Tahun Baru Islam 1438 Hijriyah kali ini bertepatan dengan hari lahir Mahatma Gandhi, 2 Oktober. Selain, setiap tahun, ia bertepatan dengan dimulainya visi hijrah Sayyidina Husain, cucu Nabi Muhammad itu, pada 1 Muharram menuju Kufah, Irak, untuk menemui pecintanya menggelorakan revolusi melawan rezim bengis Yazid bin Muawiyah dari Dinasti Umayyah.
Persis seperti yang dilakukan datuknya, Nabi Muhammad. Namun, Husain yang malang itu, sebelum sampai ke Kufah, dihadang di Karbala, Irak, oleh pasukan Yazid pimpinan Umar bin Sa’ad, dibantai di sana secara amat mengerikan pada 10 Muharram.
Maka, menarik dan penting kiranya menyelipkan renungan tentang apa yang diperjuangkan dua orang besar dalam sejarah itu sebagai bagian dari refleksi awal tahun kita kali ini.
Gandhi, Husain, juga Bunda Teresa, dan kita bisa terus menambah daftar nama itu, bukan lahir dari satu agama. Mereka berasal dari agama yang berbeda. Namun, sebagaimana ditegaskan Gandhi, juga Husain, bahwa perjuangan mereka adalah demi Kebenaran. Sesuatu yang menjadi hulu sekaligus hilir semua agama. Bahkan “Tuhan tak punya agama… Melainkan Tuhan adalah Kebenaran,” kata Gandhi. Mirip terminologi para sufi: “Tuhan adalah Al-Haqq (Kebenaran)”.
Agama turun silih berganti, namun Kebenaran tetap dalam keabadiaannya, terselip dalam setiap agama. Kebenaran itulah yang diimani dan diperjuangkan oleh Gandhi, Husain, Bunda Teresa, dan “Mahatma-mahatma” yang lain dari berbagai agama.
Bagaimana Kebenaran itu mereka imani dan perjuangkan? Jalan damai, tanpa kekerasan!
Dalam film tentang Gandi besutan Richard Attenborough yang begitu apik itu, digambarkan bagaimana sejumlah demonstran tegak tak melawan ketika polisi kolonial Inggris datang menghantam mereka dengan tongkat. Husain sejak awal kepada kafilah-nya hingga di detik akhir kepada tentara yang mengepungnya menegaskan bahwa ia tak datang untuk berperang.
Ia membawa wanita dan anak-anak sebagai simbol atas pesan dan komitmennya itu. Hanya 73 orang dalam kafilah Husain itu. “Aku keluar bukan untuk merusak, melainkan perbaikan bagi umat datukku. Aku ingin beramar ma’ruf dan nahi munkar,” kata Husain dalam kutipannya yang begitu populer.
Lihatlah bagaimana Gandhi dan Husain memutar roda kebengisan: membalas kekerasan dengan kedamaian untuk memotong dan menghentikan roda kekerasan yang seringkali menjadi lingkaran setan di mana kekerasan dibalas niat tulus yang diimplementasikan dengan kekerasan juga dan begitu terus tak henti-henti. Amar ma’ruf dan nahi munkar ditegakkan dengan kedamaian.
Sebagaimana datuk Husain yang mengampuni masyarakat Thaif yang memprosekusinya, atau ketika ia memaafkan kafir Quraisy yang menindasnya justru saat ia berada “di atas angin” dalam Fathu Makkah. Lantaran itu pula, Faqih Muqaddam, founding father Thariqah ‘Alawiyah melakukan gebrakan simbolis pematahan pedang untuk memutar paradigma dan pola gerakan dakwah menjadi tasawuf-kultural, bukan lagi perang dan penaklukan.
Itu semua kemudian menjadi “ajaran” bagi siapa saja yang merenungkannya. Gandhi mempopulerkannya dengan “Ahimsa”. Menginspirasi dunia, lintas zaman. Pemuda di Cina berdiri sendiri di tengah jalan menghadang barisan tank yang menderu ke Tiananmen. Puluhan mereka tewas dibabat ambisi yang meronta-ronta.
Di Iran, para demonstran dalam revolusi di sana membalas kekerasan dengan “sekadar” seruan damai. Yang paling baru, Rachel Corrie pada Maret 2003 berdiri menghadang buldozer Israel yang mau menghancurkan rumah keluarga Palestina hingga ia gugur bersama puing-puing rumah di belakangnya yang dibuldozer.
Pada akhirnya, justru dengan itulah “kemenangan” bisa dipastikan. Kekerasan atau peperangan sejatinya tak pernah melahirkan kemenangan bagi siapa saja, melainkan kehancuran bagi yang kalah dan kehinaan bagi yang menang. Adapun penempuh jalan Ahimsa, jika pun kalah, pada aspek kesejatian, mereka sesungguhnya menang: dalam kematian mereka syahid, dan dalam sejarah mereka menang.
Maka, ketika Yazid bertanya pada Sayyidah Zainab tentang apa yang dia lihat pada kepala Husain yang telah terpenggal, wanita itu menjawab, “Sungguh tak kulihat kecuali keindahan.” Sebuah jawaban yang tak logis, bahkan menggelikan bagi mereka yang tak mengenal Ahimsa.
Namun, bagi penempuh jalan Ahimsa, kekalahan itu indah lantaran ia kemenangan sejati. Lihatlah bagaimana para penempuh jalan Ahimsa dari Husain hingga Corrie abadi dikenang sejarah sebagai pahlawan, inspirasi, dan ajaran. Ia menjadi Kebenaran yang menyejarah. Sehingga, kata Gandhi, “Husain sungguh mengajarkanku bagaimana menjadi pemenang dalam keadaan tertindas.”
Dari mana semua itu bersumber? Dari “Cinta”! Tak ada kebencian. Kebencian hanya pada perbuatan yang itu muncul justru lantaran kecintaan kita pada pelakunya. Sehingga bahkan bencana yang diturunkan Tuhan atas seseorang sekalipun berada dalam koridor Cinta-Nya pada makhluk-Nya: sebagai peringatan, dan semacamnya.
Maka, “Kebenaran” itulah yang seharusnya menggolong-golongkan kita dalam satu lanskap, bukan agama. Kita berdiri bersama dalam “Kebenaran”, dalam barisan manusia-manusia terbaik, khayr al-bariyyah melawan manusia-manusia terburuk, syar al-bariyyah. Apa pun agamanya. Sebagaimana Ibrahim-Namrud, Musa-Fir’aun, Muhammad-Abu Sufyan, Husain-Yazid, Ghandi-kolonialis Inggris, Corrie-Israel, dan kita: bersama siapa kita dan melawan siapa kita?