Setelah kembali memasuki Gaza, Israel melanjutkan operasi daratnya dengan tujuan ganda: memerangi kelompok bersenjata dan secara bertahap mencaplok wilayah. Strategi yang diperkirakan meliputi evakuasi penduduk di selatan, perluasan area kontrol, dan pembentukan zona penyangga keamanan yang lebih besar. Menteri pertahanan Israel secara terbuka memperingatkan Hamas bahwa kelambanan dalam membebaskan para sandera akan mengakibatkan Israel terus memperluas cengkeramannya dan pada akhirnya menguasai sebagian Gaza secara permanen. Kondisi ini menandai kembalinya konflik dengan eskalasi yang signifikan.
Sementara itu, di sekitar Gaza, Israel memperkuat serangannya terhadap Hamas. IDF telah mengaktifkan kembali operasi darat yang ditargetkan, berhasil mengamankan titik-titik strategis hingga ke pusat poros Narim. Keberhasilan ini memungkinkan pasukan Israel untuk mengendalikan wilayah Gaza Tengah dan Selatan, sekaligus memperluas zona keamanan dan menciptakan batas pemisah sementara antara utara dan selatan.
Di sisi lain, Israel juga bergulat dengan konflik internal. Kemarin, gelombang protes besar melanda Yerusalem, di mana ratusan demonstran menyerukan agar Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mundur dari jabatannya. Gelombang ketidakpuasan terhadap pemerintah ini mulai muncul sejak Selasa, ketika gencatan senjata berakhir. Namun, pemecatan Kepala Badan Keamanan Dalam Negeri (Shin Bet), Ronen Bar, menjadi katalisator baru yang memicu demonstrasi lebih lanjut kemarin.
Shin Bet, garda terdepan keamanan internal Israel, menjalankan fungsi vital dalam melawan terorisme, mengumpulkan informasi intelijen krusial, dan menjaga ketertiban di seluruh negeri. Perannya dapat dianalogikan dengan FBI di Amerika Serikat, MI5 di Inggris, atau Biro Intelijen di India. Pada tahun 2021, Ronen Bar dipercaya untuk memimpin lembaga ini selama lima tahun ke depan. Namun, takdir berkata lain ketika Perdana Menteri Netanyahu tiba-tiba memutuskan untuk mengakhiri masa jabatannya. Alasan resmi yang diumumkan adalah memudarnya rasa saling percaya, meskipun banyak yang menduga ada agenda tersembunyi di balik keputusan yang mengejutkan ini.
Keputusan ini mencatatkan sejarah kelam dalam lanskap politik Israel, karena untuk pertama kalinya seorang kepala Shin Bet diberhentikan di tengah masa jabatannya oleh pemerintah yang berkuasa. Keheranan dan tanda tanya besar menyelimuti publik, dan spekulasi pun bermunculan. Diduga kuat, pemecatan ini terkait erat dengan investigasi sensitif yang tengah dilakukan Shin Bet sejak bulan sebelumnya. Lembaga intelijen tersebut sedang mengusut dugaan keterlibatan kantor Netanyahu, khususnya para pembantu dekatnya, dalam hubungan keuangan yang mencurigakan dengan Qatar. Tuduhan yang beredar menyebutkan adanya aliran dana ilegal. Meskipun kubu Partai Likud Netanyahu dengan tegas membantah semua tuduhan tersebut, Shin Bet di bawah komando Ronen Bar terus gigih melakukan penyelidikan. Peran aktif Bar dalam mengawasi investigasi yang menyasar lingkaran kekuasaan perdana menteri inilah yang diyakini menjadi pemicu utama pemecatannya yang kontroversial.
Aksi demonstrasi yang marak terjadi adalah respons langsung terhadap pemecatan kepala Shin Bet. Tindakan ini dipandang sebagai pelanggaran etika dan konflik kepentingan yang nyata. Bagaimana mungkin seorang yang sedang dalam proses penyelidikan memiliki kekuasaan untuk menyingkirkan penyelidiknya? Inilah ironi yang memicu kemarahan publik dan menjadi inti dari tuntutan para demonstran.
Ronen Bar menanggapi pemecatannya dengan menyebutnya sebagai langkah bermotif politik. Namun, secercah harapan muncul baginya ketika Mahkamah Agung Israel mengintervensi dengan membekukan keputusan tersebut, membuka ruang untuk proses banding.
Akan tetapi, ambisi Netanyahu tampaknya melampaui Shin Bet. Jaksa Agung Israel, Gali Baharav-Miara, yang merupakan pihak yang menginisiasi penyelidikan yang mengarah pada potensi masalahnya, kini juga menjadi target. Kabinet dijadwalkan untuk memperdebatkan mosi tidak percaya terhadapnya dalam waktu dekat. Situasi ini memicu kekhawatiran mendalam akan kondisi demokrasi Israel, di mana Jaksa Agung dan kepala Shin Bet dipandang sebagai dua pilar terakhir yang masih tegak, setelah melemahnya integritas kepolisian dan serangan tanpa henti terhadap sistem peradilan serta lembaga-lembaga pengawas.
Suara-suara pembela demokrasi menyerukan persatuan untuk melindungi negara, dengan keyakinan bahwa fondasi Israel terletak pada nilai-nilai demokrasi, liberalisme, kebebasan, dan identitas Yahudi. Mereka melihat pola yang mengkhawatirkan, di mana setelah lembaga yudikatif dilemahkan, kini giliran badan intelijen dan berpotensi Jaksa Agung yang menjadi sasaran, dan menuduh ini sebagai taktik Netanyahu untuk mempertahankan kekuasaan di tengah konflik Gaza.
Gelombang perlawanan semakin meluas, dengan dukungan dari mantan tokoh-tokoh yudisial yang bahkan menggunakan istilah “perang saudara” untuk menggambarkan situasi saat ini. Presiden Israel pun tak luput menyampaikan keprihatinannya, memperingatkan bahwa tindakan Netanyahu menciptakan jurang pemisah yang dalam dalam masyarakat, terutama di tengah operasi militer yang sedang berlangsung dan upaya sensitif untuk membebaskan para sandera.
Netanyahu dan para pendukungnya meremehkan semua kritik yang ditujukan padanya, menganggapnya sebagai manifestasi dari bias politik semata. Mereka menuduh Mahkamah Agung dan Shin Bet sebagai bagian dari kelompok elite yang sudah mapan dan beroperasi melawan aspirasi mayoritas rakyat.
Di tengah ketidakpastian ini, masa depan Israel menjadi pertanyaan besar. Di Gaza, tujuan Israel terdefinisi dengan jelas: melenyapkan Hamas dan membawa pulang para sandera, dan mereka tampaknya siap mengerahkan segala cara untuk mencapai tujuan tersebut. Namun, tantangan yang sama besarnya muncul di jalan-jalan Yerusalem, di mana para pengunjuk rasa menyuarakan tuntutan perubahan mendasar dan para pemimpin memperingatkan bahaya disintegrasi sosial. Tampaknya, Benjamin Netanyahu sedang terlibat dalam pertempuran simultan di dua front yang berbeda: melawan musuh eksternal dan melawan gejolak internal di negaranya sendiri.