Kamis, April 25, 2024

Hanan Attaki dan Juri KDI Tidak Spesial dan Memang Merepotkan

Patresia Kirnandita
Patresia Kirnandita
Pengajar nontetap Komunikasi UI; Peneliti independen isu budaya populer, gender, dan seksualitas.

Pekan lalu, salah satu video ceramah Hanan Attaki beredar di media sosial dan mengundang aneka komentar dari warganet. Pasalnya, dalam video itu, sang ustadz menceritakan sekilas tentang istri Nabi Muhammad, Aisyah, lantas merelasikan kesalehan perempuan dengan bobot tubuhnya.

Pada sekitar menit ke-49 video yang diunggah Islamic lamp.net tersebut, Hanan mengatakan bahwa salah satu ciri perempuan saleh adalah berberat tidak lebih dari 55 kilogram sebagaimana Aisyah. Terkait pengetahuan tentang bobot tubuh Aisyah, ia menerangkan, “Kata para sahabat yang membawa tandu Aisyah, Aisyah itu lebih ringan daripada tandunya dan tandu itu beratnya sekitar 55 kilo.” Lebih lanjut Hanan Attaki berujar, bila ibu-ibu yang menonton ceramahnya pulang, menimbang berat badan dan mendapati angka 56 kilogram, berarti mereka kurang saleh.

Terdengar suara tawa dari para pendengar ceramah Hanan Attaki di video itu, entah karena geli mendengar kata-katanya atau merupakan siratan ejekan karena tak sepaham dengan sang ustadz.

Dari petikan pernyataan itu, Hanan mengisyaratkan bahwa menjadi seorang Muslim sepatutnya berpenampilan menarik. Tidak hanya mengisahkan soal Aisyah, Hanan juga menggambarkan tubuh Nabi Muhammad yang proporsional dengan perut six pack atau perut yang bak kertas dilipat.

Warganet yang mengkritisi ucapan Hanan Attaki menilai, fisik seseorang tidak bisa menjadi ukuran keimanannya. Sementara di sisi pendukung Hanan, ada yang mencerna pesan Hanan sebagai kalimat-kalimat yang memotivasi perempuan untuk melangsingkan badan, baik demi kesehatan maupun demi membuat suami tidak melirik perempuan lain. Ada pula yang berkomentar bahwa bagian ceramah tersebut hanyalah guyonan dan sepatutnya ceramah sang ustadz disimak secara menyeluruh untuk dapat menangkap pesannya.

Buat saya, terlepas apakah pernyataan Hanan Attaki berupa kiasan atau denotatif, sekadar teknik mengisahkan tokoh teladan, maupun diinterpretasikan sebagai gurauan untuk mencairkan suasana, tersirat pelanggengan gambaran tubuh dan sikap perempuan yang ideal sebagaimana ditemukan dalam teks-teks lain. Dari buku dongeng sampai drama di layar lebar, tokoh utama perempuan kerap digambarkan cantik dan langsing sehingga banyak anak perempuan yang bermimpi untuk jadi sepertinya, bukan? Dalam sejumlah lirik lagu, disebutkan bahwa keayuan seseorang diperuntukkan bagi pasangan atau suami semata. Dari dekade ke dekade, perolokan terhadap fisik seseorang sudah dipakai dalam pertunjukan komedi di mana-mana, dan suara yang mengkritiknya tetap terempas gelak tawa penikmat komedi tersebut.

Mundur ke berita sebelumnya, ada video juri-juri KDI mengomentari penampilan Sofia, salah satu perempuan peserta audisi dari Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Remaja 16 tahun itu tak berdandan dan hanya mengenakan setelan jaket dan celana jeans. Belum sempat ia menunjukkan talentanya, Trie Utami, Iis Dahlia, dan Beniqno Aquino menembakinya secara bergantian dengan kata-kata pedas, kemudian meminta Sofia mempercantik diri terlebih dahulu sebagaimana para peserta audisi lain. Setali tiga uang dengan kasus video viral Hanan Attaki, video ini pun mendatangkan komentar mendukung juri serta banjir cerca untuk mereka di dunia digital.

Standar Ideal dan Rasa Malu: Dua Sisi Mata Uang

Ke mana pun seseorang melangkah, penghakiman dari orang-orang sekitar sudah menjadi garansi. Karena itu, ungkapan Hanan Attaki dan para juri KDI sebenarnya adalah suatu kelaziman, hal yang dinormalisasi di kehidupan sehari-hari, cuma bedanya, hal tersebut berimplikasi lebih besar karena melibatkan media. Dari kacamata saya, baik video ceramah Hanan maupun video audisi KDI memperlihatkan sikap mempermalukan pihak tertentu. Bedanya, dalam audisi KDI—terlepas ini setting-an produsen konten atau bukan—, upaya mempermalukan seseorang dilakukan secara frontal, sementara dalam ceramah Hanan, upaya sejenis dilakukan secara lebih halus dengan narasi religius, seolah mengajak orang-orang di luar kriteria saleh untuk memperbaiki diri sesuai “standar” atau teladan tertentu.

