Sabtu, April 20, 2024

Impor Beras dan Validitas Data   

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)

Secara berangsur-angsur beras impor telah tiba di Indonesia. Hingga 17 Februari 2018, sekitar 100 ribu ton dari 281 ribu ton beras telah tiba di sejumlah pelabuhan di Indonesia. Kuota sisanya diharapkan tiba sebelum 28 Februari 2018. Bulog memastikan hanya 281 ribu ton dari 500 ribu ton (56,2%) izin impor beras yang bisa direalisasikan. Pendeknya waktu yang disediakan membuat impor beras mustahil direalisasikan sesuai kuota. Ini salah satu pelajaran penting bagi pemerintah agar kejadian serupa tak terulang.

Diakui atau tidak, keputusan impor amat terlambat. Idealnya, impor diputuskan September-Oktober 2017. Kali ini impor baru diputuskan Januari 2018. Keterlambatan ini tampaknya dilandasi optimisme produksi padi sepanjang 2017 yang tinggi.

Seperti diyakini Kementerian Pertanian, produksi padi 2017 mencapai 81,3 juta ton gabah kering giling, setara 46,3 juta ton beras. Dengan konsumsi 114,8 kg/kapita/tahun, konsumsi beras 263 juta penduduk setara 30,19 juta ton beras. Ada surplus 16,11 juta ton beras.

Jika data ini benar, Indonesia seharusnya telah mencapai target surplus beras lebih 10 juta ton. Lebih dari itu, seandainya surplus beras itu benar, stok beras yang dikuasai Perum Bulog, yang beredar di tengah masyarakat atau rumah tangga, yang disimpan penggilingan padi (kecil dan besar), yang dikuasai pelaku bisnis horeka (hotel, restoran, dan katering) dan yang jadi stok tahun berjalan (carry-over stock) seharusnya amat besar.

Masalahnya, surplus ini tidak selalu linier dengan kondisi lapangan. Sepanjang tahun 2017, Bulog hanya mampu menyerap 2,14 dari target internal 3,74 juta ton beras (57,2%). Karena penyerapan rendah, stok awal tahun 2018 kurang dari 1 juta ton beras. Ini jumlah yang amat rendah. Jumlah beras yang disimpan di penggilingan pun hampir dipastikan kecil. Sejak beleid harga eceran tertinggi (HET) beras berlaku 1 September 2017, penggilingan padi kecil yang beroperasi tinggal sepertiga. Sisanya mati suri. Selain itu, dipastikan tak ada yang berani menimbun saat Satgas Pangan intensif masuk pasar.

Jika surplus itu benar, tentu pasar bakal “banjir” beras. Jumlah 16,11 juta ton beras itu setara setengah kebutuhan konsumsi beras nasional setahun. Banjir beras juga bakal membuat harga tertekan ke bawah. Yang terjadi justru sebaliknya: harga beras terus naik sejak September 2017 sampai saat ini.

Jika kenaikan harga terjadi dalam 2-3 hari, amat mungkin ada ulah spekulan mengambil untung di air keruh. Tapi jika kenaikan terjadi berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, ini pertanda pasokan beras ada masalah.

Penjelasan ini bermuara pada satu hal: overestimasi sulit diverifikasi. Dengan kata lain, ada masalah dengan data pangan kita, terutama beras. Fakta yang terjadi di lapangan adalah bahwa estimasi data produksi padi dilakukan bersama oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian.

Angka produksi adalah perkalian data produktivitas (ton/hektare) dengan luas panen (hektare). Data produktivitas adalah aproksimasi sampel lahan petani 2,5 meter x 2,5 meter (ubinan) yang dilakukan petugas lapangan BPS bekerja sama dengan kantor cabang dinas pertanian tanaman pangan atau dengan penyuluh pertanian lapang.

Data luas panen tidak diukur langsung, tapi dengan metode kira-kira sejauh mata memandang (eye estimate) menggunakan sistem blok pengairan, penggunaan bibit, dan pupuk. Data ini sepenuhnya dikumpulkan oleh Kementan. Bias data metode ubinan bisa terjadi karena sampling error dan non-sampling error. Bias data metode eye estimate terjadi selain karena human error, juga kepentingan politik dan birokrasi.

