Sabtu, April 27, 2024

Era Baru Pendidikan Manusia

Deden Ridwan
Deden Ridwan
Alumnus Jurusan Aqidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta (1997), termasuk 100 Tokoh Terkemuka Alumni UIN Syarif Hidayatullah—buku yang disunting Prof. Dr. Sukron Kamil (2020). Dia pernah belajar di Universitas Leiden, Belanda (2002-2003). Hidupnya dihabiskan di dunia industri kreaif, baik sebagai penulis, pegiat buku dan konten profesional maupun produser. Film terbarunya, Lafran, Demi Waktu, segera tayang (2021). Kini Deden menjadi founder & CEO Reborn Initiative.

Selamat kepada para guru yang terus berkarya selama pandemi ini. Buah pikiran mereka laik diapresiasi. Apa yang telah mereka lakukan selama pandemi Covid-19 dua tahun belakangan, patut diacungi jempol. Tak banyak guru yang mau bersusah payah macam mereka, untuk mengenali dunia baru pendidikan yang tanpa preseden. Mereka sudah berjibaku menggelar sekolah virtual dengan sebaik-baiknya. Mungkin suatu saat, kita pun harus beradaptasi juga dengan pola kehidupan superfisial—seperti yang telah dijalani selama dua tahun ini oleh para pelaku pendidikan di seantero dunia.

Sebelum dunia memasuki alaf ketiga seperti yang kini sedang kita jalani, anak-anak kecil sampai usia remaja, sering terlihat berkumpul pada sore hari. Bermain sesuka hati. Segala jenis permainan rakyat, jadi langganan mereka. Termasuk saya yang pernah tumbuh pada era 80-an. Dari kesenangan bermain itulah, pelajaran kehidupan tanpa sadar sedang dipelajari. Galasin mengajarkan cara bekerja sama. Egrang melatih keseimbangan hidup. Congklak mengandung perhitungan matematis dan kejujuran. Sondakh tentang ketepatan berpikir.

Mari kita tengok hari ini. Anak-anak sekolah mulai kehilangan keceriaan belajarnya. Dalam pikiran mereka barangkali hanya tersisa tugas demi tugas–yang sialnya berjubelan sampai di rumah. Sementara orangtua hanya tahu nilai mereka harus berangka delapan sampai sepuluh. Rapotnya tak boleh “kebakaran.” Raut wajah mereka suntuk. Tegang melulu. Wajar bila beberapa di antara mereka mencari pelampiasan di jalanan, narkotika, seks bebas. Hidupnya tuna-makna. Padahal merekalah pelanjut tongkat estafet hidup berikutnya.

Manakala belajar di sekolah sudah menjadi rutinitas harian yang menjemukan, para guru perlu mencari cara untuk membuat pelajaran yang diampunya agar menyenangkan—apalagi semasa pandemi begini. Buku pelajaran tak selamanya bisa dijadikan acuan. Lembar catatan pun kadang tak dibaca ulang oleh para pelajar saat mereka tiba di kediaman. Belajar adalah cara manusia mengenali diri dan sekitarnya. Bukan hanya soal catat-mencatat. Menerangkan dan diterangkan.

Anak didik di sekolah, harus juga dikenalkan pada beragam cara menggali ilmu. Belajar sambil bercanda, juga ampuh demi menanamkan nilai indah kehidupan–pada mereka. Toh pada ghalibnya, hidup hanya sekadar singgah. Mampir ketawa. Sebelum akhirnya purnasia. “Wa ma l-hayatud dunyaa illa la`ibun wa lahwun, walad darul akhiratu khairul lillazdiina yattaquuna, afalaa ta`qiluun: Dan tidaklah kehidupan dunia ini, selain bersenda gurau (bercanda/dolan) belaka, dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orangorang yang betakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS. Al An’am [6]: 32)

Sejak Paulo Freire (1921-1997) mengenalkan filsafat pendidikan pada masyarakat modern, tampaknya perubahan tak terlalu kentara bagi dunia ketiga. Negara berkembang kerap jadi bulan-bulanan Amerika dan anteknya di Eropa. Kolonialisme Abad ke-17 terus disalin rupa jadi liberalisme ekonomi. Kini kita mengenalnya dengan sebutan yang agak keren: pasar bebas! Di titik inilah petaka pendidikan kita bermuara. Anak-anak kita mulai kehilangan arah dan makna.

