Sabtu, April 27, 2024

Memahami Dilema Metaverse dalam Ruang Edukasi Pembelajaran

Odemus Witono
Odemus Witono
Odemus Bei Witono, Mahasiswa Doktoral STF Driyarkara, Jakarta.

Avatar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2021) adalah tokoh tiga dimensi yang digunakan untuk menggambarkan seseorang dalam dunia maya. Avatar kerap digambarkan sebagai pahlawan yang berupaya menegakkan kebenaran dalam realitas maya, seperti yang diterangkan dalam tradisi Hindu, Awatara (dalam encyclopedia.com, 2018) yang berarti inkarnasi dari Roh Keilahian yang datang ke bumi untuk menegakkan kebenaran.

Dalam buku fiksi ilmiah Childhood’s End, Arthur C. Clark sudah meramalkan avatar virtual pada awal tahun 1953.Dalam Childhood’s End, seorang pria digambarkan dapat menjadi orang lain untuk sementara, dan bisa mengambil bagian dalam petualangan apa pun, nyata atau imajiner.

Si pria bahkan dapat menjadi mahkluk lain yang mampu menangkap dan merekam aneka peristiwa melalui kesan indera manusiawi. Orang itu memperoleh ingatan sama jelas dengan pengalaman dalam kehidupan sebenarnya — memang, tidak dapat dibedakan dari kenyataan itu sendiri ketika ‘program’ yang digunakan selesai. Kisah imajinasi virtual dalam Childhood’s End yang terkesan hidup, kemudian di akhir abad ke-20 dan di awal abad ke-21 disebut metaverse.

Istilah metaverse diintrodusir pertama kali dalam novel fiksi ilmiah tahun 1992, Snow Crash karya Neal Town Stephenson. Metaverse dipahami sebagai portmanteau yang menurut kamus Merriam-webster (2022) merupakan morfem yang bentuk dan maknanya berasal dari perpaduan dua atau lebih bentuk berbeda, yaitu meta dan universe yang berarti melampaui alam semesta.

Sebenarnya dalam banyak kondisi metaverse merupakan pilihan dunia alternatif yang tidak harus dipilih. Akan tetapi metaverse sebagai ruang pengalaman dapat dialami oleh siapa saja yang mempunyai kesempatan. Metaverse mengemuka sebagai gagasan mengenai dunia virtual tiga dimensi yang sangat mirip dengan realitas aktual di kehidupan nyata.

Secara garis besar, teknologi yang membentuk metaverse dapat mencakup dunia virtual yang persisten atau terus ada bahkan saat individu bersangkutan tidak bermain, dan penggabungan aspek dunia digital dan fisik.

Berbagai metaverse sudah dikembangkan dalam bentuk platform dunia virtual. Menurut Siyaev & Jo (dalam Damar, 2021) metaverse yang tertanam dalam hidup kita menciptakan virtual pengalaman sesuai dengan bagian dari skenario kehidupan di dalam dunia fisik.

Manusia melalui metaverse yang didukung oleh perkembangan teknologi blockchain yang berisikan rangkaian catatan data yang dikelola oleh sebuah sistem komputer tanpa pemilik; teknologi sensor; teknologi augmented reality yang mampu memproyeksikan objek maya ke dalam objek nyata secara interaktif sekaligus real time; dan teknologi virtual reality yang dapat membuat simulasi real mirip dunia nyata.

Metaverse dapat membuat dunia imajinasi sendiri, dan menjadi tempat bagi subjek utama dalam melihat lingkungan sekitarnya yang baru. Melalui media kaca mata yang terhubung dengan kerumitan dan kecanggihan platform virtual dunia, individu dapat melihat lingkungan secara berbeda tetapi mirip bahkan serupa dalam bentuk dan suara yang nyata.

Komunitas virtual dalam metaverse layaknya seperti pada masyarakat nyata juga mengalami peristiwa-peristiwa serupa. Mereka dalam dunia virtual mampu melakukan berbagai aktivitas, berkomunikasi secara langsung, bahkan dapat juga saling menolong dan memperhatikan atau sebaliknya pada saat yang berbeda menyakiti satu sama lain.