Para juri KDI serta Hanan Attaki bisa melontarkan pernyataan macam itu karena dianggap memiliki posisi lebih tinggi atau punya kapasitas tertentu dibanding Sofia dan para pendengar ceramah. Namun, situasi mempermalukan juga dapat ditemui dalam tataran non-hierarkis seperti antarteman atau bahkan sesama orang asing. Terkait hal ini, Sharyn Davies, dalam salah satu bab buku Seksualitas di Indonesia: Politik Seksual, Kesehatan, Keragaman, dan Representasi (2018), membahas mengenai bagaimana rasa malu mengendalikan tindak-tanduk seseorang, dan salah satu praktik penerapan rasa malu yang efektif datang dari teman sejawat individu.

Rasa malu yang ditanamkan dalam diri seseorang mendorong regulasi dirinya tanpa perlu 24 jam orang-orang mengawasinya. Pasalnya, restriksi dan standar ideal yang berlaku di suatu masyarakat menumbuhkan harapan tertentu dalam diri seseorang—entah agar diterima masyarakat, tidak mendapat hukuman, atau menjadi yang paling unggul. Karena saya tidak mau dipersekusi, saya tidak akan tinggal serumah dengan orang yang bukan pasangan saya; Saya ogah dikatai jelek, maka saya harus memakai kosmetik ke mana pun saya pergi; Saya tidak mau dipandang ketinggalan zaman, jadi saya harus mengikuti setiap tren busana yang ada; Laki-laki tentu lebih senang dengan perempuan langsing dan tidak berselulit, maka lebih baik saya berdiet dan memakai krim antiselulit.

Yang juga menarik dari gagasan Davies adalah rasa malu begitu ampuh mengontrol perilaku karena tidak hanya individu yang (dianggap) melanggar norma atau melupakan standar saja yang menjadi sasaran, tetapi kerabatnya juga dapat menerima perolokan. Pernah mendengar bisik-bisik sekitar semacam “Eh, itu ibunya si anu yang keterbelakangan mental itu kan?”, “Liat deh, bapak itu, gimana sih dia ngedidik anaknya sampai bisa jadi pencuri begitu?”, “Oh, ini toh kakaknya cowok yang gay itu”? Itu secuil contoh upaya mempermalukan lebih dari satu individu yang dinilai menyimpang.

Dalam kedua video di atas, yang menjadi sasaran untuk dipermalukan adalah tubuh. Kendati dari sudut pandang biologis tubuh dimiliki secara individual, lain halnya dengan tubuh dari perspektif sosial budaya. Mulai dari saat kanak-kanak hingga dewasa, tubuh seseorang senantiasa menjadi “benda” yang diikat dengan aturan, norma, atau nilai yang diamini masyarakat mayoritas. Kredo “tubuhku otoritasku” tidak lebih dari suara bisikan jika dibandingkan dengan narasi moralitas yang digaungkan di aneka institusi dan oleh individu-individu. Hal ini lebih terasa di masyarakat yang kolektivitasnya begitu kental dan memegang teguh tradisi atau standar arus utama.

Di samping itu, yang disasar juga tidak melulu yang kasat mata seperti tubuh tadi. Pola pikir, pilihan tindakan, curahan perasaan, atau celetukan pun dapat dijadikan objek shaming di mana pun dan kapan pun. Terkait hal ini, saya pernah meneliti soal ilustrator-ilustrator perempuan Indonesia yang dipermalukan di media sosial karena mereka membuat gambar-gambar erotis. Ujaran pedas dari orang asing atau kenalan yang sering mereka terima antara lain “perempuan tidak seharusnya mesum”, “karyamu adalah pornografi”, “kamu tidak bermoral dan beragama”, “apa kamu tidak malu kalau nanti anakmu melihat gambarmu?”, dan “jangan pakai nama keluarga lagi di media sosialmu”.

Mengapa Orang Mengikuti dan Menegakkan Standar Ideal?

Selain adanya anggapan bahwa tubuh dan tindakan seseorang senantiasa dikontrol oleh aturan dan norma, maraknya upaya mempermalukan seseorang juga didorong oleh menyurutnya keinginan individu untuk menerima pandangan yang berbeda. Keengganan untuk menerima perbedaan berelasi dengan sikap konformis yang tinggi terhadap pihak-pihak yang mengamini standar ideal, ketakutan terhadap hal baru dan berbeda, tingkat empati dan apresiasi yang merangkak, atau meroketnya sifat narsisis dan dominan dalam diri seseorang.