Sekolah tak lagi berdaya guna bagi para siswanya. Universitas hanya sekadar kamuflase menjaring kelas pekerja. Mahasiswa berpredikat summa cum laude dari fakultas eksak sekali pun, kadang bernasib lebih tragis tinimbang rekan seangkatannya, yang indeks prestasinya di bawah angka dua. Sebagian mahasiswa cerdas ini mati bunuh diri. Frustrasi dengan dirinya yang jadi anomali di masyarakat. Bahkan sudah jadi pemahaman umum, jika seorang sarjana tak tahu cara menerapkan ilmunya dalam kehidupan. Mereka kehilangan arah sedari dalam diri sendiri.

Cara kita menganggit pengetahuan hari ini, berbeda jauh dengan para pendahulu. Hidup yang serba mudah, membuat kita sulit memahami bahwa segala sesuatu ada awal dan tujuannya. Anak-anak manusia yang lahir, jelas membutuhkan bekal bagi hidup mereka. Tak semua kita bakal jadi presiden. Tak semua kita harus jadi insinyur. Tak semua. Hidup yang pusparagam begini, tak bisa didekati dengan pola dan pendekatan seragam. Sekolah, termasuk madrasah, harusnya menggunakan pemahaman begini dalam proses belajar-mengajarnya.

Pendidikan adalah harapan. Adalah perjuangan. Perlawanan, pada ketidaktahuan kita akan kondisi nyata kehidupan. Jika kita tahu apa yang sejatinya diketahui, maka hasilnya adalah pengetahuan. Belajar itu menembus batas. Bahkan tak berhenti sampai liang lahat. Semua kita tumbuh secara usia, kejiwaan, logika berpikir, keyakinan, dan spiritualitas. Pada puncak pencapaian itu, kita akan memgerti untuk apa semua ini diadakan Tuhan.

Alexander Graham Bell, sang penemu ulung itu, dibesarkan pada era ketika sekolah lebih banyak melahirkan sarjana tinimbang ilmuwan. Sementara kita, hidup dalam zaman manakala sekolah lebih senang melahirkan golongan buruh. Sudah hampir setengah abad kondisi ini berlangsung sejak perseteruan sengit Mazhab Wina & Frankfurt, namun kita tak jua sadar betapa sekolah hari ini di banyak negara—hanya  dijadikan penopang industri. Abad Materialisme sungguh benar menggerus kemanusiaan kita. Dalam banyak sendi kehidupan, kita melulu terjebak pada formalitas belaka. Tak pernah menjeluk ke ranah makna.

Ruang belajar mereka tak hanya sebatas tembok, tapi seluas jagat. Jika akar kata sekolah dalam Latin adalah skhole, scola, scolae, skhola, yang berarti waktu senggang dan bermain, maka sudah seharusnya para murid tidak diganggu waktu bermainnya–meski saat bersamaan mereka berada dalam kondisi belajar. Sebuah cara memulihkan sekolah manusia pada Abad 21 ini adalah, mengembalikan lagi hak anak didik pada ghalibnya. Sekolah itu tempat belajar segala yang maslahat, dan harus menggembirakan. Para pelajar tetap bisa belajar sambil bermain. Bukan malah tertekan mental-pikirannya, apalagi sampai stres. Ini sudah kecelakaan dalam dunia pedagogis.

Guru terbaik, bukan yang ilmunya seluas samudera, melainkan penunjuk jalan yang harus ditempuh para murid sehingga mereka menemukan dirinya sepanjang perjalanan belajar. Mereka yang gemar mengolah masakan, hanya perlu dikenalkan pada cita rasa, meracik bumbu, rempah-rempah, tetumbuhan yang bisa dimakan, dan mungkin bila perlu, bagaimana mereka bisa hidup dari dunia masak-memasak itu. Tak perlu lagi mereka mendalami seluk-beluk fisika, matematika, atau geologi.