Ada hal-hal dilematis dalam metaverse, satu sisi dibutuhkan untuk pengembangan teknologi guna membantu kemudahan orang dalam mengakses informasi, berinteraksi dan bertransaksi secara virtual nyata, tetapi di sisi lain secara potensial dapat berakibat buruk bagi para pengguna yang tidak waspada. Peristiwa perundungan virtual kemungkinan dapat saja terjadi ketika dunia mereka tidak lagi dibatasi sekat privasi.

Data pribadi mereka pun potensial dapat diretas, dibajak, dan dirusak oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Kebahagiaan virtual yang tadinya dirasakan sebagai jalan keluar terhadap solusi kesulitan hidup di dunia nyata dapat mengalami kebuntuan dalam kondisi yang demikian.

Metaverse melibatkan minat manusia, ruang maya, fisik, ekonomi digital, dan kemajuan teknologi realitas virtual. Metaverse secara substansial hanya lah sarana untuk menjangkau kebutuhan virtual manusia dan bukan tujuan hidup. Kendati sebagai sarana, metaverse kurang baik jika diperkenalkan begitu saja tanpa persiapan kepada para murid yang belum mempunyai kematangan emosional. Secara potensial realitas virtual dapat saja berdampak buruk, misalnya adanya kebingungan tata nilai, bullying, dan kecanduan tinggal terlalu lama dalam dunia maya.

Dalam salah satu hasil Convention on the Rights of the Child, PBB, pada general comment No. 25 (2021) on children’s rights in relation to the digital environment, dikatakan “The rights of every child must be respected, protected and fulfilled in the digital environment.” Hak setiap anak harus dihormati, dilindungi dan dipenuhi dalam lingkungan digital. Dokumen ini secara etis mau menunjukkan bahwa para murid mempunyai akses ke konten digital, tetapi tetap harus disesuaikan dengan usia, kegunaan, dan informasi terpercaya.

Dalam ruang edukasi pembelajaran masa depan, para murid mempunyai hak akses dunia virtual, termasuk metaverse. Oleh karena itu para pendidik perlu menjelaskan perihal konsep metaverse secara jelas kepada para murid. Para murid perlu diberikan pencerahan inspiratif supaya mereka siap jika saatnya tiba metaverse menjadi trend dan pola hidup keseharian mereka.

Metaverse mempunyai kemiripan dengan dunia aktual maka persiapan mental para murid tetap saja seperti biasa. Metaverse dapat digunakan sebagai ruang formatif dalam mendampingi para murid secara berjenjang menuju kedewasaan berpikir dan bertindak. Metaverse secara ideal digunakan oleh orang dewasa yang mempunyai kemampuan diskresi yang matang. Orang yang sudah dewasa dan mempunyai karakter baik dapat beradaptasi secara lebih mudah ke dalam metaverse.

Sebagai catatan akhir, penulis menyimpulkan bahwa metaverse kendati secara eksistensial dilematis di masa depan bukanlah suatu ancaman.  Metaverse sebagai wacana penting untuk dikaji, tetapi untuk bahan ajar dalam pendidikan dasar menengah bukanlah sesuatu yang mendesak.

Metaverse di masa depan dalam pendidikan lebih digunakan untuk belajar, bermain dan beraktivitas bersama para murid secara virtual dan etis sejauh mendukung pelajaran dan kehidupan konkrit mereka. Para guru perlu mempersiapkan karakter para murid untuk siap menghadapi dunia digital virtual nyata yang semakin berkembang.

Metaverse sebagai kerangka pembelajaran dapat diberikan bobot yang lebih kecil, dan kemudian meningkatkan kualitas materi secara bertahap. Selain dikembangkan secara kognitif, para murid dilatih menggunakan hati nurani secara baik dan benar, supaya ketika metaverse menjadi bagian hidup di kemudian hari mereka sudah siap, dan memahami segala aspek dan konsekuensi resiko di dalamnya.

Odemus Witono
Odemus Witono
Odemus Bei Witono, Mahasiswa Doktoral STF Driyarkara, Jakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.