Sabtu, April 20, 2024

Muslihat Liberalisasi Pasar Beras

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)
Beberapa warga membawa produk Bulog Beras Kita pada penyaluran bantuan pangan nontunai di Kota Pekanbaru, Rabu (21/6). ANTARA FOTO/FB Anggoro

Yakin segala sesuatunya baik-baik saja, pemerintah akan memperbesar sasaran program bantuan pangan nontunai dari 1,5 juta keluarga miskin/rentan pada tahun ini menjadi 10,5 juta keluarga pada 2018. Jumlah ini mencapai 67,7% dari rumah tangga sasaran (RTS) beras miskin [raskin]/beras untuk keluarga sejahtera [rasta].

Program bantuan pangan nontunai merupakan mekanisme baru penyaluran raskin/rasta. Tiap rumah tangga sasaran menerima voucher yang tiap bulan ditransfer Rp 110 ribu dari bank yang ditunjuk. Program ini melibatkan ribuan pengecer kebutuhan pokok, terutama beras, gula dan telur, berbasis EDC (electronic data capture).

Dengan asumsi harga beras medium Rp 8.200-Rp 8.500/kg, RTS mendapatkan 13 kg beras, 2 kali raskin/rasta yang diterima selama ini. Ini kurang setengah kebutuhan beras bulanan keluarga (Susenas, 2015). Perubahan mekanisme ini untuk memastikan kriteria 6 tepat bisa ditunaikan, yakni tepat sasaran, jumlah, harga, waktu, kualitas, dan administrasi.

Kriteria 6 tepat itu sampai saat ini masih menjadi persoalan. Empat tepat pertama jadi tanggung renteng Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dua tepat terakhir di bawah kendali Badan Urusan Logistik (Bulog). Bulog berhasil dalam mengendalikan tepat administrasi, sebaliknya masih belum dalam tepat kualitas.

Uang hanya bisa dibelanjakan untuk kebutuhan pokok di pengecer yang ditunjuk. Tidak bisa diambil tunai. Di pengecer ada beraneka ragam beras, dengan harga beragam pula. Warga miskin/rentan bisa memilih sendiri, baik harga, kualitas maupun jumlahnya. Jika uang dalam voucher tidak habis, sisa uang menjadi tabungan. Skema baru ini dapat meningkatkan ketepatan sasaran, waktu, dan administrasi.

Kriteria ketepatan kualitas, harga, dan jumlah tidak lagi relevan karena RTS dapat memilih beras sendiri. Skema baru ini juga tidak mendistorsi pasar gabah/beras, dan rumah tangga miskin/rentan tidak perlu menyediakan uang untuk menebus seperti pada raskin/rasta. Dana APBD pendamping dari kabupaten/kota seperti pada raskin dapat dihapus dan direalokasikan buat yang lain.

Akan tetapi, skema baru ini masih menyisakan persoalan serius. Pertama, harga pangan di luar Jawa relatif tinggi ketimbang di Jawa. Artinya, RTS di luar Jawa akan menerima manfaat lebih rendah ketimbang mereka di Jawa. Kedua, besar bantuan sama, yakni Rp 110 ribu per RTS. Padahal, anggota keluarga tiap RTS beda. Idealnya besar bantuan sesuai jumlah anggota keluarga.

Ketiga, siapa yang mengontrol bila setelah uang bantuan nontunai ditukar pangan lalu pangan dijual untuk membeli rokok atau pulsa?

Pertanyaan penting lainnya adalah bagaimana stabilisasi harga beras dan nasib Bulog? Raskin/rasta yang sejak awal didesain sebagai bantuan pangan bagi keluarga miskin dialihfungsikan sebagai instrumen stabilisasi harga beras. Jumlah penyaluran raskin/rasta 232 ribu ton/bulan atau 10% dari kebutuhan beras memang besar pengaruhnya pada harga.

Ketika raskin/rasta diganti bantuan nontunai, secara teoritis tidak ada lagi penyaluran bantuan pangan yang dalam setahun bisa mencapai 2,8 – 3,4 juta ton itu. Sebagai gantinya, fungsi stabilisasi harga beras kini sepenuhnya tergantung kepada kekuatan cadangan beras pemerintah (CBP). Padahal, besaran CBP saat ini hanya 350-an ribu ton beras dengan kualitas medium. CBP ini mustahil bisa jadi instrumen pemerintah untuk mengintervensi kegagalan pasar. Selain kecil, kualitasnya juga rendah.

Pengalihan skema raskin/rasta menjadi voucher pangan secara tidak langsung merupakan pengalihan tanggung jawab dari pemerintah kepada pasar. Pasar beras kini telah bergeser dari persaingan sempurna. Pergerakan harga tidak lagi dipengaruhi beras medium, tapi premium. Beras jenis terakhir ini diproduksi penggilingan padi besar yang jumlahnya segelintir.

Pertanyaan terpenting adalah siapa yang diberi tanggung jawab menyediakan beras program bantuan pangan nontunai? Ini perlu dijawab dengan jujur agar tidak muncul tudingan sistem voucher hanya akal-akalan meliberalisasi pasar beras.

Terakhir, bagaimana nasib Bulog? Dari tahun ke tahun target pengadaan beras (medium) oleh Bulog terus diperbesar. Ketika Bulog diwajibkan menyerap gabah/beras produksi domestik dalam jumlah besar, harus pula ada outlet penyalurannya. Ketika raskin/rasta diubah jadi nontunai, secara teoritis tidak ada lagi penyaluran beras Bulog.

Karena itu, tidak relevan menugaskan Bulog menyerap gabah/beras produksi petani. Tanpa outlet penyaluran yang pasti, bisa dipastikan Bulog akan pelan-pelan bangkrut.

Baca juga:

Jokowi, Ramadan, dan Harga Pangan

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.