Semakin jauh manusia dari dirinya, maka kian jauh pula ia dari tujuan hidupnya. Kita terlampau sibuk mengenali dunia luar dan alpa mengenali dunia yang sarat kedalaman. Hidup jadi tuna makna. Miskin karakter. Sekolah yang jadi sarana belajar manusia setelah keluarganya, juga tak sanggup memenuhi hasrat keingintahuan anak-anak manusia abad ini. Jika tak melulu soal biaya pendidikan yang selangit, maka soal lain adalah akumulasi nilai demi nilai. Anak-anak manusia pun berhenti jadi sekadar deret ukur angka.

Para pegiat pendidikan yang budiman, mari menciptakan tradisi belajar yang manusiawi. Menyenangkan. Mencerdaskan. Membahagiakan. Berbasiskan makna dan karakter. Mari belajar mengentaskan kegagapan diri dalam lingkungan sosial berbeda. Belajar membenam kebodohan dan merekamnya dalam catatan hidup pribadi. Membaca ruang kehidupan. Lalu menulisnya dengan kesadaran. Kami hanya sedang berusaha meyakini bahwa apa saja yang sekadar terucap, akan berlalu bersama angin, dan apa pun yang tertulis, akan tetap mengabadi.

Hidup adalah belajar mengenali hakikat kehadiran kita di dunia fana, agar apa yang kita lakukan hari ini hingga nanti, dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi generasi pelanjut kita. Sudah lazim kita tahu, dari waktu ke waktu, zaman ke zaman, hidup manusia adalah tentang pengejawantahan kasih, sayang, dan cinta semata. Pada diri, sesama, dan Tuhan belaka. Sebagai anak kandung langit-bumi, sesungguhnya kami pantas bersyukur bisa terus belajar di mana saja. Kami ingin jadi pelajar hidup yang baik. Pembelajar sejati. Maka di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Alam tak ambang menjadi guru. Alam raya, menemani.

Nah, menyelami pengalaman guru madrasah di pelosok negeri sungguh membuat kita sadar: menyemai karakter di saat pandemi merupakan terobosan berarti. Bukan sekadar bagaimana memanfaatkan teknologi digital sebagai alat pembelajaran jarak-jauh, tapi lebih dari itu adalah mengembalikan kembali ruh pendidikan menjadi wahana memuliakan sesama manusia melalui pembumian karakter yang sarat makna. Anak-anak madrasah tak cukup dibekali dengan pelbagai ilmu. Lebih dari itu, mereka perlu diajarkan tentang hidup. Ya, memaknai hidup dengan ceria, antusias, dan kemerdekaan ide. Mereka harus mampu menaklukan dunia sekaligus melayaninya.

Kiprah guru madrasah selama ini patut kita apresiasi. Mereka berusaha  menjadikan madrasah sebagai barisan terdepan (avant-garde) dalam melahirkan anak-anak manusia yang mampu memaknai hidup sesuai potensi dan keunikan dirinya masing-masing. Benar, manusia lahir ke dunia ini dengan potensi kebahagiaan luar biasa. Maka tugas mulia seorang guru, membantu mereka menemukan potensinya itu supaya bisa hidup bermakna dan bahagia: saling meyakini sekaligus menghargai. Demi menjadi Indonesia!

Deden Ridwan
Deden Ridwan
Alumnus Jurusan Aqidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta (1997), termasuk 100 Tokoh Terkemuka Alumni UIN Syarif Hidayatullah—buku yang disunting Prof. Dr. Sukron Kamil (2020). Dia pernah belajar di Universitas Leiden, Belanda (2002-2003). Hidupnya dihabiskan di dunia industri kreaif, baik sebagai penulis, pegiat buku dan konten profesional maupun produser. Film terbarunya, Lafran, Demi Waktu, segera tayang (2021). Kini Deden menjadi founder & CEO Reborn Initiative.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.