Di situasi yang tekanan konformitasnya besar, jauh lebih mudah menggadang-gadang keyakinan “memang begitulah sesuatu seharusnya menjadi” (sesuai dengan standar ideal yang dipercaya) dibanding menjajal berpikir “kayaknya pandangan dia ada benarnya juga”. Menggadang-gadang soal bentuk dan bobot tubuh ideal tentu seperti membalikkan telapak tangan ketika media-media arus utama membombardir publik dengan gambar-gambar laki-laki dan perempuan yang dilabeli “seksi”, “menarik”, atau “idaman”. Di kondisi tirani pun tidak jauh beda. Lihat para perundung yang berlaku semena-mena kepada anak-anak “cupu” di sekolah. Lirik juga kelompok radikal yang merasa diri mereka paling suci dan lainnya penuh dosa.

Sebagian orang merasa lebih nyaman dan aman bila mengalir seiring arus atau menjaga status quo sehingga hal baru selalu dianggap sebagai ancaman. Hal ini boleh dibilang alamiah mengingat bagaimana nenek moyang kita berjuang tetap hidup di belantara ketidakpastian dahulu kala. Kendati demikian, jika ini terus ditumbuh-kembangkan dalam kehidupan masyarakat dengan ragam karakteristik dan pola pikir, artinya kita memupuk rasa terintimidasi dan kecemasan yang justru mendestruksi diri pada akhirnya. Pendapat warganet yang menangkap pesan Hanan Attaki sebagai motivasi melangsingkan diri agar pasangan tak berpaling ke perempuan lain adalah satu contoh jelas mengenai bagaimana standar ideal yang dicekokkan ke seseorang mengompori rasa terintimidasi dan kekhawatirannya.

Menengok Kembali Nilai yang Diyakini

Orang-orang yang bersikukuh standar ideal yang dipegangnya paling baik dan benar kerap kali tidak mempertanyakan kembali hal tersebut. Ada yang menyebutnya iman yang buta, memanggil mereka orang-orang ignorant—yang dianggap lebih buruk dari bodoh—, atau konvensional.

Harapan untuk mempertahankan standar ideal dan kesamaan pemikiran tanpa melirik kanan-kiri menurut saya dapat berujung pada tumbuh suburnya potensi diktator-diktator kecil dalam diri. Orang-orang yang berharap demikian akan menjadi teror-teror bagi sesama yang berusaha bersuara berbeda. Sementara imbas bagi orang-orang itu sendiri adalah membonsai dirinya ketika kesempatan untuk menjulang dan rindang terbuka di depan mata.

Kenapa mempercayai suatu pandangan atau memegang suatu nilai bisa mengerdilkan diri? Dalam The Subtle Art of Not Giving a Fuck (2016), Mark Manson berkata bahwa salah satu hal yang kerap membuat diri merasa gagal adalah nilai-nilai yang disetel di benak.

Jika seseorang terus menerus percaya bahwa menjadi cantik sesuai standar di majalah adalah kebenaran, seumur hidup dia akan menghabiskan energi, waktu, dan materi untuk menjadi seperti demikian terlepas dari nyaman-tidaknya serta sehat-tidaknya dia. Kecenderungannya untuk menjadi perfeksionis dan obsesif terhadap kecantikan dapat membuatnya abai bahwa ada hal lain di samping aspek fisik yang bisa dikembangkannya. Bila seseorang yakin bahwa kesuksesan diukur dengan kepemilikan materi sehingga harus bekerja bagai kuda siang-malam, ia dapat merasa kesepian di kemudian hari dan mengabaikan hal-hal kecil yang lewat dalam kehidupannya—yang mungkin justru membuatnya lebih senang dan merasa berkecukupan.

Sah-sah saja kok, bila seseorang ingin cantik atau punya banyak materi, ingin dipandang saleh, pintar, atau terkenal. Boleh-boleh saja punya nilai yang diyakini benar. Namun yang menjadi pertanyaan, bagaimana mewujudkan keinginan dan nilai tersebut dan mengapa ingin demikian. Apakah ketika mewujudkan keinginannya ia merugikan diri sendiri atau orang lain? Mengapa seseorang merasa perlu atau mau mewujudkan keinginannya? Apakah tindakan mewujudkan keinginan tersebut berakar dari dikte pihak otoritatif atau media, rekomendasi orang terdekat, ketakutan dianggap buruk, hasrat untuk menyenangkan orang lain, atau kehausan akan approval dari orang lain? Dalam berinteraksi dengan orang-orang lain, apakah mereka harus punya keinginan, pemikiran, atau nilai yang sama dengan dia? Dan, apa yang akan ia lakukan bila orang-orang lain menolak gagasannya?

Patresia Kirnandita
Patresia Kirnandita
Pengajar nontetap Komunikasi UI; Peneliti independen isu budaya populer, gender, dan seksualitas.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.