berbincang tentang betapa tingginya marwah teks. Dengan teks, dengan catatan-catatan tertulis, setiap produk pengetahuan bisa senantiasa kita periksa, kita uji akurasinya, kita benturkan dan kita verifikasi bersama dalam sebuah skema dialektika, dan dari situlah teks menemukan kejayaannya.

Seorang anak muda mendebatnya. “Mohon maaf, saya ini dari suku Bajo. Kami orang laut, tradisi kami tidak akrab dengan aksara. Tapi kami punya sistem pengetahuan yang sangat kompleks, diwariskan turun-temurun, diuji validitasnya dalam pengalaman-pengalaman nyata di kehidupan kami, dihapalkan oleh para orangtua dan diteruskan kepada anak-anak mereka. Apakah artinya kami ini orang-orang yang buta literasi?”

Tentu saja para pembela teks kelabakan mendengarnya. Betul juga, pikir saya. Memang ada adagium Latin kuno berbunyi “Verba Volant Scripta Manent”. Apa yang terkatakan akan segera lenyap, apa yang tertulis akan abadi. Dengan teks, produk-produk pengetahuan memang akan bertahan berabad-abad. Namun, bukankah apa yang disebutkan oleh peribahasa tersebut tak lebih dari perkara teknis konservasi pengetahuan?

Sekarang, ketika pilihan instrumen konservasi informasi sudah semakin luas dan tak cuma berhenti pada kekuatan teks, apakah ayat suci literasi tersebut masih relevan? Apakah tidak mungkin kita mengabadikan pengetahuan dengan rekaman suara, dan lebih-lebih lagi dengan citra audio-visual?

Itu pertanyaan dari level paling lugu. Yang lebih jauh, kita bisa melompat sekian milenium ke belakang. Apakah dengan arogan kita akan menyebut tradisi lisan masyarakat-masyarakat klasik sebagai tradisi yang nir-literasi, lalu secara otomatis karakter tersebut kita maknai sebagai keterbelakangan? Tak peduli masyarakat-masyarakat kuno tersebut mampu membangun peradaban yang sophisticated, tapi karena tidak cukup banyak produk pengetahuan tertulis warisan mereka yang dapat kita akses, artinya mereka bodoh dan terbelakang! Oh, begitukah?

Jika literasi kita maknai sebatas kemampuan teknis untuk memahami informasi dan pengetahuan dari deretan aksara, maka benarlah bahwa orang Bajo nir-literasi. Akan tetapi, rasanya telah muncul pergeseran makna literasi saat ini, sehingga menjadi semacam cara pandang yang penuh penghakiman: “Literasi dibangun dari buku-buku, kalau mau pintar bacalah buku, yang tidak baca buku sudah pasti tak akan pernah pintar.” Dengan pergeseran semacam itu, perlu kita bongkar lagi makna literasi, sekaligus klaim-klaim yang menyertainya.

Literasi itu sikap mental. Itulah yang kemudian saya percaya. Sikap literate bukan sesederhana sikap mau membaca teks, apalagi sekadar mau membaca buku. Literasi adalah sikap rakus akan pengetahuan, sekaligus sikap berusaha memahami pengetahuan dengan holistik dan komprehensif, dari beragam sudut pandang, dan proses pemahaman itu dijalankan dengan kritis bahkan skeptis. Tanpa sikap semacam itu, mau kita membaca sejuta buku pun, kita tidak akan pernah sampai ke titik kualitas literate yang sejati.

Kalau tidak percaya, coba periksa berbagai berita, apakah Anda kira para teroris penghancur kemanusiaan itu tidak membaca buku-buku? Hoho, jangan salah. Mereka membaca. Bedanya, mereka hanya membaca hanya dari satu perspektif saja. Sekarang bayangkan Anda membaca seribu buku, tapi semua buku tersebut hanya menyajikan satu sisi sudut pandang. Apakah Anda akan tega mendaku diri sebagai pendekar literasi?

Bahkan bukan cuma teroris, sebab ekstremisme bisa menimpa siapa saja. Saya sering menjumpai orang-orang yang sangat banyak membaca buku tapi rasa-rasanya jauh dari kualitas literate. Mereka kadung meyakini satu teori sosial, misalnya, atau satu teori sejarah tentang sesuatu. Kemudian mereka membaca ratusan buku dari sudut pandang yang sama belaka, yang menetapkan pendapat yang mereka pegang itu sebagai kebenaran tunggal yang tak terbantahkan.

Walhasil, ketika mereka mendengar ada orang lain yang menyodorkan pandangan berbeda, yang tidak cocok dengan teori yang sudah mereka pegang erat-erat tadi, mereka berkata, “Haesss, kamu itu kurang baca buku!”

Sikap genit semacam itu tumbuh karena ukuran “banyak membaca buku” ditetapkan hanya dari jumlah bukunya, bukan jumlah dan variasi sudut pandangnya. Di situlah akar masalahnya. Saya pribadi tidak ikhlas jika para ekstremis-akademis semacam itu dianggap layak sebagai wakil jagat literasi. Tapi itu cuma pendapat saya. Nggak tahu kalau pendapat Mbak Hanum dan Mbak Tsamara.

***
Yang jelas, telah terjadi glorifikasi masif dan sistematis atas buku-buku. Pengalaman nyata yang tak tertulis dikalahkan martabatnya oleh buku-buku. Masyarakat berkebudayaan dan berpengetahuan tinggi dianggap terbelakang hanya karena mereka tidak menyentuh dan memproduksi buku-buku. Para ekstremis akademis yang membaca seribu buku dari sudut pandang yang sama merasa lebih intelektuil dibanding orang yang membaca sedikit judul tapi banyak perspektifnya.

Hasilnya adalah hegemoni teks, bahkan arogansi ilmiah lewat buku-buku. Literasi ditegakkan hanya dalam makna wadahnya, bukan spirit yang membangunnya.

Jika ini terus dibiarkan, semangat kita dalam merayakan buku-buku akan terperosok dalam absurditas penetapan 23 April sebagai Hari Buku Sedunia. Konon, tanggal ini awalnya dipilih sesuai dengan tanggal kematian Miguel de Cervantes, pengarang novel Don Quixote. Dengan latar seperti itu, pantas saja jika kadangkala para pembaca buku tumbuh jadi jenis-jenis manusia halu yang—seperti halnya Don Quixote de La Mancha—merasa sedang menyerbu raksasa, padahal hanya ada kincir angin di hadapannya.
Hahaha.

Mari tetap membaca buku. Tapi ingatlah bahwa kebenaran dan hakikat semesta raya tidak akan bisa kita pahami cuma dari buku-buku.

Iqbal Aji Daryono
Iqbal Aji Daryono
Esais, bertempat tinggal di Bantul.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.