“Namanya juga dana haji, ya untuk perkara haji-hajian toh?” begitu kira-kira alasan utama dari mereka yang menolak rencana pemerintah menginvestasikan fulus haji (dana haji) ke sektor pembangunan infrastruktur.
Ada banyak yang risau memang seketika mendengar dana haji akan pemerintah investasikan. Mereka risau kalau-kalau dana tersebut disalahgunakan. Risau karena dana haji adalah milik umat (Islam) hingga tak boleh digunakan untuk hal-hal lainnya kecuali yang langsung berhubungan dengan perkara haji-hajian.
Kerisauan seperti ini, saya yakin dan percaya, hanya bisa datang dari orang-orang kolot. Mereka yang kolot tak mampu melihat—mungkin saja pura-pura, atau memang sudah kolot dari lahirnya—bahwa ada sejumlah keuntungan yang bisa didapat dari penginvestasian dana haji ke arah yang (meski kesannya) keluar jalur ini.
Seperti ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo usai melantik anggota Badan Pelaksana Pengelola Keuangan Haji (BPKH) di Istana Negara, Rabu (26/7), penginvestasian dana haji tiada guna selain untuk mensubsidi ongkos dan biaya haji. Tujuan jangka panjangnya jelas: ongkos dan biaya haji ke depan bisa lebih terjangkau oleh masyarakat hingga ke lapisan paling bawah. Dan cara seperti ini pun, diterangkan Jokowi, sudah dipakai di negara lain seperti Malaysia.
Naasnya, kebijakan semacam ini kurang/tidak populer. Alhasil, ketika dipublikasikan ke hadapan publik, banyak pihak yang menyalahartikannya, terutama dari mereka yang memang sejak dalam pikiran dan tindakannya kolot, terlebih lagi yang kolot-kolot itu adalah mereka yang memang tergolong sebagai haters pemerintah.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Hidayat Nur Wahid, misalnya, menilai rencana pemerintah tersebut sangat tidak tepat. Ia menolak karena dana haji yang notabene milik umat hanya harus digunakan untuk kepentingan umat juga, seperti memurahkan ongkos haji dan mempermudah jamaah asal Indonesia dalam melaksanakan ibadahnya di Mekkah nanti.
Tak segamblang dengan wakilnya, Ketua MPR RI Zulkifli Hasan juga terkesan menolak rencana ini. Dalam aras yang sedikit santun, ia mengimbau pemerintah untuk meminta izin terlebih dahulu, terutama kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, Dewan Dakwah, dan Persis, jika benar mau menggunakan dana tersebut untuk keperluan lain.
Izin ini, baginya, diniscayakan adanya sebelum akhirnya pemerintah memutuskan boleh-tidaknya dana haji diinvestasikan untuk pembangunan infrastruktur. Ini pun tak ubah dengan apa yang juga disampaikan oleh Wakil Ketua MUI Zainut Taudi Sa’adi yang menyarankan BPKH berkonsultasi dengan pihak-pihak seperti MUI dan ormas Islam, jika perlu dilakukan kajian mendalam, baik dari aspek finansial maupun aspek syariahnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi Hukum MUI Ikhsan Abdullah. Bahkan tegas ia katakan, penggunaan dana haji ke arah pembangunan infrastruktur ini haram hukumnya. Kebijakan itu dianggapnya haram sebab melanggar hak umat yang telah mengamanahkan dana haji tersebut lewat bank.
Oh, God. Bagaimana bisa orang-orang pintar ini sampai-sampai berpikir sedangkal itu? Apa yang salah dari mereka ini?
Tetapi ya, namanya juga orang-orang kolot. Mereka hanya butuh sedikit pencerahan bahwa berpikir tidak harus sedangkal itu. Mereka butuh untuk kemudian bisa menjernihkan pikiran bahwa dana haji bisa justru sangat berguna bagi kemaslahatan bersama, tidak hanya bagi umat Islam secara khusus, melainkan juga masyarakat luas secara umum.
Memang, dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, diatur di sana bagaimana dana haji hanya harus bertujuan untuk perkara haji-hajian: meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, rasionalitas dan efisiensi penggunaannya, dan manfaat bagi kemaslahatan umat Islam. Manfaat yang dimaksud di sini adalah kegiatan pelayanan ibadah haji, pendidikan dan dakwah, kesehatan, sosial keagamaan, ekonomi umat, serta pembangunan sarana dan prasarana ibadah.
