Sabtu, April 20, 2024

Impor Garam dan Nasib Petambak

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)

Impor merupakan kegiatan ekonomi yang lumrah. Impor, termasuk impor garam, tidak ubahnya kegiatan ekonomi lainnya. Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, impor pangan bukan sesuatu yang dilarang. Impor boleh-boleh saja asal syaratnya terpenuhi.

Ada dua syarat impor: hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri; dan produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional tidak mencukupi (Pasal 36 ayat 1 dan 2).

Impor garam menjadi krusial karena ia memiliki hubungan dengan produk serupa yang dihasilkan di dalam negeri. Sepanjang jumlah yang diimpor tidak signifikan atau produk domestik sudah siap bersaing, impor tak jadi masalah. Masalahnya, volume impor sering kali melebihi kebutuhan riil.

Ini tercermin dari perbedaan volume impor garam 1,33 juta ton antara versi Kementerian Perindustrian (3,7 juta ton) dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (2,37 juta ton). Soal daya saing juga tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan resultante kebijakan di dalam negeri dan kebijakan negara-negara lain.

Implikasinya, kita tidak bisa melihat persoalan daya saing produk pertanian di dalam negeri tanpa memeriksa secara saksama kebijakan negara lain. Basis pertanian di negara-negara maju adalah petani, bukan perusahaan besar. Kehidupan pertanian yang kuat, misalnya di Amerika Serikat dan Uni Eropa, bukanlah hasil ciptaan semalam, tapi dibangun secara gradual dengan sebuah keyakinan bahwa negara akan kuat apabila pertaniannya kuat.

Abraham Lincoln, Presiden AS ke-16, meyakini bahwa AS akan jadi negara kuat apabila warga negara menjadi pemilik negara. Karena mayoritas warga saat itu petani, interpretasi keyakinan tersebut diwujudkan dalam kepemilikan lahan petani yang cukup.

Ditilik dari kepentingan memberikan jaminan hak hidup petambak garam, impor jadi masalah krusial. Sesuai amanat konstitusi bahwa warga negara dijamin memperoleh pekerjaan yang layak sesuai dengan kemanusiaan dan fakir miskin dipelihara oleh negara, jelas hak hidup petambak garam tak bisa diabaikan. Negara wajib melindunginya.

Karena itu, kebijakan apa pun tidak boleh mensubordinasi hak hidup petambak garam. Misalnya impor dan daya saing. Daya saing berjalan lurus dengan efisiensi. Tapi, efisiensi bukan tujuan bila tidak manusiawi. Perbudakan itu efisien, tapi tepatkah saat ini? Harga garam murah adalah efisien, tapi ini tidak manusiawi bila mematikan hidup petambak garam.

Tidak seperti di era lalu, sejak ada Undang-Undang Sistem Budidaya Tanaman 1992 dan UU No. 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, petambak garam bebas memilih usaha sesuai keinginan. Tapi, apakah nilai kebebasan itu bersifat riil?

Petambak garam miskin pada hakikatnya tidak memiliki kebebasan— walau dijamin UU—untuk memilih. Karena kemiskinannya, mereka tak bisa berusaha paling menguntungkan, mengakses sarana, informasi, modal dan pasar. Semakin banyak yang tidak dapat dilakukan petambak (can do) mereka kian tak merdeka. Dan kian rendah status petambak garam dalam masyarakat (can be), kian tidak merdeka juga dia.

Sampai saat ini, harga garam domestik masih lebih mahal ketimbang harga garam impor. Ada disparitas harga yang besar antara garam impor dan garam domestik. Mengimpor garam dari luar negeri, walau dengan harga yang lebih murah ketimbang harga garam petani domestik, akan menimbulkan dampak sosial berbeda.

Bedanya, kalau mengimpor garam dari luar negeri akan menimbulkan efek berantai di luar negeri, yaitu apa yang dalam konsep ekonomi disebut efek pengganda (multiplier effect). Sebaliknya, jika membeli garam petambak domestik, meski lebih mahal, akan menciptakan efek berantai di dalam negeri. Efek berantai itu berbentuk konsumsi, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja.

Inilah bedanya efisiensi komersial dan efisiensi sosial. Mengapa Jepang begitu protektif pada beras produksi petaninya, tak lain karena efisiensi sosial.

Jantung persoalannya terpusat pada bagaimana mendongkrak produktivitas dan kualitas produk garam kita. Upaya ini terbentur pada iptek, pasar, dan modal yang masih dikuasai negara maju. Ini muncul karena di dunia ini tidak ada yang gratis. Naluri menguasai dunia negara maju akan selalu abadi.

Situasi ini memberi isyarat bahwa kita harus mengurangi ketergantungan, khususnya produk-produk yang secara alamiah bisa dihasilkan sendiri, termasuk garam. Dengan menekan ketergantungan, selain menghemat devisa, juga menciptakan pekerjaan.

Jadi, bila hak hidup petambak jadi dasar melihat impor, yang sebenarnya dibangun tak hanya ketergantungan garam, tapi juga penciptaan lapangan kerja dan berusaha bagi sebagian besar petani, mayoritas warga di negeri ini.

Kolom terkait:

Krisis Garam di Negara Maritim

Sengsara Garam Menjalar ke Perut

Krisis Garam di Negeri Bahari

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.