Bila birokrasi pengumpul data tengah melakukan program tertentu untuk meningkatkan produksi padi, konflik kepentingan sulit dielakkan. Apalagi, data yang baik juga terkait anggaran.

Overestimasi yang sulit diverifikasi juga tercermin dari perhitungan neraca beras nasional BPS periode 2005-2015 (Lumaksono, 2017). Dengan konsumsi beras sebesar 114,8 kg/kapita/tahun, selama 10 tahun itu akumulasi surplus mencapai 100,17 juta ton beras. Jika data surplus ini benar, petani tidak menanam padi selama tiga tahun kita tidak akan kekurangan beras. Sekali lagi, kesulitan verifikasi ini menggugat kualitas data beras.

Sejauh ini ada sejumlah kajian yang berusaha menjawab pertanyaan: benarkah data produksi padi kita. Kajian dibuat untuk menjawab pertanyaan terhadap kualitas data produksi padi, baik langsung maupun tidak langsung. Hasilnya mengejutkan, semua kajian kesimpulannya sama: data produksi padi dilaporkan lebih tinggi dari yang sesungguhnya (overestimate). Yang berbeda hanya persentase angka overestimate-nya.

Pertama, pada 1998 BPS membandingkan hasil survei rumah tangga tentang luas areal panen disandingkan dengan taksiran luas areal panen dengan metode estimasi pandangan mata (eyes estimation). Hasilnya, luas areal panen overestimate 17,1%.

Kedua, pada 2000-2001 Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) mensurvei di tingkat petani untuk proyek Agriculture Statistic Technology Improvement and Training. Hasilnya, overestimate produksi gabah di Jawa sebesar 13%. Sekarang overestimate luas panen akan lebih tinggi karena pesatnya konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa.

Ketiga, pendekatan dengan membandingkan angka produksi gabah kering giling (GKG) dengan jumlah GKG yang digiling penggilingan padi hasil sensus penggilingan padi 2012 (BPS, 2012) pada periode yang sama. Hasilnya, overestimate produksi GKG sebesar 36%.

Keempat, pada 2015 BPS melakukan survei kajian cadangan atau stok beras di masyarakat, baik di tingkat rumah tangga maupun non-rumah tangga. Survei di 114 kabupaten/kota yang tersebar di 20 provinsi itu menghasilkan overestimasi 36,97%.

Karena itu, sejak 2016 sampai saat ini BPS “puasa” merilis data pangan, termasuk padi. Sejak 2015, BPS bekerja sama dengan BPPT mengembangkan metode baru pengumpulan data padi. Sampelnya tidak lagi usahatani seperti selama ini, tetapi area. Makanya dinamakan Kerangka Sampel Area (KSA). Tahun 2017 selesai diujicoba di seluruh Jawa, dan tahun 2018 diimplementasikan ke seluruh provinsi di Indonesia.

Hasil sementara, menurut Ketua BPS Suhariyanto, produksi padi dilaporkan berlebih sebesar 17,5%. Rencananya, data hasil metode yang baru ini dirilis pada Agustus 2018 nanti.

Apa pun hasilnya nanti, yang pasti, begitu data hasil metode baru sudah diperoleh, BPS harus melakukan peramalan ke belakang (backcasting). Backcasting  tidak perlu dikaitkan dengan penguasa saat itu atau upaya untuk mencari-cari kesalahan kebijakan di masa lalu. BPS juga perlu melakukan berbagai penyesuaian data-data dan indikator ekonomi lainnya.

Ini penting karena data adalah pangkal semua kebijakan publik di mana pun di dunia. Jika data yang digunakan sebagai dasar membuat kebijakan publik salah, kebijakan yang dibuat potensial keliru. Jika kebijakan yang keliru itu menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti impor beras, tentu potensial menyengsarakan banyak orang.

Kolom terkait:

Jokowi dan Politik-Ekonomi Impor Beras       

Muslihat Liberalisasi Pasar Beras

Impor Beras yang (Tak) Waras

Ontran-ontran Beras

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.