Jika menilainya secara kaku nan kolot, tentulah usulan pemerintah tentang penginvestasian dana haji ini melanggar aturan hukum yang baku. Itu artinya kita akan kembali memberlakukan hukum sebagaimana kasus ini pernah juga terjadi pada seorang Fidelis yang menanam pohon ganja karena cintanya pada sang istri. Maka, haruskah ini terulang kembali?
Coba kita telisik hasil Keputusan Ijma Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV Tahun 2012 tentang Status Kepemilikan Dana Setoran BPIH yang Masuk Daftar Tunggu (Waiting List). Dalam Ijma ini, disebutkan bahwa dana setoran BPIH bagi calon haji yang termasuk daftar tunggu, bisa digunakan (diivestasikan) untuk hal-hal yang produktif. Alasan ini yang juga pemerintah ambil hingga berani menyatakan bahwa dana haji boleh digunakan untuk investasi di sektor infrastruktur.
Seperti pula sudah ditegaskan Menteri Agama Lukman Hakim, selama memenuhi prinsip syariah, kehati-hatian, menghasilkan manfaat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan demi kemaslahatan jemaah haji dan masyarakat umum, maka dana haji bisa dipakai untuk apa saja. Peruntukannya tak harus sesempit dari namanya.
Lagi pula usul setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) untuk membiayai pembangunan infrastruktur bukankah ini adalah bentuk upaya pemerintah mengejar ketertinggalan bangsa?
Ketimbang harus mengambil utang dari luar negeri untuk membiayai sejumlah pembangunan, meski sepenuhnya juga tidak akan menutupi, penginvestasian dana haji ke arah sana masih jauh lebih baik. Setidaknya, dengan dana yang jumlahnya melebihi Rp 80 triliun tersebut, upaya pemerintah mengejar ketertinggalan juga akan sangat terbantu.
Lantas, apa yang patut dirisaukan dari langkah pemerintah semacam ini? Jika yang ditakutkan, misalnya, uang tersebut akan hilang ditelan program pembangunan, bukankah infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, jembatan, dan lain sebagainya itu adalah bentuk investasi yang hampir tanpa risiko?
Presiden Jokowi sendiri sudah menegaskan, infrastruktur-infrastruktur seperti itu, yang aman-aman seperti jalan tol dan pelabuhan, tidak akan mungkin merugikan jika dana haji dialokasikan (sementara) ke arah sana. Sebab, ini bukan tempat-tempat yang memiliki risiko tinggi. Dalam arti yang menjamin uang itu aman di bank adalah negara. Maka, mengapa harus risau?
Tetapi bagaimana jika nanti orang mau berangkat haji sementara dana haji sudah telanjur diinvestasikan? Pun ini pertanyaan yang sangat kolot dan hanya bisa terlontar dari orang-orang kolot sendiri. Meminjam kata Saidiman Ahmad dalam akun media sosialnya, ya mereka tetap bisa berangkat. Toh, tidak semua yang menyetor dana hajinya harus berangkat bersama-sama dalam satu waktu.
Lagi pula, praktik kebijakan semacam ini sebenarnya sudah lumrah di dunia perbankan. Ketika kita, misalnya, mempercayakan uang kita disimpan di bank, apakah uang-uang tersebut tersimpan begitu saja sebagaimana tujuan yang kita kehendaki? Jelas tidak selamanya harus begitu. Uang-uang itu (seringnya) akan diivestasikan ke mana-mana.
Langkah semacam ini sendiri sudah sering diambil oleh pemerintah. Hanya saja, calon jamaah tidak pernah tahu bahwa dana haji yang disetorkannya ke bank memang sudah sering dimanfaatkan dan diivestasikan ke beberapa instrumen yang itu seluruhnya dimanfaatkan untuk kepentingan umat juga. Maka, di sini,yang dibutuhkan pemerintah hanya satu: sosialisasi.
Terakhir, meski dana haji yang disetor ke bank lalu bank (atau pemerintah) menginvestasikannya ke hal-hal lain, toh dana itu tidak akan hilang. Kapan waktu tetap bisa nasabah tarik jika berkehendak. Maka, tolong, terutama para perusuh yang kolot-kolot itu, ini dipikirkan matang-matang. Jangan buat gaduh yang tidak-tidak. Hidup tak harus sedangkal dan sekolot itulah.